Rabu, 06 April 2016

CERPEN "PEREMPUAN PENUNGGU TITIK NOL." DIMUAT DI HARIAN RADAR MOJOKERTO EDISI MINGGU 3 APRIL 2016.












PEREMPUAN PENUNGGU TITIK NOL

RAGIEL JP


Setiap pagi saya melihat wanita itu duduk di bawah pohon beringin yang tumbuh di titik nol. Matanya memandang jauh ke arah selatan. Seolah sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Tempat duduknya pun tak pernah berubah selalu saja tepat di depan Benteng Vredeburg.
Pertama kali saya melihat wanita itu sekitar dua minggu yang lalu. Kebetulan saya selalu lewat jalan itu setiap kali menuju kantor tempat saya bekerja. Pada awalnya saya memang tidak terlalu memerhatikannya. Namun setelah selama dua minggu wanita itu tidak pernah beranjak dari tempat duduknya, saya pun mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang ia tunggu.
Pernah saya bertanya kepada rekan saya mengenai perempuan penunggu itu. Tapi rekan saya bilang bahwa ia tidak pernah melihat wanita itu. Saya pun semakin dibuat penasaran karena dari tiga rekan saya yang saya tanya mengenai perempuan penunggu itu. Tidak satu pun yang pernah melihatnya.
“Kau perhatian sekali, Ras,” kata teman saya ketika saya kembali bercerita bahwa pagi ini saya kembali melihat perempuan penunggu itu. “Ada banyak perempuan yang duduk di titik nol setiap pagi. Mungkin ia hanya gelandangan.”
“Tapi ia selalu saja duduk di tempat yang sama,” kata saya tak puas dengan tanggapan rekan saya. “Ia juga selalu menghadap ke arah selatan, seolah sedang menunggu sesuatu.”
“Kenapa kau tidak coba tanyakan langsung kepada perempuan penunggu itu, Rasidi?” tanya rekan saya sepertinya bosan. “Daripada kau mati penasaran.”
Saya memang berencana untuk menemuinya secara langsung. Coba mencari jawaban kenapa ia selalu duduk di tempat itu. Seolah sedang menunggu sesuatu.

***

Sore harinya, ketika saya pulang dari kantor, saya sengaja berjalan kaki menuju titik nol untuk menemui perempuan itu. Saya sengaja berjalan kaki agar lebih efesien, karena menggunakan motor di jalan Malioboro yang macet pastilah bukan ide yang bagus.
“Kau mau ke mana, Rasidi?” tanya Tarmo, salah satu rekan kerja saya. “Kau tidak langsung pulang?”
“Mau menemui perempuan itu,” jawab saya mencangklongkan tas kerja.
“Perempuan penunggu titik nol itu?”
Saya mengangguk.
Saya tidak tahu apa kalau sore hari perempuan itu ada di sana. Saya tidak pernah tahu, soalnya kalau saya pulang ke kontrakan tidak pernah lewat jalan ini lagi.
Sore hari jalan Malioboro terlihat ramai seperti biasanya. Ratusan penduduk seolah tumpah di jalan. Beberapa pedagang hampir memenuhi setiap sudut. Mulai dari penjual sate, baju, aksesoris hingga penjual kacang rebus menyemut di sini. Suara bising kendaraan dan asap knalpot membuat dada saya terasa sesak.
Sekitar dua puluh menit kemudian saya sampai di titik nol kilometer. Mata saya menyapu tempat itu untuk mencari perempuan yang saya cari. Saya berjalan ke arah benteng dan tidak menemukan keberadaan perempuan itu. Saya jadi bertanya-tanya, apa perempuan itu hanya duduk di sini kalau pagi hari?
Saya mencoba bertanya kepada seorang wanita penjual sate yang kebetulan tidak jauh dari pintu masuk Benteng Vredeburg. Saya bertanya perihal wanita penunggu itu.
“Itu lho perempuan yang suka duduk di tempat itu,” kata saya menunjuk tempat yang biasa diduduki perempuan itu. “Ia biasa duduk di tempat itu dan memandang ke arah selatan. Ia juga sering memakai baju terusan berwarna merah muda.”
Penjual sate itu menggeleng. Mengatakan bahwa hari ini ia tidak melihat perempuan penunggu itu.
Maka sore itu saya memutuskan pulang dengan rasa penasaran yang semakin menggunung. Siapa sebenarnya sosok perempuan penunggu itu?
Mungkin karena saya terlalu memikirkan perempuan penunggu titik nol itu, saya sampai bermimpi sangat aneh. Dalam mimpi itu saya bertemu dengan ia. Perempuan itu tersenyum ke arah saya dan saya juga balas tersenyum. Saya memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya.
“Halo…” Sapa saya ketika duduk di sebelah perempuan itu. “Boleh saya duduk di sini?”
Perempuan itu mengangguk, ia tersenyum sesaat sebelum akhirnya kembali memandang ke arah selatan. Seperti biasanya.
“Sudah lama di Jogja?” tanya saya memberanikan diri.
Perempuan itu berpaling ke arah saya. “Sudah dua tahun.” Jawabnya pelan. “Siapa namamu?”
Saya sedikit terkejut mendengar perempuan itu menanyakan nama saya. “Rasidi, nama saya Rasidi.”
“Aku Arum,” jawabnya memperkenalkan diri. “Sudah lama tinggal di Jogja?”
“Baru dua bulan,” jawab saya kikuk. “Kalau boleh tahu, kenapa kau selalu duduk di sini setiap pagi, Arum?”
Perempuan bernama Arum itu terdiam. Ia menundukan wajahnya. Saya bisa mendengar kalau perempuan itu menangis sesenggukan.
“Saya minta maaf kalau pertanyaan saya menyinggungmu…” saya merasa tidak enak hati begitu melihat perempuan itu menangis.
Arum mengangkat wajahnya. Air mata membekas jelas di pipinya yang kurus. Ia tersenyum sekilas sebelum kembali berbicara. “Aku sedang menunggu seseorang,” katanya akhirnya.
“Siapa?” tanya saya tanpa sadar. “Kau menunggu suamimu?”
Arum mengangguk. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku baju terusannya. Dan saya tahu bahwa itu sebuah foto.
“Ini anak perempuanku,” katanya memperlihatkan foto itu ke hadapan saya. “Namanya Kemuning.”
Saya memerhatikan wajah di dalam foto itu. Seorang remaja berusia sekitar tujuh belas tahun sedang berangkulan dengan Arum. Mereka berdua sangat mirip, mereka sama-sama mempunyai mata berwarna cokelat cerah dengan jidat yang hampir identik.
“Lalu di mana suamimu? Tanya saya ketika perempuan itu kembali memasukan foto itu ke dalam saku bajunya. “Apa ia tidak datang menemuimu?”
Perempuan itu hanya tersenyum. Dan setelah itu saya terbangun ketika mendengar alarm ponsel saya berbunyi nyaring.

***

Pagi harinya saya memutuskan untuk menemui perempuan penunggu itu. Saya semakin penasaran dibuatnya. Terlebih setelah saya bermimpi bertemu dengannya. Saya tidak tahu kenapa semua ini terjadi kepada saya, tapi yang jelas bahwa semua ini saling berhubungan.
Maka, setelah saya sarapan semangkuk soto yang saya beli di dekat rumah kontrakan, saya bergegas menghidupkan motor dan langsung meluncur ke titik nol.
“Semoga perempuan itu sudah di sana.” Gumam saya dalam hati. Saya melirik jam di tangan kanan yang sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Ini memang terlalu awal untuk masuk kantor. Tapi keputusan saya sudah bulat, saya akan menemui perempuan penunggu itu dulu sebelum ke kantor.
Beruntung jalanan pagi ini tidak begitu macet, karena lima belas menit kemudian akhirnya saya sampai di titik nol.
Suasana titik nol kilometer pagi ini tampak lenggang. Hanya beberapa orang yang sedang duduk-duduk atau sekadar olah raga lari. Setelah memarkirkan motor, saya berjalan ke tempat di mana perempuan itu biasa duduk.
Pandangan saya kembali menyapu tempat itu dan kembali tidak mendapati perempuan penunggu itu. Saya mulai merasa kecewa karena rasa penasaran saya tampaknya tidak menemukan jawaban. Saya jadi bertanya-tanya, di mana perempuan itu sekarang? Apa dia sudah bertemu suaminya?
Saya tidak menyerah kali ini. Saya memutuskan untuk menunggu perempuan itu di sini. Mungkin saya terlalu pagi datang ke sini. Bukankah biasanya saya melihat perempuan itu sekitar pukul tujuh lewat lima belas menit. Saya kembali melirik arloji di tangan kanan, baru menunjukan jam tujuh. Mungkin lima belas menit lagi perempuan itu akan datang.
Ponsel saya tiba-tiba berdering. Terpampang nama salah satu rekan kerja saya di layar ponsel. Saya segera menekan tombol hijau.
“Kau di mana, Rasidi?” tanya suara di ujung telepon. “Jam setengah delapan kau harus sudah sampai kantor. Bos mengatakan bahwa akan ada rapat mendadak.”
Saya mengembuskan napas sedikit kecewa karena tampaknya hari ini saya kembali gagal bertemu perempuan penunggu itu. “Sebentar lagi saya sampai,” kata saya mematikan telepon.
Saya bangkit dari tempat duduk ini. Mungkin Tuhan memang belum menakdirkan saya bertemu dengan perempuan penunggu itu. Saya kembali memasukan ponsel ke dalam tas kerja saya, merapikan seragam kerja—Ketika saya hendak menghampiri motor, mata saya membola begitu melihat seseorang yang sepertinya saya kenal.
Seorang remaja perempuan berambut panjang sebahu berjalan menuju tempat duduk yang baru saja saya tinggalkan. Ia membawa setangkai bunga mawar berwarna merah dan meletakan di tempat itu.
Saya bergegas menghampiri remaja itu karena saya yakin bahwa ia adalah Kemuning. Anak perempuan penunggu yang (mungkin) bernama Arum—yang semalam datang ke dalam mimpi saya.
“Maaf…” Kata saya begitu sampai di sebelah gadis itu. “Boleh saya tanya sesuatu?”
Gadis itu mendongak dan wajahnya tampak terkejut melihat saya. Gadis itu berdiri dan mundur beberapa langkah. Mungkin ia menganggap saya seorang penjahat.
“Saya bukan orang jahat,” saya mencoba tersenyum. “Nama saya Rasidi, saya cuma mau tanya apa kau Kemuning?”
Gadis itu tampak terkejut. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya.
“Ceritanya rumit,” kata saya duduk di tempat itu. “Mungkin kau tidak akan percaya, tapi semalam ibumu datang ke dalam mimpi saya.”
“Apa?” wajah Kemuning semakin terkejut. “Tapi bagaimana mungkin?”
Saya pun kemudian menceritakan semuanya. Bahwa selama hampir dua minggu ini saya melihat ibunya duduk di tempat ini, terlihat seperti sedang menunggu sesuatu. Saya juga menceritakan tentang mimpi aneh semalam. Ibunya bercerita bahwa ia tengah menunggu suaminya, ataupun tentang foto Kemuning yang ditunjukan kepada saya.
“Kalau boleh tahu di mana ibumu sekarang, Kemuning? Kenapa ia tidak ada di sini? Apa ayahmu sudah kembali?”
Setitik air mata keluar dari ujung mata gadis itu, dalam keadaan setengah menangis ia berkata bahwa ibunya sudah meninggal tiga bulan yang lalu. Katanya ia meninggal tersambar petir ketika sedang menunggu ayahnya yang entah pergi ke mana.
Saya hanya terdiam dan merasa udara sedingin es mengelus leher saya.

6 komentar:

  1. Wuih... keren
    Sedikit seram... heheheh

    BalasHapus
  2. Icikiwir.... Lumayan horor ������
    Tapi aku gagal paham dengan kalimat ini, Mas.

    [Saya tidak tahu apa kalau sore hari perempuan itu ada di sana. Saya tidak pernah tahu, soalnya kalau saya pulang ke kontrakan tidak pernah lewat jalan ini lagi]. Kalimat pertama sebelum titik. ✌

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soalnya itu jalan 1 arah. Jadi kalau pulang tidak boleh lagi lewat situ. Harus muter :p

      Hapus
  3. Udah baca :D
    Selamat, ya, Mamb.
    terus berkarya, jangan kayak saya yang kebanyakan malasnya :3

    Selain kata 'Itu' yang kamu tulis begitu banyak--hingga saya kenyang mengkonsumsinya--yang lain oke :D

    BalasHapus
  4. Bagus kak... misterinya dapet... :)

    BalasHapus