Selasa, 02 Februari 2016

JUPITER (SANG PENGENDALI MIMPI)






JUPITER (SANG PENGENDALI MIMPI)



EPISODE 1
NAMAKU JUPITER



Aku memang terlihat seperti remaja normal berusia enam belas tahun pada umumnya. Tapi kenyataanya aku tidaklah normal, aku berbeda dan mempunyai sebuah rahasia. Sebuah rahasia yang baru kusadari ketika beranjak tujuh tahun. Saat itu, aku sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan yang anehnya tidak bisa kuingat sama sekali. Menurut penuturan ayah, aku dulu pernah menjadi korban tabrak lari. Saat itulah aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh di dalam tubuhku. Aku seolah bisa melihat gambaran tentang apa yang tengah dialami pasien yang terbaring di ranjang sebelahku. Aku bisa melihat gambaran pasien itu sedang berjalan-jalan di tepi Pantai Pulau Merah, pantai yang cukup terkenal di Banyuwangi. Begitu juga dengan pasien-pasien lain. Aku seolah bisa berpindah-pindah melihat gambaran tentang apa yang tengah mereka impikan.
Seiring berjalannya waktu, hingga usiaku sekarang yang enam belas tahun. Aku memang menyadari ada sebuah kelainan di dalam tubuhku. Kenapa aku bisa melihat gambaran-gambaran pikiran orang saat mereka tertidur. Kini aku tahu jawabannya, namaku Jupiter dan aku bisa masuk ke dalam mimpi.
Ya. Itulah kenyataannya, aku memang bisa masuk ke dalam mimpi seseorang. Mimpi yang selama ini selalu dianggap bunga tidur bagi sebagian orang. Mimpi yang merupakan alam bawah sadar manusia. Aku bisa masuk ke dalamnya dan melihat apa pun yang mereka impikan.
Masih teringat jelas ketika aku berusia delapan tahun. Saat itu aku belum terlalu paham dengan bakat yang melekat di tubuhku. Saat itu, aku sedang tidur bersama ayah. Ketika aku sedang menatap wajah ayah dari samping dan menyentuhnya, secara ajaib, tiba-tiba aku telah berada di sebuah lapangan sepak bola yang penuh dengan ribuan penonton yang duduk di tribun-tribun tinggi. Begitu juga dengan ayah, aku melihat ayah sedang bersalaman dengan salah satu pemain sepak bola yang menjadi idolanya. Keesokan harinya, ketika aku akan berangkat sekolah, ayah bercerita kepada ibu bahwa dia semalam bermimpi bertemu dengan idolanya. Dan ketika aku bertanya apakah ayah bersalaman dengan pemain bola itu, ayah mengangguk dan berkata, “Wah, Peter kenapa kamu bisa tahu mimpi ayah?” Sedangkan aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Saat itu aku belum bisa memahami bahwa aku telah masuk ke dalam mimpi ayah.
Memasuki mimpi ayah adalah sebagian kecil tentang kelainan yang melekat pada tubuhku. Aku juga pernah masuk ke dalam mimpi ibu, tante, bahkan sepupuku yang berusia tidak jauh denganku. Menyadari jika aku mempunyai kelainan ini, maka sejak umur sembilan tahun, aku meminta agar tidur sendiri.
Tentu saja mempunyai bakat bisa masuk ke dalam mimpi seseorang tidaklah selalu menyenangkan seperti yang kalian pikirkan. Memang dengan memasuki mimpi seseorang, aku bisa melihat apa yang mereka impikan. Tapi terkadang juga aku merasa takut jika mimpi mereka adalah mimpi buruk  atau mimpi bertemu hantu.
Salah satu mimpi buruk yang masih kuingat sampai sekarang, adalah ketika aku masuk ke dalam mimpi Paman yang bekerja sebagai seorang wartawan. Dalam mimpi itu, aku berjalan di sebuah gang sempit dan gelap. Ketika sampai di sebuah tikungan gang, aku menjerit ngeri begitu melihat seorang wanita tewas dengan tergantung terbalik. Sesuai dengan dugaanku, pagi harinya Paman menceritakan tentang berita pembunuhan yang diliputnya, hingga terbawa mimpi. Ketika aku menanyakan tentang wanita tergantung dengan cara terbalik, Paman tercekat mendengarnya. Dia hanya berkata, “bagaimana kamu tahu kalau wanita itu digantung dengan posisi terbalik, Peter?” Aku hanya menjawabnya dengan mengangkat bahu. Berusaha menghilangkan ekspresi mengerikan si wanita itu.
Begitulah, walaupun mempunyai bakat yang bisa dibilang langka. Aku selalu bergidik jika mengingat mimpi wanita terbalik itu. Dan mulai saat itulah, aku berjanji pada diri sendiri, bahwa aku tidak akan menggunakan bakat ini kepada sembarang orang. Aku hanya akan menggunakan bakat memasuki mimpi ini kepada seorang yang kuhendaki.
Sekarang hari Senin, hari di mana kisahku dimulai. Hari di mana akan kembali bersekolah setelah libur seharian. Entahlah, aku selalu benci hari Senin, karena di hari ini semua kegiatan akan berjalan seperti biasanya. Sekolah, orangtua bekerja, jalan macet, trigonometri, rumus-rumus kimia yang membingungkan hingga aljabar yang membuat kepalaku serasa meledak.
Selesai mandi, aku bergegas menuju ruang makan untuk sarapan. Di meja makan sudah menunggu ibu dan adikku. Sedangkan ayah, sepertinya dia sedang berkutat dengan ponselnya. Membicarakan tentang pesanan traktor dalam jumlah yang besar. Sepuluh menit kemudian, kami semua telah siap untuk sarapan. Adikku yang bernama Gio dengan lahap menyantap nasi goreng buatan ibu. Sedangkan aku hanya memilih untuk menyantap roti dengan selai cokelat. Sarapan pagi ini berjalan normal seperti biasanya. Setengah jam kemudian kami semua telah selesai sarapan. Aku segera merapikan tampilan, menyambar jaket di ruang tamu dan bergegas untuk berangkat sekolah dengan petuah-petuah yang selalu disampaikan ayah dan ibu. Petuah ibu yang selalu mengatakan agar aku belajar yang rajin. Hingga ucapan konyol ayah, bahwa sekarang aku sudah mulai tumbuh kumis.
Lima menit sebelum bel berdering, aku sampai di sekolah, setelah memarkirkan motor, aku berlari menuju kelas sebelum guru kimia itu datang. Sumpah, aku sangat benci pelajaran kimia dengan rumus-rumus yang selalu membuat ngantuk. Pernah terjadi sekali kejadian lucu ketika Bu Erna¾dia adalah guru kimia kami, menjelaskan tentang reaksi kimia dengan sangat membosankan, sehingga membuat teman sebangkuku yang bernama Irwan tertidur, dan ketika aku iseng masuk ke dalam mimpi Irwan, aku terbahak begitu melihat Irwan sedang berdansa dengan Bu Erna. Dan ketika dia terbangun, aku mencoba meledeknya dengan tarian dansa itu, Irwan hanya memandangku, tampak heran sejenak dan kemudian tertawa bersama.
“Dari mana kamu tahu mimpiku, Pit?” tanya Irwan membuatku sebal setiap kali dia memanggilku Pit, tidak seperti kebanyakan teman-teman yang lain yang memanggilku dengan Peter. Tapi di situlah aku malah lebih akrab dengan Irwan, dia itu pribadi yang humoris dan apa adanya.
“Tadi kamu mengigau,” jawabku sekenanya. “Bahkan tadi kamu hampir saja menari jika aku nggak menahannya. Bagaimana rasanya berdansa dengan guru kimia itu, Wan?”
Irwan memutar bola matanya dan memilih kembali untuk pura-pura mendengarkan penjelasan Bu Erna tentang Isomerisasi.
Begitulah, selama ini aku selalu menutupi kelainanku pada siapa pun. Menjadi seseorang yang bisa masuk ke dalam mimpi seseorang tampaknya memang sangat sulit untuk diterima nalar manusia. Tapi itulah kenyataannya, aku bisa melakukannya. Terkadang ada sebuah pertanyaan menggelitik setiap aku teringat dengan kelainan ini. Apakah ada orang lain yang juga bisa masuk ke dalam mimpi orang lain selain aku?
“Pagi, Pit,” sebuah suara mengagetkanku ketika aku sedang mengatur napas yang memburu, beruntung sekali guru kimia itu belum datang. Aku berpaling ke arah suara itu dan mendapati Irwan berdiri dengan tampilan berantakan. “Kali ini kamu berkelahi dengan siapa lagi?”
“Agus,” jawab Irwan merapikan kerah seragamnya. “Tadi dia mau merebut tempat parkir yang biasa kugunakan. Dia melawan dan kupukul saja perutnya hingga jatuh terjengkang.”
Aku memutar bola mata sebagai jawaban. Irwan memang sudah dikenal sebagai murid paling bermasalah di sekolah ini. Sudah tidak terhitung berapa kali dia dihukum atas kelakuannya. Tapi sepertinya hukuman apa pun yang diberikan guru-guru tidak pernah membuat Irwan jera.
“Sampai kapan kamu terus membuat masalah, Wan?” tanyaku ketika dia duduk di sebelahku. “Apakah kamu nggak bosan setiap hari harus berurusan dengan hukuman? Kemarin kamu nggak mengerjakan PR, kemarin lusa kamu juga membuat Melanie menangis karena kecoa yang kamu masukan ke dalam tasnya. Besok apa lagi yang akan kamu lakukan?”
“Apalah serunya hidup tanpa membuat masalah, Jupiter?” jawab Irwan mengupas permen karet dan mengunyahnya dengan berlebihan. “Kamu harus sekali-kali mencoba betapa serunya ketika dihukum Bu Erna. Percaya deh, ini sangat menyenangkan.”
“Aku nggak mau terlihat konyol berdiri di depan kelas dengan tangan memegang kuping,” jawabku. “Apalagi harus berlari mengelilingi lapangan seperti orang tolol. Aku lebih memilih duduk di kantin.”
“Oh, aku tahu kalau kamu ini manusia vampir,” celetuk Irwan tertawa. “Aku baru ingat kalau kulitmu akan melepuh jika terkena matahari.”
Mau tidak mau aku tertawa mendengar ucapan Irwan. Begitulah dia, walaupun dia terkenal sebagai anak yang paling bengal dan urakan di sekolah. Tapi sejatinya dia seorang teman yang sangat baik.
Bel berdering menandakan pelajaran segera dimulai. Seperti biasa, aku segera menyiapkan buku pelajaran pertama dan kembali dipusingkan dengan rumus-rumus kimia. Begitu juga dengan Irwan, dia langsung menguap begitu Bu Erna mulai menjelaskan tentang Stoikiometri. Begitu aku yakin Irwan telah tertidur, aku menyentuh lengan Irwan, dalam sekejap aku telah berada di dalam mimpi Irwan.
Di dalam mimpi Irwan, aku seperti sedang berada di sebuah bangunan tua yang sudah lapuk. Beberapa retakan terlihat jelas di dinding-dinding yang sudah berlumut. Bau pengap dengan debu yang beterbangan menyesakkan paru-paru. Entah apa yang Irwan lihat sebelum ini sehingga dia bermimpi seperti ini. Yang jelas suasana gelap bangunan ini membuatku sedikit bergidik.
Sayup-sayup aku mendengar sebuah suara rintihan di ujung ruangan. Aku berjalan mengendap-endap menuju arah suara rintihan itu. Berjalan pelan berusaha untuk tidak membuat suara, semenit kemudian aku telah berada di depan ruangan itu. Terdapat sedikit celah di pintu. Dan ketika aku mengintip ke dalam ruangan itu, aku bergidik begitu melihat sedikitnya ada lima atau enam manusia yang tergantung dengan cara terbalik. Ini persis seperti apa yang kulihat di mimpi Paman dulu.
Aku mundur dari ruangan itu, berusaha menjauh dari mimpi horornya Irwan. Aku tidak mau melihat mimpi buruk seperti ini lagi. Aku memejamkan mata, berharap agar kembali ke dunia nyata.
“Kamu tidak bisa lari,” suara dingin mirip desis ular menghantam telingaku. Aku membuka mata untuk mengetahui dari mana asal suara dingin itu. Sesosok lelaki berjubah gelap berdiri di depanku, dengan sangat cepat sosok berjubah itu memegang tanganku.
“Sudah lama aku menunggumu,” katanya lagi dengan suara dingin yang membuatku bergidik. “Kamu tidak akan kubiarkan lari lagi.”
Aku berusaha melepaskan pegangan sosok gelap itu. Dengan usaha paling keras yang pernah kulakukan untuk keluar dari dunia mimpi. Akhirnya pegangannya bisa lepas dari tanganku. Aku kembali memejamkan mata, beberapa detik kemudian aku mendengar sayup-sayup sebuah suara yang sudah kukenal.
Begitu membuka mata, aku telah kembali di dalam kelas. Aku menyentak tanganku dari lengan Irwan yang langsung terbangun hingga dia terjatuh dari kursi. Seluruh siswa tertawa begitu melihat Irwan terjatuh. Sementara aku yang seolah tersadar dengan semua ini segera membantu Irwan untuk kembali duduk di bangku.
“Apa yang kalian lakukan?!” sembur Bu Erna menghampiri meja kami. “Kalian berdua selalu saja membuat gaduh. Sekarang sebagai hukuman, kalian harus mengerjakan soal di papan tulis.”
Dengan napas yang masih memburu, aku berjalan menuju depan kelas. Rasanya baru kali ini aku begitu lelah memasuki dunia mimpi. Aku bertanya-tanya apa yang sedang Irwan pikirkan sehingga dia mengalami mimpi seperti itu? Kenapa mimpi itu hampir mirip dengan mimpi Paman dulu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar