1
TAFSIR SEBUAH MIMPI
Rasanya ini
sudah hampir yang keseratus kalinya aku mengalami mimpi yang sama. Mimpi
tentang sebuah pertempuran antara dua makhluk berjubah yang saling beradu
kekuatan. Kilatan-kilatan cahaya merah dan pucat membuncahkan cahaya
menyilaukan, suara seperti dentum meriam memekakan telinga, serta mayat-mayat berserakan
di segala tempat. Aku sepertinya melihat pemandangan itu secara langsung.
Desing suara pedang saling beradu, Matrix,
lecut halilintar menyambar-nyambar mengerikan, semua itu masih teringat jelas
di kepalaku.
“Itu hanya
sebuah mimpi, Banyu,” kalimat itulah yang selalu diucapakan ayah setiap kali aku
menceritakan tentang mimpi itu. “Itu hanya bunga tidur saja, mungkin karena kamu
terlalu sering membaca buku fantasi, jadi apa yang kamu baca itu terbawa sampai
ke dalam mimpi.”
Aku hanya bisa
diam mendengar ayah mengatakan itu. Kalau memang itu semua hanyalah sebuah
mimpi, tapi kenapa mimpi itu selalu saja sama? Sungguh aneh apabila mimpi
tentang sesuatu yang sama hanyalah bunga tidur semata. Berapa banyak orang yang
pernah bermimpi tentang hal yang sama sampai seratus kali?
Andai saja ibu
ada di sini. Harapan kosong itulah yang selalu kuimpikan setiap ayah menganggap
semua mimpiku hanyalah bunga tidur semata. Aku ingin ada yang bisa menjelaskan
semua tafsir mimpi ini. Sebab¾entah mengapa aku merasa kalau mimpi itu mempunyai
sebuah arti, walaupun aku sendiri tidak bisa menjelaskan arti mimpi itu. Aku
bahkan sudah menceritakan mimpi-mimpiku kepada teman sekolahku, namun tampaknya
mereka juga sependapat dengan ayah, bahwa semua mimpi yang kualami hanyalah bunga
tidur semata.
“Ada hal yang
ingin ayah bicarakan denganmu, Banyu,” kata ayah saat aku selesai mengerjakan
PR matematika. ”Ayah sudah membicarakan hal ini kepada kakek Jenar, dan kakek
setuju kalau mulai minggu depan kamu harus tinggal di desa Randu Alas.”
Aku bagaikan
mendengar petir di siang bolong mendengar ucapan ayah, karena memang di usiaku
yang baru menginjak tiga belas tahun, tak pernah terpikirkan untuk tinggal di
desa Randu Alas. Sebuah desa terpecil, sebuah desa yang dikelilingi hutan-hutan
lebat yang menakutkan. Selain itu aku juga merasa desa itu sangat misterius
dengan adanya kabut tipis yang selalu menyelimutinya.
“Kenapa
tiba-tiba ayah menyuruhku untuk tinggal bersama kakek Jenar?” tanyaku heran. “Bagaimana
dengan sekolahku?”
“Kamu tidak perlu
mengkhawatirkan itu, Banyu,” jawab ayah dengan ekspresi aneh, campuran antara
cemas dan ragu-ragu. “Ayah sudah mengurus semua berkas-berkas perpindahan
sekolahmu, jadi mulai Senin besok kamu sudah bisa bersekolah di desa Randu
Alas.”
“Ayah baik-baik saja
kan? Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan pekerjaan ayah, sehingga ayah
menyuruhku untuk tinggal bersama kakek Jenar?”
“Semua baik-baik
saja, Banyu,” jawab ayah memainkan pinggiran kursi. “Hanya saja mulai minggu
depan, ayah bakal dipindahtugaskan ke luar kota, jadi ayah berpikir kalau kamu
sebaiknya harus tinggal bersama kakek Jenar.”
“Kenapa aku tidak
ikut saja?”
“Ayah lebih
merasa tenang kalau kamu tinggal bersama kakek Jenar,” jawab ayah tersenyum.
”Kakek Jenar juga sangat senang kalau kamu tinggal di sana. Bukankah kamu sudah
mempunyai beberapa sahabat di sana?”
Tirta. Itulah
salah satu teman yang kukenal di desa Randu Alas. Dia adalah seorang anak
bertubuh kurus dan berkulit sawo matang, rambutnya agak ikal karena
kegemarannya memakai lidah buaya sebagai shampo.
“Sampai kapan
ayah di luar kota?”
“Mungkin satu
tahun,” jawab ayah dengan suara berat. ”Tapi itu mungkin saja bisa berubah,
Banyu,” ayah cepat-cepat menambahkan begitu melihat ekspresi sedihku. “Kalau
pekerjaan di sana bisa dikerjakan lebih cepat, mungkin ayah bakal lebih cepat
kembali ke sini.”
“Satu tahun?”
aku lemas mendengar harus berpisah dengan ayah selama itu. “Tapi bagaimana
kalau pekerjaan ayah akan jauh lebih lama?”
“Ayah akan
berusaha untuk menyelesaiakn pekerjaan itu lebih cepat,” jawab ayah menepuk
bahuku. “Begitu pekerjaan di sana selesai, ayah pasti akan langsung pulang.”
Aku hanya
mengangguk pelan, memahami pekerjaan ayah sebagai seorang Arsitek. Dia memang
harus bersikap profesional dengan mau ditempatkan di mana pun. Aku paham dengan
karakter ayah yang tidak pernah setengah-tengah dalam pekerjaan.
“Sebaiknya kamu
tidur.” Perintah ayah.
Aku mengangguk
dan berjalan ke kamar. Begitu sampai di sisi tempat tidur, aku langsung membanting
tubuh di atas kasur. Kusambar sebuah buku tebal yang selalu kubaca sebelum
tidur. Judul buku PETUALANGAN CELCIUS DI
NEGERI LILIPUT. Aku membuka halaman buku itu dan mulai membaca lanjutan
cerita yang kubaca kemarin malam…
***
Aku merasa
sedang berjalan di sebuah jalan panjang tanpa ujung yang hanya dikelilingi
kabut-kabut yang menghalangi pandangan. Aku hanya melihat sekilas siluet
bangunan-bangunan besar yang tertutup kabut tebal dan hawa dingin yang janggal
menyapaku.
“Tempat apa
ini?” gumamku dalam hati, karena baru kali ini aku melihat tempat aneh seperti
ini, bahkan di desa Randu Alas yang hampir selalu berkabut tidak tampak begitu
mistis seperti ini. “Kenapa di sini tidak ada manusia sama sekali?” Aku kembali
melihat sekeliling berharap ada seseorang yang aku temui. Tak berapa lama
kemudian sepertinya doaku didengar Tuhan. Di antara siluet bangunan-bangunan
besar itu, aku melihat sebuah siluet manusia tinggi yang sepertinya sedang
datang ke arahku.
“Siapa itu?!”
aku waspada saat manusia berjubah kuning gading berdiri di hadapanku. Si
manusia berjubah ini berpawakan tinggi besar. Entah kenapa aku merasa tidak
asing dengan jubah kuning gading yang dipakainya. Rasa-rasanya aku sudah pernah
bertemu dengannya di suatu waktu, walaupun aku tidak bisa menjelaskan kapan dan
di mana pernah bertemu dengannya.
“Aku Gathotkaca,”
jawab manusia berjubah kuning gading itu cepat. Aku tidak bisa melihat wajahnya
karena ditutupi kerudung jubah yang dikenakan-nya.
“Gathotkaca?”
aku sangat tidak asing dengan nama itu. “Apakah Anda bergurau?”
Manusia berjubah
yang mengaku bernama Gathotkaca hanya terdiam. Dia mengulurkan tangannya ke
arahku. ”Aku akan menunjukan sesuatu kepadamu, Banyu.” Dan aku menyambut tangan
itu¾setelah
tangan kami saling menyentuh, aku merasa berputar di tempat dengan kabut-kabut
dingin yang menyesakan paru-paruku. Aku memejamkan mata, dan dengan sebuah
kilatan ajaib, aku telah berada di sebuah reruntuhan bangunan yang tampaknya
sebuah kastil yang telah hancur.
“Aku di mana?”
“Ini adalah reruntuhan
istanaku,” terang Gathotkaca. “Dulu¾istana ini sangat indah dengan banyak menara-menara
tinggi yang mencakari langit, namun semua itu berubah saat Zargot
menghancurkannya.”
“Zargot?!” aku
tercekat mendengar nama itu, karena nama Zargot bukanlah nama yang asing
bagiku, sama halnya dengan Gathotkaca, aku merasa telah mengenal nama itu
sebelumnya, walaupun aku tidak bisa menjelaskan kapan dan di mana aku pernah
mendengar namanya.
“Apa kamu
mengenal siapa itu Zargot, Banyu?” tanya Gathotkaca seperti bisa membaca
pikiranku.
Aku menggeleng tak
yakin. ”Hanya saja aku sudah tidak asing dengan nama itu, sepertinya aku sudah
mengenal nama Zargot jauh-jauh hari,” tambahku bingung dengan apa yang kuucapkan.
”Sama halnya dengan Anda, aku merasa pernah bertemu dengan Anda sebelum ini.”
Gathotkaca
membuka kerudung jubahnya sehingga aku bisa melihat wajahnya tersenyum. ”Tidak
heran kalau kamu merasa tidak asing denganku ataupun Zargot, Banyu,” wajah
Gathotkaca bergairah. ”Kamulah yang selama ini aku cari.”
“Apa maksud
Anda?”
Gathotkaca
mengangkat tangannya ke udara kosong, dia mendaraskan sebuah mantra rumit dan
tak berapa lama kemudian sebuah semburat cahaya hijau meluncur dari telapak
tangannya dan membentuk sebuah layar hijau yang menayangkan sebuah peristiwa
pembantaian manusia. Aku bahkan merasa geram saat menyaksikan makhluk berjubah
hitam tertawa dengan sangat bengis.
“Cukup!” seruku
merasa ada ular api yang menggeliat di dalam perut. ”Apa maksud Anda
memperlihatkan tontonan seperti itu kepadaku?”
Gathotkaca
menurunkan tangan dan layar hijau itu langsung lenyap seketika. ”Aku rasa kamu
sudah paham kenapa aku memperlihatkan tontonan ini kepadamu¾kamu
tahu siapa dia?”
“Zargot,”
jawabku yakin. “Tapi aku tidak mengerti kenapa Anda memperlihatkan semua ini
kepadaku?”
“Aku membawamu
dan memperlihatkan semuan ini kepadamu, agar kamu tahu bahwa hanya manusia
terpilih yang akan menghancurkan kekuatan Zargot.”
“Lantas apa
hubungannya denganku?”
“Manusia itu
adalah kamu, Banyu,” Gathotkaca menatapku dengan tatapan hormat. “Kamulah yang
telah dipilih untuk menghancurkan Zargot.”
“A… aku?”
gagapku tidak percaya dengan apa yang kudengar. “Aku rasa Anda salah mengira
aku adalah anak yang akan menghentikakn kekuatan Zargot, aku hanyalah anak
biasa yang terlahir dari keluaraga biasa.”
“Aku tidak
pernah salah dalam membaca semua tanda-tanda alam, Banyu,” jawab Gathotkaca
matanya tampak cemerlang. “Kamu memanglah anak yang telah ditakdirkan untuk
menghentikan semua kekacauan yang dibuat oleh Zargot dan para pengikutnya.
Tidakkah kamu sadar, Banyu, kamu anak yang istimewa, namamu bahkan sudah
terdaftar sebagai anak Titisanku,
bahkan sebelum kamu lahir.”
Titisan? Omong-kosong macam apalagi ini.
“Aku tahu Anda pastilah salah orang, pasti bukan aku yang Anda maksud sebagai
anak Titisan. Sekali lagi aku
tegaskan, aku hanyalah seorang anak bernama Banyu
Samudra. Hanya itu¾aku bukanlah anak yang istimewa.”
Gathotkaca tersenyum
menyebalkan. “Pernahkah kamu bermimpi tentang pertempuran dua manusia berjubah,
Banyu?” tanya Gathotkaca kembali mengingatkanku tentang mimpi yang sudah
seratus kali kualami.
“Bagaimana Anda
bisa tahu tentang mimpi-mimpiku?” tanyaku menyipitkan mata, aku merasa kalau
Gathotkaca memang bisa membaca pikiran. ”Bagaimana Anda bisa tahu kalau aku
sering memimpikan tentang pertempuran itu?”
“Kamu belum
paham juga ternyata.” Gathotkaca kini berjalan mengelilingiku. ”Kamu berpawakan
sama sepertiku saat aku masih muda. Kurus dan tinggi, rambut agak ikal. Wajahmu
mirip dengan kakekmu, tapi tidak dengan matamu¾mata itu sangat mirip
dengan mata Amoria. Ya, mata coklat
terang itulah yang paling indah di antara empat ksatria Sang Pembela. Aku masih ingat betul dengan mata itu.”
“Anda kenal
dengan kakek Jenar?” aku cukup terkejut karena Gathotkaca kenal dengan kakek
Jenar. “Lantas siapa itu Amoria? Aku tidak pernah dengar nama itu sebelumnya. Lalu
siapa itu Sang Pembela?”
“Tentu,” jawab
Gathotkaca tersenyum. “Dia adalah orang paling bijaksana yang pernah kukenal.”
“Lalu siapa
Amoria dan Sang Pembela?”
“Aku tidak berhak
untuk menjelaskan semua ini kepadamu,” jawab Gathotkaca misterius. “Ada
seseorang yang lebih berhak untuk menjelaskan semua ini kepadamu, tentang siapa
itu Amoria ataupun tentang apa itu Sang Pembela.”
“Siapa?”
“Kamu tahu siapa
orang yang aku maksud,” wajah Gathotkaca berseri. “Tapi bukan itu tujuanku
menemuimu. Aku hanya mau memberitahumu akan takdirmu sebagai anak Titisanku, kamu
telah ditakdirkan untuk¾tolong dengarkan aku¾” Gathotkaca menegaskan
kalimat terakhirnya saat aku mencoba menyelanya lagi. “Dengarkan aku, Banyu.
Jiwaku sebagian besar telah menitis kepadamu sebelum kamu lahir, sebab itulah
kamu selalu melihat mimpi-mimpi tentang pertempuran. Apa yang kamu impikan itu
benar adanya. Perang itu benar-benar pernah terjadi dan aku tidak mau hal itu
kembali terulang.”
“Kalau memang
semua mimpi-mimpiku adalah sebuah kenyataan yang dulu pernah terjadi,” aku
sudah menyiapkan argumen kontra untuk menjawab semua omong-kosong ini. ”Tapi
kenapa Anda lebih memilihku untuk melawan kekuatan Zargot, bukankah Anda
seharusnya menghadapinya sendiri mahluk bernama Zargot itu? Bukan malah
menyerahkan semua ini kepada anak berusia tiga belas tahun?”
Gathotkaca
tampak sedih mendengar ucapanku, dan itu memang yang aku harapkan. Dia harus
sadar kalau aku bukanlah anak Titisannya, ini hanyalah sebuah kekeliruan.
“Masaku telah berakhir dengan berakhirnya kekuatan Zargot yang terjadi lima
puluh tahun yang lalu,” Gathotkaca memungut sebuah puing dan melemparkannya ke
sebelah ruangan yang telah hancur. “Dan sekarang kamulah yang akan melanjutkan
perjuanganku untuk meruntuhkan sisa-sisa kekuatan Zargot hingga benar-benar
hancur.”
“Kalau memang
kekuatan Zargot telah berakhir, kenapa Anda memintaku untuk melanjutkan
perjuangan Anda, bukankah ini semua telah berakhir?”
“Kekuatan Zargot
memang telah berakhir,” jawab Gathotkaca dengan suara dalamnya sehingga
memberikan efek kesedihan yang dalam. “Tapi bukan berati semua kekacauan ini
bakal berhenti, masih banyak pengikut Zargot yang ada di dunia ini, aku yakin
mereka akan terus mencari cara untuk mengembalikan kekuatan Zargot. Semua
kekacauan yang akhir-akhir ini sering terjadi di berbagai belahan dunia,
kecelakaan yang tidak wajar, runtuhnya bangunan besar tanpa sebab, hingga
berbagai macam berita orang hilang dan pembunuhan. Aku merasa Patra ada di balik semua kekacauan ini.”
“Patra?”
“Dia adalah
salah satu anggota Sang Penguasa,”
jawab Gathotkaca menerangkan saat aku kembali mengerenyitkan kening. “Kelak kamu
juga akan tahu apa itu Sang Penguasa. Aku hanya ingin kamu percaya bahwa kamulah
anak yang telah dipilih untuk menghentikan semua kekacauan ini.”
Aku hanya
terdiam mendengarnya, semua ini pasti hanya sebuah imajinasiku semata. Ini
pasti hanyalah sebuah mimpi. Mungkin inilah yang dimaksudkan ayah tentang efek
terlalu sering membaca buku fantasi sebelum tidur.
“Kemariakan
tanganmu, Banyu,” pinta Gathotkaca mengulurkan tangannya kepadaku, dan aku pun
mengulurkan tangan untuk menyambutnya. “Aku akan memberikan sebagian kekuatanku
padamu, sebagai bekal agar kamu bisa mengalahkan kekuatan Patra.”
Begitu tangan
kami saling bersentuhan ada sebuah aliran listrik yang menjalari pergelangan
tanganku dan menyebar ke setiap bagian tubuhku. Begitu sensasi seperti
tersetrum listrik itu lenyap. Sebuah cahaya yang sangat menyilaukan keluar dari
kedua tangan kami yang saling bersalaman. Aku kembali memejamkan mata mencegah
cahaya menyilaukan itu menusuk mataku.
”Gunakanlah
kekuatan dan pusaka yang aku berikan untuk menegakan kebaikan dan kebenaran,”
suara Gathotkaca bergaung di telingaku. Tangan Gathotkaca mulai mengendur dari
genggamanku. Aku merasa menggenggam sebuah benda lain yang sangat berbeda dari
tangan Gathotkaca. Ketika membuka mata aku terkejut dengan adanya sebuah benda
panjang dan runcing yang kugenggam di tangan kananku.
Pedang…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar