ULAR SILUMAN
RAGIEL JP
Sarwin menjerit ketika melihat ular-ular itu mulai merayap ke atas
tempat tidurnya, ular-ular itu keluar dari berbagai tempat, dari dalam lemari,
dari dalam laci, dari dalam tanah dan dari balik jendela. Ular-ular itu merayap
dengan lidahnya yang menjulur dan bercabang, matanya yang merah menyala tampak
mengerikan dengan taring yang siap menggigit kepalanya hingga putus.
Sarwin mengambil apa pun yang ada di sebelahnya untuk menghalau
ular-ular itu agar tidak mendekat ke arahnya, ia melempar gelas, bantal, vas
bunga hingga piring ke arah ular-ular itu, namun, semakin ia berusaha mengusir
ular-ular itu, tampaknya ular itu semakin bertambah banyak, ular itu terus memebelah
diri seperti bakteri dan lintah, siap menyedot darah dan menyuntikan bisanya
yang perlahan-lahan akan menghentikan embusan napasnya.
“Tidaaak!” Sarwin berteriak histeris ketika ular bermata merah itu
mulai melilit kakinya, dan ular-ular lain mulai merayap ke tubuhnya, kulit ular
itu terasa kasar ketika menyentuh kulitnya. Ular itu sudah melilit leher dan
siap memotong lehernya dengan gigi taringnya yang tajam ketika pintu menjeplak
terbuka dan seorang wanita berambut kriwil datang menghampirinya.
“Kenapa kamu berteriak malam-malam seperti ini, Mas?” tanya wanita
berambut kriwil itu menatap Sarwin. “Tidak tahukah sekarang jam berapa? Jam dua
pagi.”
“Ular…” Napas Sarwin memburu ketika ular-ular itu seolah berhenti
bergerak. “Ada ular di kamarku, ada ribuan ular.”
“Ular apa?” tanya wanita itu melihat sekeliling kamar suaminya.
“Kamu pasti mimpi buruk lagi, tidak ada ular di sini, Mas.”
“Tidak!” Keringat dingin keluar dari kening Sarwin ketika matanya
menatap mata merah si ular yang tengah melilit lehernya. “Ular itu banyak
sekali, pasti ular siluman, bahkan ada yang sedang melilit leherku.”
Wanita berambut kriwil itu menggelengkan kepalanya. “Tidak ada ular,
Mas, itu hanya imajinasimu saja.”
“Aku tidak bohong. Ini bukan imajinasiku, mereka benar benar
nyata, ular-ular itu benar-benar ada, mereka sedang menatapku.”
“Tidak ada ular, Mas,” kata istrinya lagi. “Sudah, lebih baik kamu
cepat tidur, besok kita ke psikiater lagi.”
“Aku tidak gila!” Sembur Sarwin. “Aku tidak mau ke psikiater, aku
hanya perlu orang yang bisa mengusir ular siluman itu.”
“Harus aku katakan berapa kali kalau tidak ada ular, Mas. Sudah
malam, aku harus menani Vani, anak kita tampaknya masih terpukul atas hilangnya
Rosi—teman baiknya, anak itu menghilang dan sampai sekarang belum kembali.”
Sarwin terdiam. Tidak ada gunanya menceritakan tentang ular-ular
siluman itu kepada istrinya. Karena ia tidak akan pernah percaya.
Setelah istrinya keluar dari dalam kamar, Sarwin kembali ketakutan
ketika ular-ular yang tadi diam ketika ada istrinya kembali menggeliat dan
kembali merayap ke atas tempat tidurnya. Semakin banyak ular-ular yang melilit
kakinya dan juga lehernya, membuat Sarwin merasa sesak napas, dan semuanya
berubah menjadi gelap ketika seekor ular berukuran lumayan besar melilit
lehernya dengan sangat erat.
***
Sarwin terbangun ketika ada yang menggoyang-goyangkan bahunya
dengan cukup keras. Dadanya masih terasa memburu dengan napas yang sedikit
ngos-ngosan. Ia membuka matanya secara perlahan, takut kalau ular-ular itu
masih melilit tubuhnya. Namun begitu ia membuka mata, ia melihat
Sakiah—Istrinya tengah menatapnya.
“Bangun juga akhirnya,” katanya. “Kenapa kamu tidur di lantai,
Mas?”
Sarwin hanya terdiam, baru sadar bahwa sekarang ia berada di
lantai dengan selimut yang hampir melilit seluruh tubuhnya. “Aku tidak
apa-apa.”
“Cepat mandi, Mas, setelah itu sarapan, kita harus pergi ke
psikiater untuk memeriksamu.”
“Tapi aku tidak gila.”
“Psikiater bukan untuk orang gila, Mas,” kata istrinya lagi.
“Siapa tahu dengan kamu datang ke sana bisa menyembuhkan kegelisahanmu akan
ular-ular di dalam kepalamu itu.”
“Mereka tidak ada di kepalaku, mereka benar-benar ada di dalam
kamarku.” Protes Sarwin.
“Tapi aku tidak pernah melihat ular-ular itu, Mas. Sudahlah
sebaiknya kamu cepat mandi. Aku tunggu di bawah lima belas menit lagi.”
Sarwin hanya teridam. Matanya awas melihat keadaan sekeliling.
Takut kalau ular siluman itu masih ada di dalam kamarnya. Aman, pikir Sarwin. Tampaknya ular-ular siluman itu hanya
menerornya ketika malam hari. Istrinya benar, tidak ada salahnya mencoba
mendatangi psikiater, siapa tahu saja psikiater itu bisa mengusir ular-ular
siluman yang terus menerornya.
Ular-ular siluman itu mulai menerornya sejak dua hari yang lalu,
seperti biasa, ketika ia pulang dalam keadaan mabuk karena minuman keras, Sarwin
langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dan secara mengejutkan
seekor ular keluar dari balik bantal dan melilit tangannya. Semula Sarwin tak
sadar akan kedatangan ular itu, namun ketika seekor ular berwarna hitam kembali
melilit tangannya, ia mulai ketakutan, bahkan untuk berteriak memanggil
istrinya pun Sarwin tak sanggup. Selama semalaman suntuk Sarwin diteror ketakutan
luar biasa ketika ular-ular itu semakin banyak memenuhi kamarnya.
Dan sejak saat itulah setiap malam ia selalu diteror oleh
ular-ular siluman.
Setelah Sarwin dan istrinya menemui psikiater, diperoleh hasil
yang kemungkinan besar Sarwin hanya phobia
dengan ular dan itu bisa dicegah dengan
tidak melihat gambar ataupun video yang menayangkan binatang melata itu. Namun
Sarwin sadar, bahwa teror ular siluman itu bukanlah karena dia phobia dengan binatang itu. Binatang itu
adalah ular siluman yang akan terus menerornya.
Sakiah tampaknya begitu mengindahkan ucapan psikiater mengenai
penyebab Sarwin selalu mengatakan diteror ular yang katanya siluman itu. Sakiah
membuang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan ular, mulai dari poster ular
yang ada di kamar anaknya hingga dvd film yang berhubungan dengan ular. Bahkan
Sakiah memerintahkan kepada kedua pembantunya untuk menyingkirkan segala
sesuatu yang menyerupai ular, misalnya mainan ular plastik anaknya, tali,
hingga selang air harus disimpan ditempat yang aman.
Malam ketiga Sarwin kembali didatangi ular-ular siluman itu.
Bahkan ukuran ular kini sudah bertambah sangat besar, seekor ular berkepala dua
seukuran batang pisang dengan matanya yang merah menatap Sarwin dengan bengis.
Makhluk itu sudah membuka mulutnya untuk menelan Sarwin ketika lelaki itu
kembali menjerit dan berlari keluar kamar hingga menabrak istrinya yang sedang
membawakan makan malam untuknya.
“Ada apa, Mas?” tanya istrinya cemas. “Kenapa kamu berteriak
lagi?”
Sarwin hanya terdiam gemetar. Tatapan ular besar itu begitu
mengerikan. Keringat dingin sebesar jagung kembali muncul di keningnya. Wajah
Sarwin sangat pucat ketika melihat ular itu merayap mendekatinya.
“Ada apa, Mas?” ulang istrinya mulai cemas karena tubuh Sarwin
gemetar ketakutan.
Sarwin hanya terdiam. Matanya awas menatap si ular besar yang
tengah membuka mulutnya lebar-lebar. Bersiap untuk menelan dirinya bulat-bulat.
“TIDAAAK!” Sarwin menjerit histeris dan kembali pingsan.
***
Ular-ular itu kembali muncul dari balik selimut dan membelah
dirinya menjadi puluhan, mula-mula hanya ada satu ular, namun sedetik kemudian
ular itu membelah menjadi sepuluh, kemudian membelah lagi menjadi seratus dan
binatang melata itu berdiri dengan kompak menatap mata Sarwin. Mata ular yang
merah seolah menyala dalam gelap, desisan suaranya membuat bulu kuduk Sarwin
meremang.
Makhluk itu mulai membelit tangannya lagi, kemudian lehernya,
bahkan ada pula yang masuk ke dalam bajunya. Sarwin hendak berteriak minta
tolong kepada dokter yang tadi baru saja memeriksanya. Namun seekor ular
melilit mulutnya, hingga ia tidak bisa berteriak.
Seekor ular yang berukuran sebesar pohon pisang kembali muncul
dari balik lemari. Ular itu mendesis-desis seraya menjulurkan lidahnya yang
bercabang. Kulitnya yang berwarna hitam mengkilat tampak mengerikan. Ular itu
kembali menegakan badannya, hingga sejajar dengan Sarwin. Mata merah si ular
siluman menatap lurus ke arah Sarwin.
Sekilas Sarwin tampak familiar dengan mata ular yang tengah menatapnya.
Si ular besar kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Sarwin dan mulai melilit
tubuhnya, setelah ular besar itu melilit tubuh Sarwin, ratusan ular-ular yang
lain ikut menaiki dan mulai merayapi tubuh Sarwin, beberapa ekor ular masuk ke
dalam tubuh Sarwin melalui lobang hidung, beberapa ekor lagi masuk ke dalam
tubuhnya lewat lobang telinga dan mulutnya. Sedangkan si ular besar
perlahan-lahan mengendurkan lilitannya di tubuh Sarwin dan mulai merayap ke
dalam selimut dan masuk ke dalam celananya.
Sarwin menjerit kesakitan ketika sesuatu yang kasar dan bergerak
mulai masuk ke dalam lubang kemaluannya. Ia menjerir-jerit merasakan perih yang
luar biasa ketika ular siluman itu perlahan-lahan memasukinya, dan kenangan
Sarwin kembali melompat mundur—Ia kembali teringat dengan si mata ular. Itu
adalah mata milik seorang gadis yang menjadi teman anaknya, gadis yang diperkosanya
dan mayatnya dibuang ke dalam hutan yang konon hutan itu merupakan sarang ular.
Hororrr
BalasHapussuami istri tidurnya gak bareng ya bang :D
BalasHapusCerpen-cerpenmu yang dimuat di Harian Duta Masyarakat yang paling keren. Aku suka idenya. Dan ending-nya yang tidak biasa. Genre yang juga mengejutkan, tak sesuai dengan apa yang tergambar pada judul, jadi nilai plus tersendiri. Bintang lima buat kamu. ^_^
BalasHapus