Minggu, 26 Juni 2016

CERPEN "HALTE" DIMUAT DI MALANG POST EDISI MINGGU 26 JUNI 2016.



HALTE

RAGIEL JP



Lelaki bermata sipit itu merasakan seluruh badannya terasa pegal. Seolah semua persendian di dalam tubuhnya tidak dalam posisi yang tepat. Lehernya terasa sakit dengan kepala bagian belakang terasa berat. Tas kerja yang diselempangkan di pundaknya seolah berubah menjadi seratus kilo, padahal hanya berkas-berkas pekerjaan yang mengisi tas itu.
Rusman—nama lelaki itu kembali melirik arloji di tangan kirinya. Sudah menunjukan pukul delapan malam. Bus yang ditunggunya belum juga datang. Padahal sudah lebih dari satu jam ia menunggu.
Ia meruntuki kesialan-kesialan yang terjadi hari ini. Dimulai dari mesin mobilnya yang tiba-tiba mogok. Taksi yang selalu saja penuh setiap kali ia berusaha menyetopnya. Sebenarnya Rusman bisa saja menyewa ojek online yang sekarang sedang menjamur di semua kota. Tapi ia urungkan, ia mempunyai pengalaman buruk menaiki ojek dan sejak saat itu ia sedikit trauma kalau harus menyewa jasa roda dua itu.
Masih teringat di kepala Rusman, berita yang terjadi lima hari yang lalu. Tentang penemuan sesosok mayat tanpa kepala di halte ini. Dari desas desus yang beredar, bahwa wanita itu adalah seorang pelacur yang dibunuh. Semacam korban Jack The Ripper versi modern.
Kalau mengingat penemuan mayat itu, bulu kuduk Rusman sedikit meremang. Ia selalu membayangkan akan bertemu hantu tanpa kepala yang mengikutinya sampai rumah. Ataupun bertemu kepala yang melayang-layang tanpa tubuh mengikutinya dari belakang.
“Hantu itu tidak ada, Rusman,” ucap Endang setiap kali ia bercerita bahwa ia merasa diikuti sesosok makhluk tak kasat mata. “Hantu hanyalah imajinasi dan manipulasi otak manusia.”
“Tapi banyak yang katanya sudah melihat penampakan hantu macam pocong dan kunthilanak.”
“Apa kamu sudah pernah melihatnya?”
Rusman menggeleng. “Tentu saja aku tidak pernah melihatnya. Bisa pingsan aku kalau melihat makhluk seperti itu.”
Endang tertawa.
“Kalau kamu sendiri bagaimana? Apa kamu percaya kalau hantu itu ada?”
“Seperti yang aku bilang tadi. Aku tidak percaya hantu.”
“Aku sumpahin kamu pulangnya diikuti pocong.”
“Aku tidak takut.”
“Hantunya yang takut kamu mungkin.”
“Itu yang aku takutkan.”
Rusman terbahak.
Endang adalah teman kecil Rusman, mereka selalu bersama-sama dari kecil hingga sekarang. Bahkan mereka kini sudah menjadi sepasang suami istri. Bagi Endang, Rusman adalah sosok suami idaman, ia rajin bekerja dan setia. Begitu juga sebaliknya, bagi Rusman, Endang adalah gambaran seorang istri yang sangat sempurna. Selain memang dia jago memasak, Endang adalah istri, teman dan juga patner yang sangat enak untuk diajak diskusi.
Namun semua itu tinggal kenangan.
Endang hilang bersama ratusan orang yang saat itu sedang dalam perjalanan dari Malaysia. Pesawat yang ditumpanginya mendadak hilang kontak dan sampai sekarang belum ditemukan keberadaannya.
Walau peristiwa naas itu sudah berlalu dua bulan yang lalu, Rusman selalu berharap ada sebuah kejaiban bahwa wanita yang dicintainya itu masih hidup dan akan kembali kepadanya suatu saat nanti. Ia percaya bahwa kekuatan doa yang selalu ia panjatkan setiap malam akan didengar Tuhan. Ia hanya harus yakin bahwa istrinya masih dalam keadaan hidup.
“Kamu terlalu memfrosir diri, Mas,” kata-kata istrinya kembali terngiang di dalam kepalanya. “Sudah malam, istirahatlah, lanjutkan pekerjaan besok lagi.”
“Tidak bisa,” jawab Rusman kembali mengetikan sesuatu di layar laptopnya. “Akan ada presentasi lusa. Aku tidak ingin mengecewakan klien.”
“Tapi ini sudah jam satu pagi,” Endang tak putus asa. “Besok kamu lanjutin lagi, aku tidak ingin kamu sakit, Mas.”
Rusman mengembuskan napas. Badannya terasa lelah luar biasa. “Sepuluh menit lagi,” katanya akhirnya. “Kamu tidurlah dulu.”
“Janji sepuluh menit lagi?”
Rusman mengangguk. “Iya aku janji.”
Endang kemudian mengecup kening suaminya.
***

 Lelaki itu kembali melirik arloji di tangan kirinya. Sudah menunjukan pukul sembilan malam dan bus yang ditunggunya belum juga datang. Ia mengamati keadaan sekeliling, sudah tampak sepi, hanya dirinya yang ada di halte itu.

Embusan angin dingin mengelus lehernya, ia merapatkan kemeja kerjanya, digesek-gesekan kedua tangannya untuk menciptakan panas—setelah itu ia menempelkan kedua tangannya ke pipi.
“Tidak biasanya malam ini begitu dingin…” Gumamnya dalam hati. Karena memang tidak biasanya malam ini begini dingin.
Bus ketiga kembali datang dan ia kembali meruntuki karena itu bukanlah bus yang ditunggunya. Bus ketiga itu berwarna putih kusam bergambar kartun yang dulu sering ditontonnya ketika ia masih kecil. Penumpang di bus itu juga tidak terlalu banyak dan wajah-wajah lelah seperti dirinya hampir memenuhi bus itu.
Seorang wanita berusia sekitar awal tiga puluhan turun dari bus itu dan berjalan melewati Rusman. Ia hanya menatap Rusman dengan tatapan curiga, seolah dirinya adalah seorang yang akan berniat jahat kepadanya. Dan satu menit kemudian bus itu kembali jalan meninggalkan ia dan penumpang yang baru turun dari bus itu.
Perempuan itu berdiri di ujung halte. Ia beberapa kali melirik ke arah Rusman dengan tatapan aneh, seolah melihat dirinya adalah seorang penjahat. Sebenarnya Rusman ingin menyapa perempuan itu, namun segera ia urungkan, ia takut perempuan itu akan berpikiran macam-macam. Ia kembali teringat berita beberapa hari yang lalu, tentang pembunuhan itu. Mungkin saja wanita itu berpikir bahwa ia adalah psikopat gila itu.
Lima menit berlalu dan wanita itu terus mengamatinya dengan tatapan yang membuat Rusman merasa semakin tidak nyaman. Wanita itu menggigit bibirnya dengan cemas, wajahnya juga terlihat sangat pucat. Ia terlihat beberapa kali menekan-nekan ponselnya, mungkin berusaha menghubungi seseorang untuk menjemputnya.
“Cepat jemput aku di halte biasa…” Wanita itu menelepon seseorang. “Aku takut.”
Rusman memalingkan wajahnya dari wanita itu. Takut kalau rasa penasarannya lah yang membuat wanita itu ketakutan. Ia kembali melirik arloji di tangan kanannya dan terus mengumpat kenapa bus yang ditunggunya belum juga datang. Padahal biasanya jam-jam begini bus itu sudah lewat dan membawanya ke rumahnya. Ia sudah membayangkan betapa nyamannya kasur dan bantal yang akan memanjakan badannya.
Sepuluh menit kemudian sebuah motor menghampiri halte tempatnya duduk. Wanita yang di ujung halte melambaikan tangannya ke arah pengendara motor itu.
“Rupanya ia orang yang ditelepon tadi…” Gumam Rusman dalam hati.
Pengendara motor dan wanita itu terlihat sebuah percakapan kecil. Wanita itu berbisik-bisik sesuatu yang tidak bisa didengar Rusman. Sedangkan lelaki pengendara motor itu juga melirik ke arah Rusman. Matanya menyipit dengan awas.
“Sebaiknya kita pergi.” Gumam lelaki itu. “Aku tidak mau berhubungan dengan polisi.”
Wanita itu mengangguk dan bergegas menaiki sepeda motor itu. Setelah wanita itu menaiki motor, mereka berdua langsung melesat pergi meninggalkan Rusman seorang diri.
Demi mendengar ucapan lelaki tadi, muncul tanda tanya besar di dalam hati Rusman, sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan. Kenapa mereka mengatakan kalau mereka tidak mau berhubungan dengan polisi. Apa benar jika mereka menganggapnya sebagai seorang pembunuh, atau mereka melihat bahwa psikopat itu tengah berkeliaran di dekat halte ini dan mencari korban selanjutnya?
Mendadak Rusman merinding membayangkan dirinya bertemu pembunuh itu di halte ini. Walau ia yakin bahwa kematian selalu mengikutinya seperti sebuah bayangan, ia tidak mau mati secara konyol karena dibunuh. Ia hanya ingin mati secara normal, bukan dengan leher yang terputus.
Udara sedingin es kembali mengelus lehernya. Ia kembali merapatkan kemeja kerjanya dan ia merasa lega luar biasa ketika melihat sebuah kendaraan yang ditunggunya akhirnya datang juga. Nomor yang tertera di atas bus itulah yang selama beberapa jam ini ia tunggu.
Ketika bus itu berhenti di halte, Rusman memang menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dengan bus itu. Walau bus itu memang bus jurusan yang biasa ditumpanginya, namun bus itu memiliki bentuk yang sangat aneh. Bus itu berwarna merah menyala dengan aroma yang yang entah kenapa membuatnya tidak nyaman. Selain itu, bus ini juga kosong tanpa ada satupun penumpang di dalamnya, hanya supir yang juga memakai seragam berwarna merah, senada dengan bus yang dikemudiaknya.
Tidak ada pilihan lain bagi Rusman selain menaiki bus itu. Mungkin saja ini bus terakhir yang beroperasi. Lelaki itu kembali melirik jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Ia mengembuskan napas dan mulai memasuki bus itu. Setelah ia duduk, bus itu kembali melaju dan sekilas Rusman melihat tubuhnya masih tertinggal di halte. Diam.

11 komentar:

  1. ragel ... dirimu selalu saja bikin cerpen dengan aroma misteri seperti ini. aku sudah menduga waktu membaca di pertengahan, dan semakin yakin menjelang akhir. selamat ya buat terbitnya cerpen ini.

    BalasHapus
  2. Idenya cerdas, Mas Ragiel. Endingnya sangat aku suka. Seperti inilah ending yang menohok.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehehe, masih belum ada apa-apanya dibanding kak Pangeran. Makasih sudah mampir :D

      Hapus
  3. Ceritanya bagus, Mas. Saya ikut hanyut di dalamnya, dan merasa 'ditampar' ketika ending. Selamat juga atas dimuatnya di koran. :)

    Saya juga membuat blog yang isinya cerpen-cerpen saya walau belum pernah dimuat di manapun. Jika berkenan, silakan mampir juga ke blog saya dan menyampaikan krisannya. Terima kasih.

    www.bangcadel.com

    BalasHapus
  4. Kereeeenlah! Singkat, padat dan endingnya nyekek! Hehehe

    BalasHapus
  5. Keren...
    saya suka, saya suka :D
    selamat, ya, Mamb.

    BalasHapus
  6. Mas, cerpen yg dimuat di malang Post, ada honornya ndak, ya?

    BalasHapus