Selasa, 02 Februari 2016

BANYU SAMUDRA



1
TAFSIR SEBUAH MIMPI


  
Rasanya ini sudah hampir yang keseratus kalinya aku mengalami mimpi yang sama. Mimpi tentang sebuah pertempuran antara dua makhluk berjubah yang saling beradu kekuatan. Kilatan-kilatan cahaya merah dan pucat membuncahkan cahaya menyilaukan, suara seperti dentum meriam memekakan telinga, serta mayat-mayat berserakan di segala tempat. Aku sepertinya melihat pemandangan itu secara langsung. Desing suara pedang saling beradu, Matrix, lecut halilintar menyambar-nyambar mengerikan, semua itu masih teringat jelas di kepalaku.
“Itu hanya sebuah mimpi, Banyu,” kalimat itulah yang selalu diucapakan ayah setiap kali aku menceritakan tentang mimpi itu. “Itu hanya bunga tidur saja, mungkin karena kamu terlalu sering membaca buku fantasi, jadi apa yang kamu baca itu terbawa sampai ke dalam mimpi.”
Aku hanya bisa diam mendengar ayah mengatakan itu. Kalau memang itu semua hanyalah sebuah mimpi, tapi kenapa mimpi itu selalu saja sama? Sungguh aneh apabila mimpi tentang sesuatu yang sama hanyalah bunga tidur semata. Berapa banyak orang yang pernah bermimpi tentang hal yang sama sampai seratus kali?
Andai saja ibu ada di sini. Harapan kosong itulah yang selalu kuimpikan setiap ayah menganggap semua mimpiku hanyalah bunga tidur semata. Aku ingin ada yang bisa menjelaskan semua tafsir mimpi ini. Sebab¾entah mengapa aku merasa kalau mimpi itu mempunyai sebuah arti, walaupun aku sendiri tidak bisa menjelaskan arti mimpi itu. Aku bahkan sudah menceritakan mimpi-mimpiku kepada teman sekolahku, namun tampaknya mereka juga sependapat dengan ayah, bahwa semua mimpi yang kualami hanyalah bunga tidur semata.
“Ada hal yang ingin ayah bicarakan denganmu, Banyu,” kata ayah saat aku selesai mengerjakan PR matematika. ”Ayah sudah membicarakan hal ini kepada kakek Jenar, dan kakek setuju kalau mulai minggu depan kamu harus tinggal di desa Randu Alas.”
Aku bagaikan mendengar petir di siang bolong mendengar ucapan ayah, karena memang di usiaku yang baru menginjak tiga belas tahun, tak pernah terpikirkan untuk tinggal di desa Randu Alas. Sebuah desa terpecil, sebuah desa yang dikelilingi hutan-hutan lebat yang menakutkan. Selain itu aku juga merasa desa itu sangat misterius dengan adanya kabut tipis yang selalu menyelimutinya.
“Kenapa tiba-tiba ayah menyuruhku untuk tinggal bersama kakek Jenar?” tanyaku heran. “Bagaimana dengan sekolahku?”
“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu, Banyu,” jawab ayah dengan ekspresi aneh, campuran antara cemas dan ragu-ragu. “Ayah sudah mengurus semua berkas-berkas perpindahan sekolahmu, jadi mulai Senin besok kamu sudah bisa bersekolah di desa Randu Alas.”
“Ayah baik-baik saja kan? Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan pekerjaan ayah, sehingga ayah menyuruhku untuk tinggal bersama kakek Jenar?”
“Semua baik-baik saja, Banyu,” jawab ayah memainkan pinggiran kursi. “Hanya saja mulai minggu depan, ayah bakal dipindahtugaskan ke luar kota, jadi ayah berpikir kalau kamu sebaiknya harus tinggal bersama kakek Jenar.”
“Kenapa aku tidak ikut saja?”
“Ayah lebih merasa tenang kalau kamu tinggal bersama kakek Jenar,” jawab ayah tersenyum. ”Kakek Jenar juga sangat senang kalau kamu tinggal di sana. Bukankah kamu sudah mempunyai beberapa sahabat di sana?”
Tirta. Itulah salah satu teman yang kukenal di desa Randu Alas. Dia adalah seorang anak bertubuh kurus dan berkulit sawo matang, rambutnya agak ikal karena kegemarannya memakai lidah buaya sebagai shampo.
“Sampai kapan ayah di luar kota?”
“Mungkin satu tahun,” jawab ayah dengan suara berat. ”Tapi itu mungkin saja bisa berubah, Banyu,” ayah cepat-cepat menambahkan begitu melihat ekspresi sedihku. “Kalau pekerjaan di sana bisa dikerjakan lebih cepat, mungkin ayah bakal lebih cepat kembali ke sini.”
“Satu tahun?” aku lemas mendengar harus berpisah dengan ayah selama itu. “Tapi bagaimana kalau pekerjaan ayah akan jauh lebih lama?”
“Ayah akan berusaha untuk menyelesaiakn pekerjaan itu lebih cepat,” jawab ayah menepuk bahuku. “Begitu pekerjaan di sana selesai, ayah pasti akan langsung pulang.”
Aku hanya mengangguk pelan, memahami pekerjaan ayah sebagai seorang Arsitek. Dia memang harus bersikap profesional dengan mau ditempatkan di mana pun. Aku paham dengan karakter ayah yang tidak pernah setengah-tengah dalam pekerjaan.
“Sebaiknya kamu tidur.” Perintah ayah.
Aku mengangguk dan berjalan ke kamar. Begitu sampai di sisi tempat tidur, aku langsung membanting tubuh di atas kasur. Kusambar sebuah buku tebal yang selalu kubaca sebelum tidur. Judul buku PETUALANGAN CELCIUS DI NEGERI LILIPUT. Aku membuka halaman buku itu dan mulai membaca lanjutan cerita yang kubaca kemarin malam…

***

Aku merasa sedang berjalan di sebuah jalan panjang tanpa ujung yang hanya dikelilingi kabut-kabut yang menghalangi pandangan. Aku hanya melihat sekilas siluet bangunan-bangunan besar yang tertutup kabut tebal dan hawa dingin yang janggal menyapaku.
“Tempat apa ini?” gumamku dalam hati, karena baru kali ini aku melihat tempat aneh seperti ini, bahkan di desa Randu Alas yang hampir selalu berkabut tidak tampak begitu mistis seperti ini. “Kenapa di sini tidak ada manusia sama sekali?” Aku kembali melihat sekeliling berharap ada seseorang yang aku temui. Tak berapa lama kemudian sepertinya doaku didengar Tuhan. Di antara siluet bangunan-bangunan besar itu, aku melihat sebuah siluet manusia tinggi yang sepertinya sedang datang ke arahku.
“Siapa itu?!” aku waspada saat manusia berjubah kuning gading berdiri di hadapanku. Si manusia berjubah ini berpawakan tinggi besar. Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan jubah kuning gading yang dipakainya. Rasa-rasanya aku sudah pernah bertemu dengannya di suatu waktu, walaupun aku tidak bisa menjelaskan kapan dan di mana pernah bertemu dengannya.
“Aku Gathotkaca,” jawab manusia berjubah kuning gading itu cepat. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena ditutupi kerudung jubah yang dikenakan-nya.
“Gathotkaca?” aku sangat tidak asing dengan nama itu. “Apakah Anda bergurau?”
Manusia berjubah yang mengaku bernama Gathotkaca hanya terdiam. Dia mengulurkan tangannya ke arahku. ”Aku akan menunjukan sesuatu kepadamu, Banyu.” Dan aku menyambut tangan itu¾setelah tangan kami saling menyentuh, aku merasa berputar di tempat dengan kabut-kabut dingin yang menyesakan paru-paruku. Aku memejamkan mata, dan dengan sebuah kilatan ajaib, aku telah berada di sebuah reruntuhan bangunan yang tampaknya sebuah kastil yang telah hancur.
“Aku di mana?”
“Ini adalah reruntuhan istanaku,” terang Gathotkaca. “Dulu¾istana ini sangat indah dengan banyak menara-menara tinggi yang mencakari langit, namun semua itu berubah saat Zargot menghancurkannya.”
“Zargot?!” aku tercekat mendengar nama itu, karena nama Zargot bukanlah nama yang asing bagiku, sama halnya dengan Gathotkaca, aku merasa telah mengenal nama itu sebelumnya, walaupun aku tidak bisa menjelaskan kapan dan di mana aku pernah mendengar namanya.
“Apa kamu mengenal siapa itu Zargot, Banyu?” tanya Gathotkaca seperti bisa membaca pikiranku.
Aku menggeleng tak yakin. ”Hanya saja aku sudah tidak asing dengan nama itu, sepertinya aku sudah mengenal nama Zargot jauh-jauh hari,” tambahku bingung dengan apa yang kuucapkan. ”Sama halnya dengan Anda, aku merasa pernah bertemu dengan Anda sebelum ini.”
Gathotkaca membuka kerudung jubahnya sehingga aku bisa melihat wajahnya tersenyum. ”Tidak heran kalau kamu merasa tidak asing denganku ataupun Zargot, Banyu,” wajah Gathotkaca bergairah. ”Kamulah yang selama ini aku cari.”
“Apa maksud Anda?”
Gathotkaca mengangkat tangannya ke udara kosong, dia mendaraskan sebuah mantra rumit dan tak berapa lama kemudian sebuah semburat cahaya hijau meluncur dari telapak tangannya dan membentuk sebuah layar hijau yang menayangkan sebuah peristiwa pembantaian manusia. Aku bahkan merasa geram saat menyaksikan makhluk berjubah hitam tertawa dengan sangat bengis.
“Cukup!” seruku merasa ada ular api yang menggeliat di dalam perut. ”Apa maksud Anda memperlihatkan tontonan seperti itu kepadaku?”
Gathotkaca menurunkan tangan dan layar hijau itu langsung lenyap seketika. ”Aku rasa kamu sudah paham kenapa aku memperlihatkan tontonan ini kepadamu¾kamu tahu siapa dia?”
“Zargot,” jawabku yakin. “Tapi aku tidak mengerti kenapa Anda memperlihatkan semua ini kepadaku?”
“Aku membawamu dan memperlihatkan semuan ini kepadamu, agar kamu tahu bahwa hanya manusia terpilih yang akan menghancurkan kekuatan Zargot.”
“Lantas apa hubungannya denganku?”
“Manusia itu adalah kamu, Banyu,” Gathotkaca menatapku dengan tatapan hormat. “Kamulah yang telah dipilih untuk menghancurkan Zargot.”
“A… aku?” gagapku tidak percaya dengan apa yang kudengar. “Aku rasa Anda salah mengira aku adalah anak yang akan menghentikakn kekuatan Zargot, aku hanyalah anak biasa yang terlahir dari keluaraga biasa.”
“Aku tidak pernah salah dalam membaca semua tanda-tanda alam, Banyu,” jawab Gathotkaca matanya tampak cemerlang. “Kamu memanglah anak yang telah ditakdirkan untuk menghentikan semua kekacauan yang dibuat oleh Zargot dan para pengikutnya. Tidakkah kamu sadar, Banyu, kamu anak yang istimewa, namamu bahkan sudah terdaftar sebagai anak Titisanku, bahkan sebelum kamu lahir.”
Titisan? Omong-kosong macam apalagi ini. “Aku tahu Anda pastilah salah orang, pasti bukan aku yang Anda maksud sebagai anak Titisan. Sekali lagi aku tegaskan, aku hanyalah seorang anak bernama Banyu Samudra. Hanya itu¾aku bukanlah anak yang istimewa.”
Gathotkaca tersenyum menyebalkan. “Pernahkah kamu bermimpi tentang pertempuran dua manusia berjubah, Banyu?” tanya Gathotkaca kembali mengingatkanku tentang mimpi yang sudah seratus kali kualami.
“Bagaimana Anda bisa tahu tentang mimpi-mimpiku?” tanyaku menyipitkan mata, aku merasa kalau Gathotkaca memang bisa membaca pikiran. ”Bagaimana Anda bisa tahu kalau aku sering memimpikan tentang pertempuran itu?”
“Kamu belum paham juga ternyata.” Gathotkaca kini berjalan mengelilingiku. ”Kamu berpawakan sama sepertiku saat aku masih muda. Kurus dan tinggi, rambut agak ikal. Wajahmu mirip dengan kakekmu, tapi tidak dengan matamu¾mata itu sangat mirip dengan mata Amoria. Ya, mata coklat terang itulah yang paling indah di antara empat ksatria Sang Pembela. Aku masih ingat betul dengan mata itu.”
“Anda kenal dengan kakek Jenar?” aku cukup terkejut karena Gathotkaca kenal dengan kakek Jenar. “Lantas siapa itu Amoria? Aku tidak pernah dengar nama itu sebelumnya. Lalu siapa itu Sang Pembela?”
“Tentu,” jawab Gathotkaca tersenyum. “Dia adalah orang paling bijaksana yang pernah kukenal.”
“Lalu siapa Amoria dan Sang Pembela?”
“Aku tidak berhak untuk menjelaskan semua ini kepadamu,” jawab Gathotkaca misterius. “Ada seseorang yang lebih berhak untuk menjelaskan semua ini kepadamu, tentang siapa itu Amoria ataupun tentang apa itu Sang Pembela.”
“Siapa?”
“Kamu tahu siapa orang yang aku maksud,” wajah Gathotkaca berseri. “Tapi bukan itu tujuanku menemuimu. Aku hanya mau memberitahumu akan takdirmu sebagai anak Titisanku, kamu telah ditakdirkan untuk¾tolong dengarkan aku¾” Gathotkaca menegaskan kalimat terakhirnya saat aku mencoba menyelanya lagi. “Dengarkan aku, Banyu. Jiwaku sebagian besar telah menitis kepadamu sebelum kamu lahir, sebab itulah kamu selalu melihat mimpi-mimpi tentang pertempuran. Apa yang kamu impikan itu benar adanya. Perang itu benar-benar pernah terjadi dan aku tidak mau hal itu kembali terulang.”
“Kalau memang semua mimpi-mimpiku adalah sebuah kenyataan yang dulu pernah terjadi,” aku sudah menyiapkan argumen kontra untuk menjawab semua omong-kosong ini. ”Tapi kenapa Anda lebih memilihku untuk melawan kekuatan Zargot, bukankah Anda seharusnya menghadapinya sendiri mahluk bernama Zargot itu? Bukan malah menyerahkan semua ini kepada anak berusia tiga belas tahun?”
Gathotkaca tampak sedih mendengar ucapanku, dan itu memang yang aku harapkan. Dia harus sadar kalau aku bukanlah anak Titisannya, ini hanyalah sebuah kekeliruan. “Masaku telah berakhir dengan berakhirnya kekuatan Zargot yang terjadi lima puluh tahun yang lalu,” Gathotkaca memungut sebuah puing dan melemparkannya ke sebelah ruangan yang telah hancur. “Dan sekarang kamulah yang akan melanjutkan perjuanganku untuk meruntuhkan sisa-sisa kekuatan Zargot hingga benar-benar hancur.”
“Kalau memang kekuatan Zargot telah berakhir, kenapa Anda memintaku untuk melanjutkan perjuangan Anda, bukankah ini semua telah berakhir?”
“Kekuatan Zargot memang telah berakhir,” jawab Gathotkaca dengan suara dalamnya sehingga memberikan efek kesedihan yang dalam. “Tapi bukan berati semua kekacauan ini bakal berhenti, masih banyak pengikut Zargot yang ada di dunia ini, aku yakin mereka akan terus mencari cara untuk mengembalikan kekuatan Zargot. Semua kekacauan yang akhir-akhir ini sering terjadi di berbagai belahan dunia, kecelakaan yang tidak wajar, runtuhnya bangunan besar tanpa sebab, hingga berbagai macam berita orang hilang dan pembunuhan. Aku merasa Patra ada di balik semua kekacauan ini.”
“Patra?”
“Dia adalah salah satu anggota Sang Penguasa,” jawab Gathotkaca menerangkan saat aku kembali mengerenyitkan kening. “Kelak kamu juga akan tahu apa itu Sang Penguasa. Aku hanya ingin kamu percaya bahwa kamulah anak yang telah dipilih untuk menghentikan semua kekacauan ini.”
Aku hanya terdiam mendengarnya, semua ini pasti hanya sebuah imajinasiku semata. Ini pasti hanyalah sebuah mimpi. Mungkin inilah yang dimaksudkan ayah tentang efek terlalu sering membaca buku fantasi sebelum tidur.
“Kemariakan tanganmu, Banyu,” pinta Gathotkaca mengulurkan tangannya kepadaku, dan aku pun mengulurkan tangan untuk menyambutnya. “Aku akan memberikan sebagian kekuatanku padamu, sebagai bekal agar kamu bisa mengalahkan kekuatan Patra.”
Begitu tangan kami saling bersentuhan ada sebuah aliran listrik yang menjalari pergelangan tanganku dan menyebar ke setiap bagian tubuhku. Begitu sensasi seperti tersetrum listrik itu lenyap. Sebuah cahaya yang sangat menyilaukan keluar dari kedua tangan kami yang saling bersalaman. Aku kembali memejamkan mata mencegah cahaya menyilaukan itu menusuk mataku.
”Gunakanlah kekuatan dan pusaka yang aku berikan untuk menegakan kebaikan dan kebenaran,” suara Gathotkaca bergaung di telingaku. Tangan Gathotkaca mulai mengendur dari genggamanku. Aku merasa menggenggam sebuah benda lain yang sangat berbeda dari tangan Gathotkaca. Ketika membuka mata aku terkejut dengan adanya sebuah benda panjang dan runcing yang kugenggam di tangan kananku.
Pedang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar