PEREMPUAN
PENUNGGU TITIK NOL
RAGIEL
JP
Setiap pagi saya melihat wanita
itu duduk di bawah pohon beringin yang tumbuh di titik nol. Matanya memandang
jauh ke arah selatan. Seolah sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang.
Tempat duduknya pun tak pernah berubah selalu saja tepat di depan Benteng
Vredeburg.
Pertama kali saya melihat wanita
itu sekitar dua minggu yang lalu. Kebetulan saya selalu lewat jalan itu setiap
kali menuju kantor tempat saya bekerja. Pada awalnya saya memang tidak terlalu
memerhatikannya. Namun setelah selama dua minggu wanita itu tidak pernah
beranjak dari tempat duduknya, saya pun mulai bertanya-tanya apa yang
sebenarnya sedang ia tunggu.
Pernah saya bertanya kepada
rekan saya mengenai perempuan penunggu itu. Tapi rekan saya bilang bahwa ia
tidak pernah melihat wanita itu. Saya pun semakin dibuat penasaran karena dari
tiga rekan saya yang saya tanya mengenai perempuan penunggu itu. Tidak satu pun
yang pernah melihatnya.
“Kau perhatian sekali, Ras,”
kata teman saya ketika saya kembali bercerita bahwa pagi ini saya kembali
melihat perempuan penunggu itu. “Ada banyak perempuan yang duduk di titik nol
setiap pagi. Mungkin ia hanya gelandangan.”
“Tapi ia selalu saja duduk di
tempat yang sama,” kata saya tak puas dengan tanggapan rekan saya. “Ia juga
selalu menghadap ke arah selatan, seolah sedang menunggu sesuatu.”
“Kenapa kau tidak coba tanyakan
langsung kepada perempuan penunggu itu, Rasidi?” tanya rekan saya sepertinya
bosan. “Daripada kau mati penasaran.”
Saya memang berencana untuk
menemuinya secara langsung. Coba mencari jawaban kenapa ia selalu duduk di
tempat itu. Seolah sedang menunggu sesuatu.
***
Sore harinya, ketika saya pulang
dari kantor, saya sengaja berjalan kaki menuju titik nol untuk menemui
perempuan itu. Saya sengaja berjalan kaki agar lebih efesien, karena
menggunakan motor di jalan Malioboro yang macet pastilah bukan ide yang bagus.
“Kau mau ke mana, Rasidi?” tanya
Tarmo, salah satu rekan kerja saya. “Kau tidak langsung pulang?”
“Mau menemui perempuan itu,”
jawab saya mencangklongkan tas kerja.
“Perempuan penunggu titik nol
itu?”
Saya mengangguk.
Saya tidak tahu apa kalau sore
hari perempuan itu ada di sana. Saya tidak pernah tahu, soalnya kalau saya
pulang ke kontrakan tidak pernah lewat jalan ini lagi.
Sore hari jalan Malioboro
terlihat ramai seperti biasanya. Ratusan penduduk seolah tumpah di jalan.
Beberapa pedagang hampir memenuhi setiap sudut. Mulai dari penjual sate, baju,
aksesoris hingga penjual kacang rebus menyemut di sini. Suara bising kendaraan
dan asap knalpot membuat dada saya terasa sesak.
Sekitar dua puluh menit kemudian
saya sampai di titik nol kilometer. Mata saya menyapu tempat itu untuk mencari
perempuan yang saya cari. Saya berjalan ke arah benteng dan tidak menemukan
keberadaan perempuan itu. Saya jadi bertanya-tanya, apa perempuan itu hanya
duduk di sini kalau pagi hari?
Saya mencoba bertanya kepada
seorang wanita penjual sate yang kebetulan tidak jauh dari pintu masuk Benteng
Vredeburg. Saya bertanya perihal wanita penunggu itu.
“Itu lho perempuan yang suka duduk di tempat itu,” kata saya menunjuk
tempat yang biasa diduduki perempuan itu. “Ia biasa duduk di tempat itu dan
memandang ke arah selatan. Ia juga sering memakai baju terusan berwarna merah
muda.”
Penjual sate itu menggeleng.
Mengatakan bahwa hari ini ia tidak melihat perempuan penunggu itu.
Maka sore itu saya memutuskan
pulang dengan rasa penasaran yang semakin menggunung. Siapa sebenarnya sosok
perempuan penunggu itu?
Mungkin karena saya terlalu
memikirkan perempuan penunggu titik nol itu, saya sampai bermimpi sangat aneh.
Dalam mimpi itu saya bertemu dengan ia. Perempuan itu tersenyum ke arah saya
dan saya juga balas tersenyum. Saya memberanikan diri untuk duduk di
sebelahnya.
“Halo…” Sapa saya ketika duduk
di sebelah perempuan itu. “Boleh saya duduk di sini?”
Perempuan itu mengangguk, ia
tersenyum sesaat sebelum akhirnya kembali memandang ke arah selatan. Seperti
biasanya.
“Sudah lama di Jogja?” tanya
saya memberanikan diri.
Perempuan itu berpaling ke arah
saya. “Sudah dua tahun.” Jawabnya pelan. “Siapa namamu?”
Saya sedikit terkejut mendengar
perempuan itu menanyakan nama saya. “Rasidi, nama saya Rasidi.”
“Aku Arum,” jawabnya
memperkenalkan diri. “Sudah lama tinggal di Jogja?”
“Baru dua bulan,” jawab saya
kikuk. “Kalau boleh tahu, kenapa kau selalu duduk di sini setiap pagi, Arum?”
Perempuan bernama Arum itu
terdiam. Ia menundukan wajahnya. Saya bisa mendengar kalau perempuan itu
menangis sesenggukan.
“Saya minta maaf kalau
pertanyaan saya menyinggungmu…” saya merasa tidak enak hati begitu melihat
perempuan itu menangis.
Arum mengangkat wajahnya. Air
mata membekas jelas di pipinya yang kurus. Ia tersenyum sekilas sebelum kembali
berbicara. “Aku sedang menunggu seseorang,” katanya akhirnya.
“Siapa?” tanya saya tanpa sadar.
“Kau menunggu suamimu?”
Arum mengangguk. Ia kemudian
mengeluarkan sesuatu dari dalam saku baju terusannya. Dan saya tahu bahwa itu
sebuah foto.
“Ini anak perempuanku,” katanya
memperlihatkan foto itu ke hadapan saya. “Namanya Kemuning.”
Saya memerhatikan wajah di dalam
foto itu. Seorang remaja berusia sekitar tujuh belas tahun sedang berangkulan
dengan Arum. Mereka berdua sangat mirip, mereka sama-sama mempunyai mata
berwarna cokelat cerah dengan jidat yang hampir identik.
“Lalu di mana suamimu? Tanya
saya ketika perempuan itu kembali memasukan foto itu ke dalam saku bajunya.
“Apa ia tidak datang menemuimu?”
Perempuan itu hanya tersenyum.
Dan setelah itu saya terbangun ketika mendengar alarm ponsel saya berbunyi
nyaring.
***
Pagi harinya saya memutuskan
untuk menemui perempuan penunggu itu. Saya semakin penasaran dibuatnya.
Terlebih setelah saya bermimpi bertemu dengannya. Saya tidak tahu kenapa semua
ini terjadi kepada saya, tapi yang jelas bahwa semua ini saling berhubungan.
Maka, setelah saya sarapan
semangkuk soto yang saya beli di dekat rumah kontrakan, saya bergegas
menghidupkan motor dan langsung meluncur ke titik nol.
“Semoga perempuan itu sudah di
sana.” Gumam saya dalam hati. Saya melirik jam di tangan kanan yang sudah
menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Ini memang terlalu awal untuk masuk
kantor. Tapi keputusan saya sudah bulat, saya akan menemui perempuan penunggu
itu dulu sebelum ke kantor.
Beruntung jalanan pagi ini tidak
begitu macet, karena lima belas menit kemudian akhirnya saya sampai di titik
nol.
Suasana titik nol kilometer pagi
ini tampak lenggang. Hanya beberapa orang yang sedang duduk-duduk atau sekadar
olah raga lari. Setelah memarkirkan motor, saya berjalan ke tempat di mana
perempuan itu biasa duduk.
Pandangan saya kembali menyapu
tempat itu dan kembali tidak mendapati perempuan penunggu itu. Saya mulai
merasa kecewa karena rasa penasaran saya tampaknya tidak menemukan jawaban.
Saya jadi bertanya-tanya, di mana perempuan itu sekarang? Apa dia sudah bertemu
suaminya?
Saya tidak menyerah kali ini.
Saya memutuskan untuk menunggu perempuan itu di sini. Mungkin saya terlalu pagi
datang ke sini. Bukankah biasanya saya melihat perempuan itu sekitar pukul
tujuh lewat lima belas menit. Saya kembali melirik arloji di tangan kanan, baru
menunjukan jam tujuh. Mungkin lima belas menit lagi perempuan itu akan datang.
Ponsel saya tiba-tiba berdering.
Terpampang nama salah satu rekan kerja saya di layar ponsel. Saya segera
menekan tombol hijau.
“Kau di mana, Rasidi?” tanya
suara di ujung telepon. “Jam setengah delapan kau harus sudah sampai kantor.
Bos mengatakan bahwa akan ada rapat mendadak.”
Saya mengembuskan napas sedikit
kecewa karena tampaknya hari ini saya kembali gagal bertemu perempuan penunggu
itu. “Sebentar lagi saya sampai,” kata saya mematikan telepon.
Saya bangkit dari tempat duduk
ini. Mungkin Tuhan memang belum menakdirkan saya bertemu dengan perempuan
penunggu itu. Saya kembali memasukan ponsel ke dalam tas kerja saya, merapikan
seragam kerja—Ketika saya hendak menghampiri motor, mata saya membola begitu
melihat seseorang yang sepertinya saya kenal.
Seorang remaja perempuan
berambut panjang sebahu berjalan menuju tempat duduk yang baru saja saya
tinggalkan. Ia membawa setangkai bunga mawar berwarna merah dan meletakan di
tempat itu.
Saya bergegas menghampiri remaja
itu karena saya yakin bahwa ia adalah Kemuning. Anak perempuan penunggu yang
(mungkin) bernama Arum—yang semalam datang ke dalam mimpi saya.
“Maaf…” Kata saya begitu sampai
di sebelah gadis itu. “Boleh saya tanya sesuatu?”
Gadis itu mendongak dan wajahnya
tampak terkejut melihat saya. Gadis itu berdiri dan mundur beberapa langkah.
Mungkin ia menganggap saya seorang penjahat.
“Saya bukan orang jahat,” saya
mencoba tersenyum. “Nama saya Rasidi, saya cuma mau tanya apa kau Kemuning?”
Gadis itu tampak terkejut.
“Bagaimana kau tahu?” tanyanya.
“Ceritanya rumit,” kata saya
duduk di tempat itu. “Mungkin kau tidak akan percaya, tapi semalam ibumu datang
ke dalam mimpi saya.”
“Apa?” wajah Kemuning semakin
terkejut. “Tapi bagaimana mungkin?”
Saya pun kemudian menceritakan
semuanya. Bahwa selama hampir dua minggu ini saya melihat ibunya duduk di
tempat ini, terlihat seperti sedang menunggu sesuatu. Saya juga menceritakan tentang
mimpi aneh semalam. Ibunya bercerita bahwa ia tengah menunggu suaminya, ataupun
tentang foto Kemuning yang ditunjukan kepada saya.
“Kalau boleh tahu di mana ibumu
sekarang, Kemuning? Kenapa ia tidak ada di sini? Apa ayahmu sudah kembali?”
Setitik air mata keluar dari
ujung mata gadis itu, dalam keadaan setengah menangis ia berkata bahwa ibunya sudah
meninggal tiga bulan yang lalu. Katanya ia meninggal tersambar petir ketika
sedang menunggu ayahnya yang entah pergi ke mana.
Saya hanya terdiam dan merasa
udara sedingin es mengelus leher saya.
Wuih... keren
BalasHapusSedikit seram... heheheh
Terima kasih sudah mampir :D
HapusIcikiwir.... Lumayan horor ������
BalasHapusTapi aku gagal paham dengan kalimat ini, Mas.
[Saya tidak tahu apa kalau sore hari perempuan itu ada di sana. Saya tidak pernah tahu, soalnya kalau saya pulang ke kontrakan tidak pernah lewat jalan ini lagi]. Kalimat pertama sebelum titik. ✌
Soalnya itu jalan 1 arah. Jadi kalau pulang tidak boleh lagi lewat situ. Harus muter :p
HapusUdah baca :D
BalasHapusSelamat, ya, Mamb.
terus berkarya, jangan kayak saya yang kebanyakan malasnya :3
Selain kata 'Itu' yang kamu tulis begitu banyak--hingga saya kenyang mengkonsumsinya--yang lain oke :D
Bagus kak... misterinya dapet... :)
BalasHapus