QUANTUM
BY
RAGIEL JEPE
EPISODE 1
Layar hologram
menampilkan beberapa manusia berbaju kuning yang sedang melambai-lambaikan
tangan ke arah kamera. Wajah mereka terlihat sangat ceria, seorang lelaki
berambut ikal beberapa kali tersenyum ketika menyadari kamera sedang menyorot
ke arahnya. Begitu juga dengan seorang wanita berbibir tebal, dia tak
henti-hentinya melompat kegirangan begitu namanya dipanggil oleh seorang wanita
berkacamata.
Wanita
berkacamata itu mulai mengabsen satu persatu orang yang ada di sebuah ruangan
dikelilingi kaca itu. Dia mencoba mencocokan dengan daftar nama yang ada
catatannya. Beberapa manusia berseragam putih masuk untuk mengecek apakah
mereka layak untuk mendapat giliran kali ini. Mereka adalah para dokter yang
akan mengecek kelayakan manusia-manusia berbaju kuning yang biasa disebut
dengan Quantum.
“Ross.” Wanita berkacamata
itu memanggil salah satu dari para Quantum. Dan tak berapa lama kemudian
seorang wanita berjidat lebar maju ke hadapan wanita berkacamata itu. “Periksa
dia,” katanya berpaling ke arah para dokter.
“Ikuti aku.”
Kata salah satu dari dokter berrahang persegi itu kepada wanita yang bernama
Ross. Ross mengangguk dengan wajah ceria, dia mengikuti sang dokter ke sebuah
ruangan yang penuh dengan peralatan medis yang canggih, sang dokter mulai
memeriksa tubuh Ross, mengecek sampel darah hingga kondisi mata.
“Semuanya oke,”
kata dokter itu tanpa ekspresi. “Kamu kembali bersama yang lain.”
Ross mengangguk
senang, dia kembali bergabung bersama para Quantum yang lain.
“Oke semuanya
sudah siap?” Wanita itu kembali berseru kepada Quantum yang terlihat sangat
bersemangat dengan apa yang akan mereka lakukan. “Dua menit lagi kita
berangkat.”
“Siap!” Jawab
mereka serempak. Wanita itu kembali mencatat sesuatu di notesnya. Dia menekan
sebuah panel di dinding kaca, memunculkan sebuah kapsul besar untuk menampung
Quantum. Setelah semua Quantum bersiap untuk melakukan tur itu. Wanita itu
kembali menekan panel, dan tak berapa lama kemudian kapsul itu meluncur ke
bawah, menyisakan sebuah pekikan kesenangan menanti mereka di sebuah tempat nun
jauh di sana.
Setelah itu
layar langsung padam.
Anak laki-laki
itu menelan ludah begitu melihat tayangan
di layar. Berbagai macam pertanyaan meledak-ledak di dalam kepala,
begitu menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dengan semua ini. Pertama, tentang
kenapa dia tidak bisa mengingat beberapa kenangan selain nama dan usianya.
Kedua, tentang beberapa dokter nyaris tanpa ekspresi itu, ketiga tentang alasan
kenapa dia bisa ada di tempat ini.
Namaku Eric,
usiaku delapan belas tahun. Hanya dua kalimat itulah yang terus bergaung di
dalam kepalanya, walau sekilas memang dia bisa melihat beberapa kenangan
berkelebat di dalam kepala, tentang bunga bugenvil, gubuk, hutan, dan domba.
Namun, semakin dia mencoba menguatkan untuk mengingat semua memori itu,
kenangan itu semakin melebur begitu saja. Membuatnya frustasi, seperti
menggaruk rasa gatal di dalam kulit.
Ruangan tempat
dia sekarang berada merupakan sebuah kamar berukuran enam meter persegi,
terdapat dua buah ranjang dengan kasur yang empuk dan bantal-bantal gemuk. Di
ruangan inilah biasanya anak laki laki itu tidur dan bangun pada paginya
sebelum melakukan berbagai macam kegiatan yang dilakukan bersama teman sekamar
bernama Zid.
Dia mencoba
mengingat kejadian tiga hari yang lalu, ketika terbangun dan mendapati sudah berada
di tempat aneh ini. Saat itu, Miss Cleo¾dia adalah wanita
berkacamata yang dilihat di layar tadi, mengatakan bahwa dia sudah berada di
Roxie. Namun ketika dia bertanya apa itu Roxie, Miss Cleo hanya menggeleng dan
membawanya ke sebuah ruangan medis dengan beberapa dokter tanpa ekspresi.
Setelah menjalani
beberapa tes kesehatan, mengecek golongan darah, mengecek keadaan ginjal dan
jantung, Miss Cleo kembali membawanya ke ruangan ini, dan mengatakan dengan
suaranya yang angkuh bahwa seluruh kondisi organ tubuhnya bagus. Dia sama
sekali tidak menjawab pertanyaan tentang apa itu Roxie.
Sampai ketika
Eric bertemu dengan Zid, teman sekamarnya. Dia seorang remaja berambut keriting
dengan tatapan matanya yang sayu. Zid menceritakan sejauh mana dia tahu tentang
Roxie dan Quantum. Dia juga sama tidak mengertinya dengan Eric, tentang alasan
kenapa mereka bisa berada di sini, tentang memori masa lalu yang hilang. Bahkan
Zid lebih parah dalam kehilangan memori, jika Eric masih bisa mengingat nama
dan usianya, Zid sama sekali tidak bisa mengingatnya, nama Zid diberikan Miss
Cleo, sedangkan masalah usia, Zid hanya bisa menebak bahwa mungkin dia berusia
sembilan belas tahun, lebih tua satu tahun dari Eric.
Menurut
penjelasan Zid, Roxie adalah sebuah kota maju bekas reruntuhan sebuah negera
yang dulunya bernama Indonesia. Konon Indonesia hancur karena adanya perang
saudara, perseturuan antara dua kubu yang saling berebut kekuasaan, ketamakan
manusia akan keinginannya untuk berkuasa mencuat adanya perang itu. Perang
nuklir membinasakan manusia dengan ketamakan mereka. Dan dari sekian banyak
kota yang dulu ada di Indonesia, Roxie-lah satu-satunya kota yang masih bisa
bertahan dari kepunahan.
“Lalu apa itu Quantum?”
“Quantum adalah
sebutan bagi mereka-mereka yang terpilih untuk melakukan sebuah tur?” kata Zid
menyisir rambut ikalnya dengan tangan. “Tapi tentang kebenarannya aku tidak
pernah tahu.”
“Tur apa?”
“Tur untuk
melihat sisa-sisa kehidupan di masa lampau,” jawab Zid dengan suara dalam.
“Menurut kabar yang beredar, masih ada beberapa pulau yang masih cukup terjaga
keasriannya sampai saat ini, namun pulau itu terletak sangat jauh dari Roxie.
Masih menurut cerita yang aku dengar dari Rosmeta, kamu tahu dia kan tukang
masak di tempat ini?” Eric mengangguk mendengarnya, berharap Zid kembali
menceritakan tentang tur itu. “Menurut Rosmeta, tempat itu sangat indah.
Sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan.”
Begitulah
percakapan pertama Eric dengan Zid, dia menceritakan beberapa cerita yang dia
tahu tentang Roxie dan Quantum. Tentang pulau di luar sana yang konon katanya
masih menyisakan jejak-jejak kehidupan masa lampau. Jujur, Eric sebenarnya juga
ingin tahu seperti apa keadaan Indonesia di masa lampau. Mengingat di kota ini,
hanya ada bangunan-bangunan tinggi yang mencakari langit dengan segala
kecanggihannya.
Pintu menggeser
terbuka, Miss Cleo datang dengan wajah angkuhnya, kacamata bingkai kucing menghiasi
mata hitam kumbangnya. Dia menekan beberapa tombol panel di dinding, sebuah
sinar hijau menyorot tubuh Eric, menciptakan sebuah diagram di layar, dia
menandai tepat di mana jantung Eric berada. Rasanya seperti ada sesuatu yang
masuk ke dalam tubuh begitu Miss Cleo menekan diagram tubunya dan memasukan
sebuah garis kecil seukuran jarum.
Setelah Miss
Cleo selesai melakukan pengecekan tubuh, dia menyuruh Eric untuk bergabung
dengan yang lain. Kejadian yang terjadi kemarin tampaknya masih sangat teringat
di ingatan Miss Cleo, ketika Eric menghajar seorang yang sangat sok bernama
Hendrik.
“Waktunya
sarapan,” kata Miss Cleo dengan suara angkuh. “Jika kamu melakukan hal bodoh
seperti kemarin. Aku tidak sungkan-sungkan mengurungmu di Rumah Tahanan, Eric.”
“Dia menghina
temanku Miss,” jawab Eric cepat.
“Apa pun itu,
berkelahi bukanlah hal yang diperbolehkan di Roxie.”
Eric hanya diam
mendengarnya. Bosan jika harus berdebat dengan Miss Cleo mengenai peraturan di
tempat ini.
Eric mengikuti
Miss Cleo menuju sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk sarapan. Ruangan ini
luas dengan kursi dan meja yang memanjang beberapa deret. Ruangan ini juga
dilengkapi dengan beberapa kamera pengawas.
Zid melambai ke
arahnya ketika dia berjalan ke arah mejanya dengan nampan berisi makanan berupa
bubur dan sup daging kelinci. Beberapa orang yang dilewati memandang sinis ke
arah Eric. Mungkin mereka masih teringat dengan apa yang dilakukan dengan
Hendrik kemarin.
“Halo Eric,”
sapa Zid terlihat sangat lahap menyantap sup daging kelinci. Dia duduk
sendirian di meja makan itu. Sudah dua hari Eric berada di tempat ini, dan dia
tahu bahwa tidak ada satu pun penghuni Roxie yang menyukai Zid. Entah karena
rambut keritingnya, atau karena mata sayunya. Tapi yang jelas Zid adalah anak
yang cukup menyenangkan.
Eric meletakan
mampan berisi bubur dan sup daging kelinci itu di atas meja. Bisik-bisik
seperti desis api bergaung di belakang. Eric yakin peristiwa yang terjadi
kemarin dengan Hendrik tidak mudah untuk mereka lupakan.
“Kamu berhasil
mematahkan hidungnya,” kata Zid terus menyantap buburnya hingga tandas. “Kamu
tahu, selama hampir satu tahun aku tinggal di tempat ini, baru kamu yang berani
melawan Hendrik. Aku curiga jika kamu dulunya adalah seorang petarung.”
Eric mengangkat
bahu sebagai jawaban. Berusaha menelan bubur buatan Rosmeta yang sedikit asam.
Tapi harus diakui sup daging kelinci ini memang benar-benar enak.
“Ada kabar apa
dalam dua hari kemarin?” tanya Eric ketika dia menghabiskan sup itu tanpa
tersisa. “Rasanya aku tidak mendengar berita apa pun ketika aku ditahan, selain
tayangan tentang Quantum itu.”
“Tidak ada kabar
yang luar biasa kukira,” jawab Zid mengelap mulutnya dengan pergelangan tangan
kirinya. “Seperti biasa, mereka selalu melakukan pengecekan tubuh, mencoba
apakah kami terlalu makan banyak kolesterol atau kelebihan zat yodium, dan lain
sebagainya.”
“Menurutmu apa
yang membuat para dokter begitu memperhatikan keadaan organ dalam tubuh kita
Zid?” Eric menyingkirkan nampan begitu saja.
Zid menggeleng
mendengarnya. “Tentang kepastiannya aku tidak pernah tahu, Eric, mungkin saja
ini ada hubungannya dengan para Quantum, mungkin para dokter menginginkan agar
keadaan tubuh kita baik-baik saja sebelum terpilih menjadi Quantum dan
melakukan tur itu.”
“Aku sebenarnya
cukup penasaran tentang tur itu,” bisik Eric. “Apakah tidak ada yang pernah
menjelaskan lebih lanjut kepadamu tentang tur itu?”
Zid menggeleng
mendengarnya. “Mungkin itu rahasia di Roxie. Tapi entahlah, terkadang aku juga
merasa ada beberapa yang janggal dengan sistem pemerintahan kota ini. Tentang
alasan kenapa ingatan masa lalu kita hilang.”
“Nah itu dia
salah satu keganjilan yang aku rasa di tempat ini,” kata Eric melanjutkan, dan
ketika dia mengatakan hal itu, sebuah kenangan tentang domba berkelebat di
dalam kepalanya. “Apa memang mereka sengaja melakukan hal itu terhadap kita,
menghapus semua kenangan masa lalu kita untuk tujuan sesuatu.”
“Mungkin saja,”
jawab Zid acuh. “Tapi siapa yang peduli, mungkin saja para dokter itu yang
melakukannya untuk suatu kepentingan.”
“Apa kita harus
mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini Zid?” tanya Eric
semangat. “Tentang alasan kenapa kita bisa ada di tempat ini. Tentang alasan
kenapa kenangan masa lalu kita bisa hilang.”
Zid menatap Eric
dengan tajam, seolah apa yang dia katakan
terdengar seperti ide gila. “Aku tidak yakin kita bisa melakukan itu.” Katanya
pelan. “Hampir semua tempat di sini selalu diawasi oleh kamera.”
“Aku tahu,” kata
Eric sebal, mengakui bahwa ucapan Zid benar. “Tapi aku akan tetap mencari tahu
apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Tentang alasan kenapa kita bisa
berada di sini.”
Zid hanya terdiam
mendengarnya.
Keren. Jadi inget oblivion.
BalasHapusHehehe,,, kritik dan sarannya dong :D
Hapus