Minggu, 10 Januari 2016

QUANTUM BAB 1










   
QUANTUM









BY
RAGIEL JEPE











EPISODE 1



Layar hologram menampilkan beberapa manusia berbaju kuning yang sedang melambai-lambaikan tangan ke arah kamera. Wajah mereka terlihat sangat ceria, seorang lelaki berambut ikal beberapa kali tersenyum ketika menyadari kamera sedang menyorot ke arahnya. Begitu juga dengan seorang wanita berbibir tebal, dia tak henti-hentinya melompat kegirangan begitu namanya dipanggil oleh seorang wanita berkacamata.
Wanita berkacamata itu mulai mengabsen satu persatu orang yang ada di sebuah ruangan dikelilingi kaca itu. Dia mencoba mencocokan dengan daftar nama yang ada catatannya. Beberapa manusia berseragam putih masuk untuk mengecek apakah mereka layak untuk mendapat giliran kali ini. Mereka adalah para dokter yang akan mengecek kelayakan manusia-manusia berbaju kuning yang biasa disebut dengan Quantum.
“Ross.” Wanita berkacamata itu memanggil salah satu dari para Quantum. Dan tak berapa lama kemudian seorang wanita berjidat lebar maju ke hadapan wanita berkacamata itu. “Periksa dia,” katanya berpaling ke arah para dokter.
“Ikuti aku.” Kata salah satu dari dokter berrahang persegi itu kepada wanita yang bernama Ross. Ross mengangguk dengan wajah ceria, dia mengikuti sang dokter ke sebuah ruangan yang penuh dengan peralatan medis yang canggih, sang dokter mulai memeriksa tubuh Ross, mengecek sampel darah hingga kondisi mata.
“Semuanya oke,” kata dokter itu tanpa ekspresi. “Kamu kembali bersama yang lain.”
Ross mengangguk senang, dia kembali bergabung bersama para Quantum yang lain.
“Oke semuanya sudah siap?” Wanita itu kembali berseru kepada Quantum yang terlihat sangat bersemangat dengan apa yang akan mereka lakukan. “Dua menit lagi kita berangkat.”
“Siap!” Jawab mereka serempak. Wanita itu kembali mencatat sesuatu di notesnya. Dia menekan sebuah panel di dinding kaca, memunculkan sebuah kapsul besar untuk menampung Quantum. Setelah semua Quantum bersiap untuk melakukan tur itu. Wanita itu kembali menekan panel, dan tak berapa lama kemudian kapsul itu meluncur ke bawah, menyisakan sebuah pekikan kesenangan menanti mereka di sebuah tempat nun jauh di sana.
Setelah itu layar langsung padam.
Anak laki-laki itu menelan ludah begitu melihat tayangan  di layar. Berbagai macam pertanyaan meledak-ledak di dalam kepala, begitu menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dengan semua ini. Pertama, tentang kenapa dia tidak bisa mengingat beberapa kenangan selain nama dan usianya. Kedua, tentang beberapa dokter nyaris tanpa ekspresi itu, ketiga tentang alasan kenapa dia bisa ada di tempat ini.
Namaku Eric, usiaku delapan belas tahun. Hanya dua kalimat itulah yang terus bergaung di dalam kepalanya, walau sekilas memang dia bisa melihat beberapa kenangan berkelebat di dalam kepala, tentang bunga bugenvil, gubuk, hutan, dan domba. Namun, semakin dia mencoba menguatkan untuk mengingat semua memori itu, kenangan itu semakin melebur begitu saja. Membuatnya frustasi, seperti menggaruk rasa gatal di dalam kulit.
Ruangan tempat dia sekarang berada merupakan sebuah kamar berukuran enam meter persegi, terdapat dua buah ranjang dengan kasur yang empuk dan bantal-bantal gemuk. Di ruangan inilah biasanya anak laki laki itu tidur dan bangun pada paginya sebelum melakukan berbagai macam kegiatan yang dilakukan bersama teman sekamar bernama Zid.
Dia mencoba mengingat kejadian tiga hari yang lalu, ketika terbangun dan mendapati sudah berada di tempat aneh ini. Saat itu, Miss Cleo¾dia adalah wanita berkacamata yang dilihat di layar tadi, mengatakan bahwa dia sudah berada di Roxie. Namun ketika dia bertanya apa itu Roxie, Miss Cleo hanya menggeleng dan membawanya ke sebuah ruangan medis dengan beberapa dokter tanpa ekspresi.
Setelah menjalani beberapa tes kesehatan, mengecek golongan darah, mengecek keadaan ginjal dan jantung, Miss Cleo kembali membawanya ke ruangan ini, dan mengatakan dengan suaranya yang angkuh bahwa seluruh kondisi organ tubuhnya bagus. Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan tentang apa itu Roxie.
Sampai ketika Eric bertemu dengan Zid, teman sekamarnya. Dia seorang remaja berambut keriting dengan tatapan matanya yang sayu. Zid menceritakan sejauh mana dia tahu tentang Roxie dan Quantum. Dia juga sama tidak mengertinya dengan Eric, tentang alasan kenapa mereka bisa berada di sini, tentang memori masa lalu yang hilang. Bahkan Zid lebih parah dalam kehilangan memori, jika Eric masih bisa mengingat nama dan usianya, Zid sama sekali tidak bisa mengingatnya, nama Zid diberikan Miss Cleo, sedangkan masalah usia, Zid hanya bisa menebak bahwa mungkin dia berusia sembilan belas tahun, lebih tua satu tahun dari Eric.
Menurut penjelasan Zid, Roxie adalah sebuah kota maju bekas reruntuhan sebuah negera yang dulunya bernama Indonesia. Konon Indonesia hancur karena adanya perang saudara, perseturuan antara dua kubu yang saling berebut kekuasaan, ketamakan manusia akan keinginannya untuk berkuasa mencuat adanya perang itu. Perang nuklir membinasakan manusia dengan ketamakan mereka. Dan dari sekian banyak kota yang dulu ada di Indonesia, Roxie-lah satu-satunya kota yang masih bisa bertahan dari kepunahan.
“Lalu apa itu Quantum?”
“Quantum adalah sebutan bagi mereka-mereka yang terpilih untuk melakukan sebuah tur?” kata Zid menyisir rambut ikalnya dengan tangan. “Tapi tentang kebenarannya aku tidak pernah tahu.”
“Tur apa?”
“Tur untuk melihat sisa-sisa kehidupan di masa lampau,” jawab Zid dengan suara dalam. “Menurut kabar yang beredar, masih ada beberapa pulau yang masih cukup terjaga keasriannya sampai saat ini, namun pulau itu terletak sangat jauh dari Roxie. Masih menurut cerita yang aku dengar dari Rosmeta, kamu tahu dia kan tukang masak di tempat ini?” Eric mengangguk mendengarnya, berharap Zid kembali menceritakan tentang tur itu. “Menurut Rosmeta, tempat itu sangat indah. Sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan.”
Begitulah percakapan pertama Eric dengan Zid, dia menceritakan beberapa cerita yang dia tahu tentang Roxie dan Quantum. Tentang pulau di luar sana yang konon katanya masih menyisakan jejak-jejak kehidupan masa lampau. Jujur, Eric sebenarnya juga ingin tahu seperti apa keadaan Indonesia di masa lampau. Mengingat di kota ini, hanya ada bangunan-bangunan tinggi yang mencakari langit dengan segala kecanggihannya.
Pintu menggeser terbuka, Miss Cleo datang dengan wajah angkuhnya, kacamata bingkai kucing menghiasi mata hitam kumbangnya. Dia menekan beberapa tombol panel di dinding, sebuah sinar hijau menyorot tubuh Eric, menciptakan sebuah diagram di layar, dia menandai tepat di mana jantung Eric berada. Rasanya seperti ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh begitu Miss Cleo menekan diagram tubunya dan memasukan sebuah garis kecil seukuran jarum.
Setelah Miss Cleo selesai melakukan pengecekan tubuh, dia menyuruh Eric untuk bergabung dengan yang lain. Kejadian yang terjadi kemarin tampaknya masih sangat teringat di ingatan Miss Cleo, ketika Eric menghajar seorang yang sangat sok bernama Hendrik.
“Waktunya sarapan,” kata Miss Cleo dengan suara angkuh. “Jika kamu melakukan hal bodoh seperti kemarin. Aku tidak sungkan-sungkan mengurungmu di Rumah Tahanan, Eric.”
“Dia menghina temanku Miss,” jawab Eric cepat.
“Apa pun itu, berkelahi bukanlah hal yang diperbolehkan di Roxie.”
Eric hanya diam mendengarnya. Bosan jika harus berdebat dengan Miss Cleo mengenai peraturan di tempat ini.
Eric mengikuti Miss Cleo menuju sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk sarapan. Ruangan ini luas dengan kursi dan meja yang memanjang beberapa deret. Ruangan ini juga dilengkapi dengan beberapa kamera pengawas.
Zid melambai ke arahnya ketika dia berjalan ke arah mejanya dengan nampan berisi makanan berupa bubur dan sup daging kelinci. Beberapa orang yang dilewati memandang sinis ke arah Eric. Mungkin mereka masih teringat dengan apa yang dilakukan dengan Hendrik kemarin.
“Halo Eric,” sapa Zid terlihat sangat lahap menyantap sup daging kelinci. Dia duduk sendirian di meja makan itu. Sudah dua hari Eric berada di tempat ini, dan dia tahu bahwa tidak ada satu pun penghuni Roxie yang menyukai Zid. Entah karena rambut keritingnya, atau karena mata sayunya. Tapi yang jelas Zid adalah anak yang cukup menyenangkan.
Eric meletakan mampan berisi bubur dan sup daging kelinci itu di atas meja. Bisik-bisik seperti desis api bergaung di belakang. Eric yakin peristiwa yang terjadi kemarin dengan Hendrik tidak mudah untuk mereka lupakan.
“Kamu berhasil mematahkan hidungnya,” kata Zid terus menyantap buburnya hingga tandas. “Kamu tahu, selama hampir satu tahun aku tinggal di tempat ini, baru kamu yang berani melawan Hendrik. Aku curiga jika kamu dulunya adalah seorang petarung.”
Eric mengangkat bahu sebagai jawaban. Berusaha menelan bubur buatan Rosmeta yang sedikit asam. Tapi harus diakui sup daging kelinci ini memang benar-benar enak.
“Ada kabar apa dalam dua hari kemarin?” tanya Eric ketika dia menghabiskan sup itu tanpa tersisa. “Rasanya aku tidak mendengar berita apa pun ketika aku ditahan, selain tayangan tentang Quantum itu.”
“Tidak ada kabar yang luar biasa kukira,” jawab Zid mengelap mulutnya dengan pergelangan tangan kirinya. “Seperti biasa, mereka selalu melakukan pengecekan tubuh, mencoba apakah kami terlalu makan banyak kolesterol atau kelebihan zat yodium, dan lain sebagainya.”
“Menurutmu apa yang membuat para dokter begitu memperhatikan keadaan organ dalam tubuh kita Zid?” Eric menyingkirkan nampan begitu saja.
Zid menggeleng mendengarnya. “Tentang kepastiannya aku tidak pernah tahu, Eric, mungkin saja ini ada hubungannya dengan para Quantum, mungkin para dokter menginginkan agar keadaan tubuh kita baik-baik saja sebelum terpilih menjadi Quantum dan melakukan tur itu.”
“Aku sebenarnya cukup penasaran tentang tur itu,” bisik Eric. “Apakah tidak ada yang pernah menjelaskan lebih lanjut kepadamu tentang tur itu?”
Zid menggeleng mendengarnya. “Mungkin itu rahasia di Roxie. Tapi entahlah, terkadang aku juga merasa ada beberapa yang janggal dengan sistem pemerintahan kota ini. Tentang alasan kenapa ingatan masa lalu kita hilang.”
“Nah itu dia salah satu keganjilan yang aku rasa di tempat ini,” kata Eric melanjutkan, dan ketika dia mengatakan hal itu, sebuah kenangan tentang domba berkelebat di dalam kepalanya. “Apa memang mereka sengaja melakukan hal itu terhadap kita, menghapus semua kenangan masa lalu kita untuk tujuan sesuatu.”
“Mungkin saja,” jawab Zid acuh. “Tapi siapa yang peduli, mungkin saja para dokter itu yang melakukannya untuk suatu kepentingan.”
“Apa kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini Zid?” tanya Eric semangat. “Tentang alasan kenapa kita bisa ada di tempat ini. Tentang alasan kenapa kenangan masa lalu kita bisa hilang.”
Zid menatap Eric dengan tajam, seolah apa yang  dia katakan terdengar seperti ide gila. “Aku tidak yakin kita bisa melakukan itu.” Katanya pelan. “Hampir semua tempat di sini selalu diawasi oleh kamera.”
“Aku tahu,” kata Eric sebal, mengakui bahwa ucapan Zid benar. “Tapi aku akan tetap mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Tentang alasan kenapa kita bisa berada di sini.”
Zid hanya terdiam mendengarnya.

2 komentar: