Senin, 25 Juli 2016

CERPEN "ULAR SILUMAN" DIMUAT DI HARIAN DUTA MASYARAKAT EDISI 24 JULI 2016.

ULAR SILUMAN

RAGIEL JP


Sarwin menjerit ketika melihat ular-ular itu mulai merayap ke atas tempat tidurnya, ular-ular itu keluar dari berbagai tempat, dari dalam lemari, dari dalam laci, dari dalam tanah dan dari balik jendela. Ular-ular itu merayap dengan lidahnya yang menjulur dan bercabang, matanya yang merah menyala tampak mengerikan dengan taring yang siap menggigit kepalanya hingga putus.
Sarwin mengambil apa pun yang ada di sebelahnya untuk menghalau ular-ular itu agar tidak mendekat ke arahnya, ia melempar gelas, bantal, vas bunga hingga piring ke arah ular-ular itu, namun, semakin ia berusaha mengusir ular-ular itu, tampaknya ular itu semakin bertambah banyak, ular itu terus memebelah diri seperti bakteri dan lintah, siap menyedot darah dan menyuntikan bisanya yang perlahan-lahan akan menghentikan embusan napasnya.
“Tidaaak!” Sarwin berteriak histeris ketika ular bermata merah itu mulai melilit kakinya, dan ular-ular lain mulai merayap ke tubuhnya, kulit ular itu terasa kasar ketika menyentuh kulitnya. Ular itu sudah melilit leher dan siap memotong lehernya dengan gigi taringnya yang tajam ketika pintu menjeplak terbuka dan seorang wanita berambut kriwil datang menghampirinya.
“Kenapa kamu berteriak malam-malam seperti ini, Mas?” tanya wanita berambut kriwil itu menatap Sarwin. “Tidak tahukah sekarang jam berapa? Jam dua pagi.”
“Ular…” Napas Sarwin memburu ketika ular-ular itu seolah berhenti bergerak. “Ada ular di kamarku, ada ribuan ular.”
“Ular apa?” tanya wanita itu melihat sekeliling kamar suaminya. “Kamu pasti mimpi buruk lagi, tidak ada ular di sini, Mas.”
“Tidak!” Keringat dingin keluar dari kening Sarwin ketika matanya menatap mata merah si ular yang tengah melilit lehernya. “Ular itu banyak sekali, pasti ular siluman, bahkan ada yang sedang melilit leherku.”
Wanita berambut kriwil itu menggelengkan kepalanya. “Tidak ada ular, Mas, itu hanya imajinasimu saja.”
“Aku tidak bohong. Ini bukan imajinasiku, mereka benar benar nyata, ular-ular itu benar-benar ada, mereka sedang menatapku.”
“Tidak ada ular, Mas,” kata istrinya lagi. “Sudah, lebih baik kamu cepat tidur, besok kita ke psikiater lagi.”
“Aku tidak gila!” Sembur Sarwin. “Aku tidak mau ke psikiater, aku hanya perlu orang yang bisa mengusir ular siluman itu.”
“Harus aku katakan berapa kali kalau tidak ada ular, Mas. Sudah malam, aku harus menani Vani, anak kita tampaknya masih terpukul atas hilangnya Rosi—teman baiknya, anak itu menghilang dan sampai sekarang belum kembali.”
Sarwin terdiam. Tidak ada gunanya menceritakan tentang ular-ular siluman itu kepada istrinya. Karena ia tidak akan pernah percaya.
Setelah istrinya keluar dari dalam kamar, Sarwin kembali ketakutan ketika ular-ular yang tadi diam ketika ada istrinya kembali menggeliat dan kembali merayap ke atas tempat tidurnya. Semakin banyak ular-ular yang melilit kakinya dan juga lehernya, membuat Sarwin merasa sesak napas, dan semuanya berubah menjadi gelap ketika seekor ular berukuran lumayan besar melilit lehernya dengan sangat erat.

***

Sarwin terbangun ketika ada yang menggoyang-goyangkan bahunya dengan cukup keras. Dadanya masih terasa memburu dengan napas yang sedikit ngos-ngosan. Ia membuka matanya secara perlahan, takut kalau ular-ular itu masih melilit tubuhnya. Namun begitu ia membuka mata, ia melihat Sakiah—Istrinya tengah menatapnya.
“Bangun juga akhirnya,” katanya. “Kenapa kamu tidur di lantai, Mas?”
Sarwin hanya terdiam, baru sadar bahwa sekarang ia berada di lantai dengan selimut yang hampir melilit seluruh tubuhnya. “Aku tidak apa-apa.”
“Cepat mandi, Mas, setelah itu sarapan, kita harus pergi ke psikiater untuk memeriksamu.”
“Tapi aku tidak gila.”
“Psikiater bukan untuk orang gila, Mas,” kata istrinya lagi. “Siapa tahu dengan kamu datang ke sana bisa menyembuhkan kegelisahanmu akan ular-ular di dalam kepalamu itu.”
“Mereka tidak ada di kepalaku, mereka benar-benar ada di dalam kamarku.” Protes Sarwin.
“Tapi aku tidak pernah melihat ular-ular itu, Mas. Sudahlah sebaiknya kamu cepat mandi. Aku tunggu di bawah lima belas menit lagi.”
Sarwin hanya teridam. Matanya awas melihat keadaan sekeliling. Takut kalau ular siluman itu masih ada di dalam kamarnya. Aman, pikir Sarwin. Tampaknya ular-ular siluman itu hanya menerornya ketika malam hari. Istrinya benar, tidak ada salahnya mencoba mendatangi psikiater, siapa tahu saja psikiater itu bisa mengusir ular-ular siluman yang terus menerornya.
Ular-ular siluman itu mulai menerornya sejak dua hari yang lalu, seperti biasa, ketika ia pulang dalam keadaan mabuk karena minuman keras, Sarwin langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dan secara mengejutkan seekor ular keluar dari balik bantal dan melilit tangannya. Semula Sarwin tak sadar akan kedatangan ular itu, namun ketika seekor ular berwarna hitam kembali melilit tangannya, ia mulai ketakutan, bahkan untuk berteriak memanggil istrinya pun Sarwin tak sanggup. Selama semalaman suntuk Sarwin diteror ketakutan luar biasa ketika ular-ular itu semakin banyak memenuhi kamarnya.
Dan sejak saat itulah setiap malam ia selalu diteror oleh ular-ular siluman.

Setelah Sarwin dan istrinya menemui psikiater, diperoleh hasil yang kemungkinan besar Sarwin hanya phobia  dengan ular dan itu bisa dicegah dengan tidak melihat gambar ataupun video yang menayangkan binatang melata itu. Namun Sarwin sadar, bahwa teror ular siluman itu bukanlah karena dia phobia dengan binatang itu. Binatang itu adalah ular siluman yang akan terus menerornya.
Sakiah tampaknya begitu mengindahkan ucapan psikiater mengenai penyebab Sarwin selalu mengatakan diteror ular yang katanya siluman itu. Sakiah membuang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan ular, mulai dari poster ular yang ada di kamar anaknya hingga dvd film yang berhubungan dengan ular. Bahkan Sakiah memerintahkan kepada kedua pembantunya untuk menyingkirkan segala sesuatu yang menyerupai ular, misalnya mainan ular plastik anaknya, tali, hingga selang air harus disimpan ditempat yang aman.
Malam ketiga Sarwin kembali didatangi ular-ular siluman itu. Bahkan ukuran ular kini sudah bertambah sangat besar, seekor ular berkepala dua seukuran batang pisang dengan matanya yang merah menatap Sarwin dengan bengis. Makhluk itu sudah membuka mulutnya untuk menelan Sarwin ketika lelaki itu kembali menjerit dan berlari keluar kamar hingga menabrak istrinya yang sedang membawakan makan malam untuknya.
“Ada apa, Mas?” tanya istrinya cemas. “Kenapa kamu berteriak lagi?”
Sarwin hanya terdiam gemetar. Tatapan ular besar itu begitu mengerikan. Keringat dingin sebesar jagung kembali muncul di keningnya. Wajah Sarwin sangat pucat ketika melihat ular itu merayap mendekatinya.
“Ada apa, Mas?” ulang istrinya mulai cemas karena tubuh Sarwin gemetar ketakutan.
Sarwin hanya terdiam. Matanya awas menatap si ular besar yang tengah membuka mulutnya lebar-lebar. Bersiap untuk menelan dirinya bulat-bulat.
“TIDAAAK!” Sarwin menjerit histeris dan kembali pingsan.

***

Ular-ular itu kembali muncul dari balik selimut dan membelah dirinya menjadi puluhan, mula-mula hanya ada satu ular, namun sedetik kemudian ular itu membelah menjadi sepuluh, kemudian membelah lagi menjadi seratus dan binatang melata itu berdiri dengan kompak menatap mata Sarwin. Mata ular yang merah seolah menyala dalam gelap, desisan suaranya membuat bulu kuduk Sarwin meremang.
Makhluk itu mulai membelit tangannya lagi, kemudian lehernya, bahkan ada pula yang masuk ke dalam bajunya. Sarwin hendak berteriak minta tolong kepada dokter yang tadi baru saja memeriksanya. Namun seekor ular melilit mulutnya, hingga ia tidak bisa berteriak.
Seekor ular yang berukuran sebesar pohon pisang kembali muncul dari balik lemari. Ular itu mendesis-desis seraya menjulurkan lidahnya yang bercabang. Kulitnya yang berwarna hitam mengkilat tampak mengerikan. Ular itu kembali menegakan badannya, hingga sejajar dengan Sarwin. Mata merah si ular siluman menatap lurus ke arah Sarwin.
Sekilas Sarwin tampak familiar dengan mata ular yang tengah menatapnya. Si ular besar kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Sarwin dan mulai melilit tubuhnya, setelah ular besar itu melilit tubuh Sarwin, ratusan ular-ular yang lain ikut menaiki dan mulai merayapi tubuh Sarwin, beberapa ekor ular masuk ke dalam tubuh Sarwin melalui lobang hidung, beberapa ekor lagi masuk ke dalam tubuhnya lewat lobang telinga dan mulutnya. Sedangkan si ular besar perlahan-lahan mengendurkan lilitannya di tubuh Sarwin dan mulai merayap ke dalam selimut dan masuk ke dalam celananya.
Sarwin menjerit kesakitan ketika sesuatu yang kasar dan bergerak mulai masuk ke dalam lubang kemaluannya. Ia menjerir-jerit merasakan perih yang luar biasa ketika ular siluman itu perlahan-lahan memasukinya, dan kenangan Sarwin kembali melompat mundur—Ia kembali teringat dengan si mata ular. Itu adalah mata milik seorang gadis yang menjadi teman anaknya, gadis yang diperkosanya dan mayatnya dibuang ke dalam hutan yang konon hutan itu merupakan sarang ular.

3 komentar:

  1. suami istri tidurnya gak bareng ya bang :D

    BalasHapus
  2. Cerpen-cerpenmu yang dimuat di Harian Duta Masyarakat yang paling keren. Aku suka idenya. Dan ending-nya yang tidak biasa. Genre yang juga mengejutkan, tak sesuai dengan apa yang tergambar pada judul, jadi nilai plus tersendiri. Bintang lima buat kamu. ^_^

    BalasHapus