JUPITER (SANG PENGENDALI MIMPI)
EPISODE 1
NAMAKU JUPITER
Aku memang terlihat seperti remaja normal berusia enam belas tahun
pada umumnya. Tapi kenyataanya aku tidaklah normal, aku berbeda dan mempunyai
sebuah rahasia. Sebuah rahasia yang baru kusadari ketika beranjak tujuh tahun.
Saat itu, aku sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan yang anehnya tidak
bisa kuingat sama sekali. Menurut penuturan ayah, aku dulu pernah menjadi korban
tabrak lari. Saat itulah aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh di dalam
tubuhku. Aku seolah bisa melihat gambaran tentang apa yang tengah dialami
pasien yang terbaring di ranjang sebelahku. Aku bisa melihat gambaran pasien
itu sedang berjalan-jalan di tepi Pantai Pulau Merah, pantai yang cukup
terkenal di Banyuwangi. Begitu juga dengan pasien-pasien lain. Aku seolah bisa
berpindah-pindah melihat gambaran tentang apa yang tengah mereka impikan.
Seiring berjalannya waktu, hingga usiaku sekarang yang enam belas
tahun. Aku memang menyadari ada sebuah kelainan di dalam tubuhku. Kenapa aku
bisa melihat gambaran-gambaran pikiran orang saat mereka tertidur. Kini aku
tahu jawabannya, namaku Jupiter dan aku bisa masuk ke dalam mimpi.
Ya. Itulah kenyataannya, aku memang bisa masuk ke dalam mimpi
seseorang. Mimpi yang selama ini selalu dianggap bunga tidur bagi sebagian
orang. Mimpi yang merupakan alam bawah sadar manusia. Aku bisa masuk ke
dalamnya dan melihat apa pun yang mereka impikan.
Masih teringat jelas ketika aku berusia delapan tahun. Saat itu
aku belum terlalu paham dengan bakat yang melekat di tubuhku. Saat itu, aku
sedang tidur bersama ayah. Ketika aku sedang menatap wajah ayah dari samping
dan menyentuhnya, secara ajaib, tiba-tiba aku telah berada di sebuah lapangan
sepak bola yang penuh dengan ribuan penonton yang duduk di tribun-tribun
tinggi. Begitu juga dengan ayah, aku melihat ayah sedang bersalaman dengan
salah satu pemain sepak bola yang menjadi idolanya. Keesokan harinya, ketika
aku akan berangkat sekolah, ayah bercerita kepada ibu bahwa dia semalam
bermimpi bertemu dengan idolanya. Dan ketika aku bertanya apakah ayah
bersalaman dengan pemain bola itu, ayah mengangguk dan berkata, “Wah, Peter
kenapa kamu bisa tahu mimpi ayah?” Sedangkan aku hanya menggeleng sebagai
jawaban. Saat itu aku belum bisa memahami bahwa aku telah masuk ke dalam mimpi
ayah.
Memasuki mimpi ayah adalah sebagian kecil tentang kelainan yang
melekat pada tubuhku. Aku juga pernah masuk ke dalam mimpi ibu, tante, bahkan
sepupuku yang berusia tidak jauh denganku. Menyadari jika aku mempunyai
kelainan ini, maka sejak umur sembilan tahun, aku meminta agar tidur sendiri.
Tentu saja mempunyai bakat bisa masuk ke dalam mimpi seseorang
tidaklah selalu menyenangkan seperti yang kalian pikirkan. Memang dengan
memasuki mimpi seseorang, aku bisa melihat apa yang mereka impikan. Tapi
terkadang juga aku merasa takut jika mimpi mereka adalah mimpi buruk atau mimpi bertemu hantu.
Salah satu mimpi buruk yang masih kuingat sampai sekarang, adalah
ketika aku masuk ke dalam mimpi Paman yang bekerja sebagai seorang wartawan.
Dalam mimpi itu, aku berjalan di sebuah gang sempit dan gelap. Ketika sampai di
sebuah tikungan gang, aku menjerit ngeri begitu melihat seorang wanita tewas
dengan tergantung terbalik. Sesuai dengan dugaanku, pagi harinya Paman
menceritakan tentang berita pembunuhan yang diliputnya, hingga terbawa mimpi.
Ketika aku menanyakan tentang wanita tergantung dengan cara terbalik, Paman
tercekat mendengarnya. Dia hanya berkata, “bagaimana kamu tahu kalau wanita itu
digantung dengan posisi terbalik, Peter?” Aku hanya menjawabnya dengan
mengangkat bahu. Berusaha menghilangkan ekspresi mengerikan si wanita itu.
Begitulah, walaupun mempunyai bakat yang bisa dibilang langka. Aku
selalu bergidik jika mengingat mimpi wanita terbalik itu. Dan mulai saat itulah,
aku berjanji pada diri sendiri, bahwa aku tidak akan menggunakan bakat ini
kepada sembarang orang. Aku hanya akan menggunakan bakat memasuki mimpi ini
kepada seorang yang kuhendaki.
Sekarang hari Senin, hari di mana kisahku dimulai. Hari di mana
akan kembali bersekolah setelah libur seharian. Entahlah, aku selalu benci hari
Senin, karena di hari ini semua kegiatan akan berjalan seperti biasanya.
Sekolah, orangtua bekerja, jalan macet, trigonometri, rumus-rumus kimia yang
membingungkan hingga aljabar yang membuat kepalaku serasa meledak.
Selesai mandi, aku bergegas menuju ruang makan untuk sarapan. Di
meja makan sudah menunggu ibu dan adikku. Sedangkan ayah, sepertinya dia sedang
berkutat dengan ponselnya. Membicarakan tentang pesanan traktor dalam jumlah
yang besar. Sepuluh menit kemudian, kami semua telah siap untuk sarapan. Adikku
yang bernama Gio dengan lahap menyantap nasi goreng buatan ibu. Sedangkan aku
hanya memilih untuk menyantap roti dengan selai cokelat. Sarapan pagi ini
berjalan normal seperti biasanya. Setengah jam kemudian kami semua telah
selesai sarapan. Aku segera merapikan tampilan, menyambar jaket di ruang tamu
dan bergegas untuk berangkat sekolah dengan petuah-petuah yang selalu
disampaikan ayah dan ibu. Petuah ibu yang selalu mengatakan agar aku belajar
yang rajin. Hingga ucapan konyol ayah, bahwa sekarang aku sudah mulai tumbuh
kumis.
Lima menit sebelum bel berdering, aku sampai di sekolah, setelah
memarkirkan motor, aku berlari menuju kelas sebelum guru kimia itu datang.
Sumpah, aku sangat benci pelajaran kimia dengan rumus-rumus yang selalu membuat
ngantuk. Pernah terjadi sekali kejadian lucu ketika Bu Erna¾dia adalah guru kimia kami, menjelaskan tentang reaksi kimia
dengan sangat membosankan, sehingga membuat teman sebangkuku yang bernama Irwan
tertidur, dan ketika aku iseng masuk ke dalam mimpi Irwan, aku terbahak begitu
melihat Irwan sedang berdansa dengan Bu Erna. Dan ketika dia terbangun, aku
mencoba meledeknya dengan tarian dansa itu, Irwan hanya memandangku, tampak
heran sejenak dan kemudian tertawa bersama.
“Dari mana kamu tahu mimpiku, Pit?” tanya Irwan membuatku sebal
setiap kali dia memanggilku Pit, tidak seperti kebanyakan teman-teman yang lain
yang memanggilku dengan Peter. Tapi di situlah aku malah lebih akrab dengan
Irwan, dia itu pribadi yang humoris dan apa adanya.
“Tadi kamu mengigau,” jawabku sekenanya. “Bahkan tadi kamu hampir
saja menari jika aku nggak menahannya. Bagaimana rasanya berdansa dengan guru
kimia itu, Wan?”
Irwan memutar bola matanya dan memilih kembali untuk pura-pura
mendengarkan penjelasan Bu Erna tentang Isomerisasi.
Begitulah, selama ini aku selalu menutupi kelainanku pada siapa
pun. Menjadi seseorang yang bisa masuk ke dalam mimpi seseorang tampaknya
memang sangat sulit untuk diterima nalar manusia. Tapi itulah kenyataannya, aku
bisa melakukannya. Terkadang ada sebuah pertanyaan menggelitik setiap aku
teringat dengan kelainan ini. Apakah ada orang lain yang juga bisa masuk ke
dalam mimpi orang lain selain aku?
“Pagi, Pit,” sebuah suara mengagetkanku ketika aku sedang mengatur
napas yang memburu, beruntung sekali guru kimia itu belum datang. Aku berpaling
ke arah suara itu dan mendapati Irwan berdiri dengan tampilan berantakan. “Kali
ini kamu berkelahi dengan siapa lagi?”
“Agus,” jawab Irwan merapikan kerah seragamnya. “Tadi dia mau
merebut tempat parkir yang biasa kugunakan. Dia melawan dan kupukul saja
perutnya hingga jatuh terjengkang.”
Aku memutar bola mata sebagai jawaban. Irwan memang sudah dikenal
sebagai murid paling bermasalah di sekolah ini. Sudah tidak terhitung berapa
kali dia dihukum atas kelakuannya. Tapi sepertinya hukuman apa pun yang
diberikan guru-guru tidak pernah membuat Irwan jera.
“Sampai kapan kamu terus membuat masalah, Wan?” tanyaku ketika dia
duduk di sebelahku. “Apakah kamu nggak bosan setiap hari harus berurusan dengan
hukuman? Kemarin kamu nggak mengerjakan PR, kemarin lusa kamu juga membuat
Melanie menangis karena kecoa yang kamu masukan ke dalam tasnya. Besok apa lagi
yang akan kamu lakukan?”
“Apalah serunya hidup tanpa membuat masalah, Jupiter?” jawab Irwan
mengupas permen karet dan mengunyahnya dengan berlebihan. “Kamu harus
sekali-kali mencoba betapa serunya ketika dihukum Bu Erna. Percaya deh, ini
sangat menyenangkan.”
“Aku nggak mau terlihat konyol berdiri di depan kelas dengan
tangan memegang kuping,” jawabku. “Apalagi harus berlari mengelilingi lapangan
seperti orang tolol. Aku lebih memilih duduk di kantin.”
“Oh, aku tahu kalau kamu ini manusia vampir,” celetuk Irwan
tertawa. “Aku baru ingat kalau kulitmu akan melepuh jika terkena matahari.”
Mau tidak mau aku tertawa mendengar ucapan Irwan. Begitulah dia, walaupun
dia terkenal sebagai anak yang paling bengal dan urakan di sekolah. Tapi
sejatinya dia seorang teman yang sangat baik.
Bel berdering menandakan pelajaran segera dimulai. Seperti biasa,
aku segera menyiapkan buku pelajaran pertama dan kembali dipusingkan dengan
rumus-rumus kimia. Begitu juga dengan Irwan, dia langsung menguap begitu Bu
Erna mulai menjelaskan tentang Stoikiometri.
Begitu aku yakin Irwan telah tertidur, aku menyentuh lengan Irwan, dalam
sekejap aku telah berada di dalam mimpi Irwan.
Di dalam mimpi Irwan, aku seperti sedang berada di sebuah bangunan
tua yang sudah lapuk. Beberapa retakan terlihat jelas di dinding-dinding yang
sudah berlumut. Bau pengap dengan debu yang beterbangan menyesakkan paru-paru.
Entah apa yang Irwan lihat sebelum ini sehingga dia bermimpi seperti ini. Yang
jelas suasana gelap bangunan ini membuatku sedikit bergidik.
Sayup-sayup aku mendengar sebuah suara rintihan di ujung ruangan.
Aku berjalan mengendap-endap menuju arah suara rintihan itu. Berjalan pelan
berusaha untuk tidak membuat suara, semenit kemudian aku telah berada di depan
ruangan itu. Terdapat sedikit celah di pintu. Dan ketika aku mengintip ke dalam
ruangan itu, aku bergidik begitu melihat sedikitnya ada lima atau enam manusia
yang tergantung dengan cara terbalik. Ini persis seperti apa yang kulihat di
mimpi Paman dulu.
Aku mundur dari ruangan itu, berusaha menjauh dari mimpi horornya
Irwan. Aku tidak mau melihat mimpi buruk seperti ini lagi. Aku memejamkan mata,
berharap agar kembali ke dunia nyata.
“Kamu tidak bisa lari,” suara dingin mirip desis ular menghantam
telingaku. Aku membuka mata untuk mengetahui dari mana asal suara dingin itu.
Sesosok lelaki berjubah gelap berdiri di depanku, dengan sangat cepat sosok
berjubah itu memegang tanganku.
“Sudah lama aku menunggumu,” katanya lagi dengan suara dingin yang
membuatku bergidik. “Kamu tidak akan kubiarkan lari lagi.”
Aku berusaha melepaskan pegangan sosok gelap itu. Dengan usaha
paling keras yang pernah kulakukan untuk keluar dari dunia mimpi. Akhirnya
pegangannya bisa lepas dari tanganku. Aku kembali memejamkan mata, beberapa
detik kemudian aku mendengar sayup-sayup sebuah suara yang sudah kukenal.
Begitu membuka mata, aku telah kembali di dalam kelas. Aku
menyentak tanganku dari lengan Irwan yang langsung terbangun hingga dia
terjatuh dari kursi. Seluruh siswa tertawa begitu melihat Irwan terjatuh.
Sementara aku yang seolah tersadar dengan semua ini segera membantu Irwan untuk
kembali duduk di bangku.
“Apa yang kalian lakukan?!” sembur Bu Erna menghampiri meja kami.
“Kalian berdua selalu saja membuat gaduh. Sekarang sebagai hukuman, kalian
harus mengerjakan soal di papan tulis.”
Dengan napas yang masih memburu, aku berjalan menuju depan kelas. Rasanya
baru kali ini aku begitu lelah memasuki dunia mimpi. Aku bertanya-tanya apa
yang sedang Irwan pikirkan sehingga dia mengalami mimpi seperti itu? Kenapa
mimpi itu hampir mirip dengan mimpi Paman dulu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar