INTELIGENSI
LUMUT
RAGIEL JP
Banyak yang tidak tahu bahwa kombinasi
warna merah bunga mawar, hijau dari lumut dan kuning dari bunga matahari bisa
menciptakan aura yang begitu menyejukan. Selama ini kebanyakan orang selalu
mengaplikasikan warna biru laut dan langit untuk menggambarkan ketenangan.
Padahal masih banyak jutaan warna-warna alam yang bisa menciptakan kombinasi
ajaib yang mampu menciptakan ketenangan.
Seperti yang ada di hadapanku sekarang, di
depan rumah, aku sedang mengamati lumut yang tumbuh di pinggiran kolam ikan,
dengan bunga matahari dan mawar sebagai hiasan sekeliling taman.
Namaku Hara, usiaku lima belas tahun. Aku
menyukai alam dan segala macam kekayaan hayati yang hidup di dalam Gunung
Singgalang. Dari segala macam tanaman, aku sangat menyukai lumut, tumbuhan yang
termasuk dalam golongan tingkat rendah dalam divisi Bryropyta, lumut bisa dikatakan bukan hanya sekedar tanaman biasa,
lumut mempunyai sebuah inteligensi yang tidak dimiliki kebanyakan tumbuhan
lain.
“Hara…” Suara berat Ayah mengalihkan
perhatianku dari lumut yang tumbuh di pinggiran kolam. “Apa yang sedang kamu
lakukan? Ayo masuk, sebentar lagi hujan.”
Aku berpaling ke arah Ayah. “Sebentar lagi,
Yah.”
“Kalau sudah bosan melihat lumut, cepat
masuk, Nak, Ayah tidak ingin kamu sakit kalau kena air hujan.”
Aku mengangguk, masih terlalu asyik dengan
lumut yang terasa licin di genggaman tanganku. Begitu juga dengan ikan-ikan
yang ada di dalam kolam itu, ikan-ikan itu langsung memakan lumut yang sedang
kupegang ketika aku mencelupkan tanganku ke dalam kolam.
“Tidak heran kenapa kamu sangat menyukai
lumut,” celetuk sebuah suara ringan di belakangku. “Inteligensi lumut. Itu
istilah yang kamu pakai untuk mengaplikasikan kehebatan lumut kan, Hara? Lumut
memang tanaman yang ajaib ya, walau ia tidak semenarik bunga mawar.”
“Lumut memang tumbuhan yang menakjubkan,
selain sebagai nenek moyang segala tumbuhan di bumi, lumut juga bisa dikatakan
sebagai tumbuhan pelopor kan? Coba kamu bayangkan, Kak, apa jadinya jika di
bumi ini tidak ada lumut?”
“Tidak akan ada kehidupan mungkin,” jawab
Naya terkekeh. “Ayo masuk, Hara, sebentar lagi hujan.”
Rintik hujan sudah mulai turun dari langit
mendung, rintik hujan yang jatuh ke kolam mampu menciptakan sebuah pemandangan
yang menakjubkan. “Bagaimana hasilnya, Kak, apa Kak Naya berhasil membujuk
penduduk untuk menentang kelakuan para pendatang itu?”
Naya menggeleng. “Aku tidak berhasil
mengajak warga untuk menghentikan apa yang dilakukan para pendatang itu, Hara.
Semua warga di sini seolah tidak peduli jika alam mereka akan dirusak, bahkan
yang aku dengar, kawasan Hutan Lumut di puncak Gunung Singgalang pun akan
dijadikan pabrik gula pasir.”
“Ini tidak bisa dibiarkan terus, Kak,”
kataku geram dengan ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab itu. “Kita harus
mengatakan pada penduduk bahwa tidak ada yang boleh merusak kawasan Gunung
Singgalang, sebagian besar kehidupan kita tergantung pada hutan itu. Akan
terjadi bencana longsor jika hutan itu digunduli. Pasti Telaga Dewi akan
tercemar jika di tempat itu benar akan dibuat pabrik.”
“Itulah yang aku khawatirkan, Hara,” jawab
Naya suaranya terdengar pedih. “Telaga itu adalah sumber air bagi warga,
bayangkan apa dampaknya bagi spesies binatang yang hidup di hutan itu”
Aku menelan ludah dengan getir,
membayangkan hal paling buruk yang akan terjadi dengan kelangsungan hidup Hutan
Singgalang. Jika tidak segera ditindaklanjuti, pasti lambat laun hutan itu akan
rusak.
“Apa Ayah tidak bisa mencoba menghentikan
para pendatang itu, Kak?” Tanyaku pelan. “Mungkin saja pendapat ayah lebih
didengar Kepala Desa.”
“Percuma, Hara,” Naya terlihat putus asa
mengatakannya. “Kamu tentunya tahu, aku dan Ayah sudah berkali-kali mencoba
menggalang suara untuk melawan para pendatang itu. Tapi apa yang terjadi?
Mereka lebih rela hutan itu dibuat pabrik. Para pendatang berperut buncit itu
mengiming-imingi warga dengan uang yang banyak.”
Aku kembali menelan ludah dengan getir.
Merasakan luapan kemarahan dan ketidakberdayaan membayangkan kerusakan hutan.
Lumut, mata air yang bersih, bunga edelweis, pakis, mungkin sepuluh tahun lagi
tumbuhan-tumbuhan itu hanya tinggal dongeng yang diceritakan orangtua kepadanya
anaknya menjelang tidur.
“Kita harus melakukan sesuatu, Kak, kita
tidak bisa membiarkan mereka membangun pabrik di Gunung Singgalang, kita tidak
boleh membiarkan penduduk yang akan menanggung semua ini, alam tidak pernah
tidur, ia pasti akan menunjukan kemurkaannya kepada siapa pun yang mengusiknya,
kita tidak bisa membiarkan penduduk yang tidak bersalah menerimanya.”
“Kamu benar, Hara,” dukung Naya duduk di
sebelahku¾ikut
mengamati hujan lewat jendela. “Tapi apa yang harus kita lakukan? Suara dua
gadis biasa tidaklah mampu menentang kuasa para pendatang itu, kita tidak bisa
melakukan apa-apa jika uang sudah berbicara.”
***
Ayah
mengajakku dan Naya untuk menggalang suara guna menentang pembangunan itu. Dari
pintu ke pintu Ayah mencoba meyakinkan warga dampak buruk apabila Gunung
Singgalang dijadikan pabrik.
“Cukup, Hamdan!” Bentak Pak Junro, sang
pemilik rumah. “Keputusan kami sudah bulat, orang-orang kota itu membayar kita
dengan mahal, ini kesempatan kita mendapatkan uang banyak, kamu harusnya senang
dengan pembangunan pabrik itu.”
“Tapi Gunung Singgalang akan rusak, Paman,”
kataku ikut menimpali. “Kita tidak boleh membiarkan hal itu terjadi, hutan akan
tercemar jika pabrik itu dibangun di sana.”
“Tahu apa kalian bocah ingusan?!” Seru Pak
Junro emosi. “Pergi kalian dari sini, aku tidak butuh nasehat dari bocah-bocah
ingusan seperti kalian.”
“Tapi¾” Kata Ayah lagi. “Kita tidak boleh¾”
“PERGI!” Bentak Pak Junro menggebrak
mejanya.
Kami memutuskan pulang ke rumah, dan
sebelum kami sampai di rumah, aku melihat dengan perasaan sedih Gunung
Singgalang yang sebentar lagi mungkin akan kehilangan pesonanya.
***
“Bakar!” Teriak seorang lelaki berbadan
tegap mengangkat tinggi-tinggi obor yang sedang dipegangnya. “Bakar rumah orang
tidak tahu diri itu… Bakar orang tidak tahu berterima kasih itu… Bakar… Bakar
rumahnya.”
Wajah orang-orang yang berdiri di depan
rumahku berkilat seperti iblis ketika obor-obor itu menyepuh wajah mereka.
Seorang laki-laki berbadan tegap terus meneriakan seruan untuk membakar
rumahku. Beberapa penduduk yang mendukung pembuatan pabrik pun tampak sangat
antusias begitu seorang lelaki berkumis tebal menyiramkan bensin di sekeliling
rumahku.
“Tolong jangan bakar rumahku…” Suara Ayah
terdengar sangat menyayat ketika lelaki berkumis itu menyiramkan bensin ke
lumut hias yang tumbuh di dinding rumahku. “Ini rumah kami satu-satunya, aku
mohon jangan kalian bakar rumahku.”
“Diam, bangsat!” Hardik lelaki berbadan
tegap melayangkan tinju ke perut Ayah. “Inilah akibat karena kamu terlalu
banyak omong. Menentang usaha kami yang memberi wargamu kemakmuran. Kamu
seharusnya berterima kasih.” Lelaki berbadan tegap itu kembali meninju perut
Ayah. “Lihat ini. Inilah balasan untuk orang tidak tahu diri sepertimu.”
Kejadiannya cepat sekali, api langsung
berkobar sangat besar begitu laki-laki berkumis tebal itu melemparkan obor yang
dipegangnya, membakar rumah kami, melahap lumut-lumut di dinding seperti
monster api yang lapar.
***
Satu tahun kemudian kondisi alam Gunung
Singgalang sudah tidak seindah dulu, kedatangan orang-orang dari kota telah
mengubah keadaan Gunung Singgalang, beberapa pabrik-pabrik telah didirikan di
tempat itu, menyebabkan kerusakan hutan. Limbah pabrik dibuang begitu saja ke dalam
hutan, menyebabkan tanah terkontaminasi racun, mata air tidak aman lagi untuk
dikonsumsi, hewan dan burung-burung banyak yang mati setelah pabrik-pabrik itu
didirikan.
Hutan Lumut hanya tinggal cerita, Telaga
Dewi sudah keruh tercemar limbah pabrik, mata air sudah mengering, kawanan
burung muo sudah enggan untuk mampir ke hutan, tanah sudah sangat gersang,
hutan sudah berubah menjadi gundul. Alam menangis melalui retakan-retakan
tanah. Kekeringan melanda desa, bencana longsor dan banjir siap menghadang
setiap saat.
“Hara…” Terdengar suara pelan menyentuh
pundakku. “Kami minta maaf.”
“Kita harus melakukan sesuatu, Pak,” kataku
pada Pak Junro. “Sebelum terjadi hal yang buruk terjadi di desa ini.”
Ide keluargaku untuk mengadakan reboisasi
mendapat dukungan penuh dari semua masyarakat. Mereka telah menyadari bahwa
merusak alam sama saja dengan bunuh diri. Setiap hari selama beberapa tahun
kami terus melakukan penanaman bibit pohon di Gunung Singgalang. Bukan
pekerjaan yang mudah memang melakukan reboisasi hutan yang sudah sangat rusak
ini. Namun dengan segenap tekad untuk mengembalikan alam, kami bekerja tanpa
kenal lelah, hingga setelah bertahun-tahun lamanya, usaha kami membuahkan
hasil.
Kemunculan lumut membuatku bahagia. Lumut
adalah tanda bahwa alam sudah mulai membaik. Inteligensi lumut sebagai
indikator lingkungan sangat berguna dalam pemulihan alam ini. Aku dan Naya
mencetuskan metode penanaman dengan bantuan lumut yang kami sebut
Bio-Indikator, yaitu dengan membuat klasifikasi habitat.
Gunung Singgalang perlahan kembali hijau.
Mata air kembali mengalir di dalam hutan. Telaga kembali jernih. Ribuan ekor
benih ikan sudah dilepas di telaga. Beberapa binatang juga sudah kembali ke
dalam hutan. Tidak jarang pula aku melihat bunga edelweis kembali tumbuh di
antara pohon-pohon pakis. Hutan Lumut sudah kembali menghijau, membentuk sebuah
koloni sejauh puluhan kilometer. Udara juga semakin terasa sejuk. Lagi-lagi aku
harus mengakui Inteligensi lumut sebagai penyedia oksigen, penyimpanan air dan
penyerap polusi hutan. Apa jadinya nasib bumi jika tidak ada lumut? Dan kini,
aku juga tahu hubungan antara namaku dengan lumut. Namaku Hara, yang mempunyai arti unsur pembentuk
metabolisme tanah, pembentuk kehidupan bumi, sedangkan lumut bisa dikatakan
sebagai tumbuhan pelopor, di mana ia bisa tumbuh di mana tumbuhan lain belum
bisa tumbuh. Hara dan lumut, sebuah simbiosis mutualisme yang tak terpisahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar