Jumat, 08 Juli 2016

CERPEN "INTELIGENSI LUMUT" DIMUAT DI FLORES SASTRA EDISI 8 JULI 2016









INTELIGENSI LUMUT

RAGIEL JP



Banyak yang tidak tahu bahwa kombinasi warna merah bunga mawar, hijau dari lumut dan kuning dari bunga matahari bisa menciptakan aura yang begitu menyejukan. Selama ini kebanyakan orang selalu mengaplikasikan warna biru laut dan langit untuk menggambarkan ketenangan. Padahal masih banyak jutaan warna-warna alam yang bisa menciptakan kombinasi ajaib yang mampu menciptakan ketenangan.
Seperti yang ada di hadapanku sekarang, di depan rumah, aku sedang mengamati lumut yang tumbuh di pinggiran kolam ikan, dengan bunga matahari dan mawar sebagai hiasan sekeliling taman.
Namaku Hara, usiaku lima belas tahun. Aku menyukai alam dan segala macam kekayaan hayati yang hidup di dalam Gunung Singgalang. Dari segala macam tanaman, aku sangat menyukai lumut, tumbuhan yang termasuk dalam golongan tingkat rendah dalam divisi Bryropyta, lumut bisa dikatakan bukan hanya sekedar tanaman biasa, lumut mempunyai sebuah inteligensi yang tidak dimiliki kebanyakan tumbuhan lain.
“Hara…” Suara berat Ayah mengalihkan perhatianku dari lumut yang tumbuh di pinggiran kolam. “Apa yang sedang kamu lakukan? Ayo masuk, sebentar lagi hujan.”
Aku berpaling ke arah Ayah. “Sebentar lagi, Yah.”
“Kalau sudah bosan melihat lumut, cepat masuk, Nak, Ayah tidak ingin kamu sakit kalau kena air hujan.”
Aku mengangguk, masih terlalu asyik dengan lumut yang terasa licin di genggaman tanganku. Begitu juga dengan ikan-ikan yang ada di dalam kolam itu, ikan-ikan itu langsung memakan lumut yang sedang kupegang ketika aku mencelupkan tanganku ke dalam kolam.
“Tidak heran kenapa kamu sangat menyukai lumut,” celetuk sebuah suara ringan di belakangku. “Inteligensi lumut. Itu istilah yang kamu pakai untuk mengaplikasikan kehebatan lumut kan, Hara? Lumut memang tanaman yang ajaib ya, walau ia tidak semenarik bunga mawar.”
“Lumut memang tumbuhan yang menakjubkan, selain sebagai nenek moyang segala tumbuhan di bumi, lumut juga bisa dikatakan sebagai tumbuhan pelopor kan? Coba kamu bayangkan, Kak, apa jadinya jika di bumi ini tidak ada lumut?”
“Tidak akan ada kehidupan mungkin,” jawab Naya terkekeh. “Ayo masuk, Hara, sebentar lagi hujan.”
Rintik hujan sudah mulai turun dari langit mendung, rintik hujan yang jatuh ke kolam mampu menciptakan sebuah pemandangan yang menakjubkan. “Bagaimana hasilnya, Kak, apa Kak Naya berhasil membujuk penduduk untuk menentang kelakuan para pendatang itu?”
Naya menggeleng. “Aku tidak berhasil mengajak warga untuk menghentikan apa yang dilakukan para pendatang itu, Hara. Semua warga di sini seolah tidak peduli jika alam mereka akan dirusak, bahkan yang aku dengar, kawasan Hutan Lumut di puncak Gunung Singgalang pun akan dijadikan pabrik gula pasir.”
“Ini tidak bisa dibiarkan terus, Kak,” kataku geram dengan ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab itu. “Kita harus mengatakan pada penduduk bahwa tidak ada yang boleh merusak kawasan Gunung Singgalang, sebagian besar kehidupan kita tergantung pada hutan itu. Akan terjadi bencana longsor jika hutan itu digunduli. Pasti Telaga Dewi akan tercemar jika di tempat itu benar akan dibuat pabrik.”
“Itulah yang aku khawatirkan, Hara,” jawab Naya suaranya terdengar pedih. “Telaga itu adalah sumber air bagi warga, bayangkan apa dampaknya bagi spesies binatang yang hidup di hutan itu”
Aku menelan ludah dengan getir, membayangkan hal paling buruk yang akan terjadi dengan kelangsungan hidup Hutan Singgalang. Jika tidak segera ditindaklanjuti, pasti lambat laun hutan itu akan rusak.
“Apa Ayah tidak bisa mencoba menghentikan para pendatang itu, Kak?” Tanyaku pelan. “Mungkin saja pendapat ayah lebih didengar Kepala Desa.”
“Percuma, Hara,” Naya terlihat putus asa mengatakannya. “Kamu tentunya tahu, aku dan Ayah sudah berkali-kali mencoba menggalang suara untuk melawan para pendatang itu. Tapi apa yang terjadi? Mereka lebih rela hutan itu dibuat pabrik. Para pendatang berperut buncit itu mengiming-imingi warga dengan uang yang banyak.”
Aku kembali menelan ludah dengan getir. Merasakan luapan kemarahan dan ketidakberdayaan membayangkan kerusakan hutan. Lumut, mata air yang bersih, bunga edelweis, pakis, mungkin sepuluh tahun lagi tumbuhan-tumbuhan itu hanya tinggal dongeng yang diceritakan orangtua kepadanya anaknya menjelang tidur.
“Kita harus melakukan sesuatu, Kak, kita tidak bisa membiarkan mereka membangun pabrik di Gunung Singgalang, kita tidak boleh membiarkan penduduk yang akan menanggung semua ini, alam tidak pernah tidur, ia pasti akan menunjukan kemurkaannya kepada siapa pun yang mengusiknya, kita tidak bisa membiarkan penduduk yang tidak bersalah menerimanya.”
“Kamu benar, Hara,” dukung Naya duduk di sebelahku¾ikut mengamati hujan lewat jendela. “Tapi apa yang harus kita lakukan? Suara dua gadis biasa tidaklah mampu menentang kuasa para pendatang itu, kita tidak bisa melakukan apa-apa jika uang sudah berbicara.”
***
 Ayah mengajakku dan Naya untuk menggalang suara guna menentang pembangunan itu. Dari pintu ke pintu Ayah mencoba meyakinkan warga dampak buruk apabila Gunung Singgalang dijadikan pabrik.
“Cukup, Hamdan!” Bentak Pak Junro, sang pemilik rumah. “Keputusan kami sudah bulat, orang-orang kota itu membayar kita dengan mahal, ini kesempatan kita mendapatkan uang banyak, kamu harusnya senang dengan pembangunan pabrik itu.”
“Tapi Gunung Singgalang akan rusak, Paman,” kataku ikut menimpali. “Kita tidak boleh membiarkan hal itu terjadi, hutan akan tercemar jika pabrik itu dibangun di sana.”
“Tahu apa kalian bocah ingusan?!” Seru Pak Junro emosi. “Pergi kalian dari sini, aku tidak butuh nasehat dari bocah-bocah ingusan seperti kalian.”
“Tapi¾” Kata Ayah lagi. “Kita tidak boleh¾
“PERGI!” Bentak Pak Junro menggebrak mejanya.
Kami memutuskan pulang ke rumah, dan sebelum kami sampai di rumah, aku melihat dengan perasaan sedih Gunung Singgalang yang sebentar lagi mungkin akan kehilangan pesonanya.
***
“Bakar!” Teriak seorang lelaki berbadan tegap mengangkat tinggi-tinggi obor yang sedang dipegangnya. “Bakar rumah orang tidak tahu diri itu… Bakar orang tidak tahu berterima kasih itu… Bakar… Bakar rumahnya.”
Wajah orang-orang yang berdiri di depan rumahku berkilat seperti iblis ketika obor-obor itu menyepuh wajah mereka. Seorang laki-laki berbadan tegap terus meneriakan seruan untuk membakar rumahku. Beberapa penduduk yang mendukung pembuatan pabrik pun tampak sangat antusias begitu seorang lelaki berkumis tebal menyiramkan bensin di sekeliling rumahku.
“Tolong jangan bakar rumahku…” Suara Ayah terdengar sangat menyayat ketika lelaki berkumis itu menyiramkan bensin ke lumut hias yang tumbuh di dinding rumahku. “Ini rumah kami satu-satunya, aku mohon jangan kalian bakar rumahku.”
“Diam, bangsat!” Hardik lelaki berbadan tegap melayangkan tinju ke perut Ayah. “Inilah akibat karena kamu terlalu banyak omong. Menentang usaha kami yang memberi wargamu kemakmuran. Kamu seharusnya berterima kasih.” Lelaki berbadan tegap itu kembali meninju perut Ayah. “Lihat ini. Inilah balasan untuk orang tidak tahu diri sepertimu.”
Kejadiannya cepat sekali, api langsung berkobar sangat besar begitu laki-laki berkumis tebal itu melemparkan obor yang dipegangnya, membakar rumah kami, melahap lumut-lumut di dinding seperti monster api yang lapar.
***
Satu tahun kemudian kondisi alam Gunung Singgalang sudah tidak seindah dulu, kedatangan orang-orang dari kota telah mengubah keadaan Gunung Singgalang, beberapa pabrik-pabrik telah didirikan di tempat itu, menyebabkan kerusakan hutan. Limbah pabrik dibuang begitu saja ke dalam hutan, menyebabkan tanah terkontaminasi racun, mata air tidak aman lagi untuk dikonsumsi, hewan dan burung-burung banyak yang mati setelah pabrik-pabrik itu didirikan.
Hutan Lumut hanya tinggal cerita, Telaga Dewi sudah keruh tercemar limbah pabrik, mata air sudah mengering, kawanan burung muo sudah enggan untuk mampir ke hutan, tanah sudah sangat gersang, hutan sudah berubah menjadi gundul. Alam menangis melalui retakan-retakan tanah. Kekeringan melanda desa, bencana longsor dan banjir siap menghadang setiap saat.
“Hara…” Terdengar suara pelan menyentuh pundakku. “Kami minta maaf.”
“Kita harus melakukan sesuatu, Pak,” kataku pada Pak Junro. “Sebelum terjadi hal yang buruk terjadi di desa ini.”
Ide keluargaku untuk mengadakan reboisasi mendapat dukungan penuh dari semua masyarakat. Mereka telah menyadari bahwa merusak alam sama saja dengan bunuh diri. Setiap hari selama beberapa tahun kami terus melakukan penanaman bibit pohon di Gunung Singgalang. Bukan pekerjaan yang mudah memang melakukan reboisasi hutan yang sudah sangat rusak ini. Namun dengan segenap tekad untuk mengembalikan alam, kami bekerja tanpa kenal lelah, hingga setelah bertahun-tahun lamanya, usaha kami membuahkan hasil.
Kemunculan lumut membuatku bahagia. Lumut adalah tanda bahwa alam sudah mulai membaik. Inteligensi lumut sebagai indikator lingkungan sangat berguna dalam pemulihan alam ini. Aku dan Naya mencetuskan metode penanaman dengan bantuan lumut yang kami sebut Bio-Indikator, yaitu dengan membuat klasifikasi habitat.
Gunung Singgalang perlahan kembali hijau. Mata air kembali mengalir di dalam hutan. Telaga kembali jernih. Ribuan ekor benih ikan sudah dilepas di telaga. Beberapa binatang juga sudah kembali ke dalam hutan. Tidak jarang pula aku melihat bunga edelweis kembali tumbuh di antara pohon-pohon pakis. Hutan Lumut sudah kembali menghijau, membentuk sebuah koloni sejauh puluhan kilometer. Udara juga semakin terasa sejuk. Lagi-lagi aku harus mengakui Inteligensi lumut sebagai penyedia oksigen, penyimpanan air dan penyerap polusi hutan. Apa jadinya nasib bumi jika tidak ada lumut? Dan kini, aku juga tahu hubungan antara namaku dengan lumut. Namaku Hara, yang mempunyai arti unsur pembentuk metabolisme tanah, pembentuk kehidupan bumi, sedangkan lumut bisa dikatakan sebagai tumbuhan pelopor, di mana ia bisa tumbuh di mana tumbuhan lain belum bisa tumbuh. Hara dan lumut, sebuah simbiosis mutualisme yang tak terpisahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar