Selasa, 02 Februari 2016

BANYU SAMUDRA



1
TAFSIR SEBUAH MIMPI


  
Rasanya ini sudah hampir yang keseratus kalinya aku mengalami mimpi yang sama. Mimpi tentang sebuah pertempuran antara dua makhluk berjubah yang saling beradu kekuatan. Kilatan-kilatan cahaya merah dan pucat membuncahkan cahaya menyilaukan, suara seperti dentum meriam memekakan telinga, serta mayat-mayat berserakan di segala tempat. Aku sepertinya melihat pemandangan itu secara langsung. Desing suara pedang saling beradu, Matrix, lecut halilintar menyambar-nyambar mengerikan, semua itu masih teringat jelas di kepalaku.
“Itu hanya sebuah mimpi, Banyu,” kalimat itulah yang selalu diucapakan ayah setiap kali aku menceritakan tentang mimpi itu. “Itu hanya bunga tidur saja, mungkin karena kamu terlalu sering membaca buku fantasi, jadi apa yang kamu baca itu terbawa sampai ke dalam mimpi.”
Aku hanya bisa diam mendengar ayah mengatakan itu. Kalau memang itu semua hanyalah sebuah mimpi, tapi kenapa mimpi itu selalu saja sama? Sungguh aneh apabila mimpi tentang sesuatu yang sama hanyalah bunga tidur semata. Berapa banyak orang yang pernah bermimpi tentang hal yang sama sampai seratus kali?
Andai saja ibu ada di sini. Harapan kosong itulah yang selalu kuimpikan setiap ayah menganggap semua mimpiku hanyalah bunga tidur semata. Aku ingin ada yang bisa menjelaskan semua tafsir mimpi ini. Sebab¾entah mengapa aku merasa kalau mimpi itu mempunyai sebuah arti, walaupun aku sendiri tidak bisa menjelaskan arti mimpi itu. Aku bahkan sudah menceritakan mimpi-mimpiku kepada teman sekolahku, namun tampaknya mereka juga sependapat dengan ayah, bahwa semua mimpi yang kualami hanyalah bunga tidur semata.
“Ada hal yang ingin ayah bicarakan denganmu, Banyu,” kata ayah saat aku selesai mengerjakan PR matematika. ”Ayah sudah membicarakan hal ini kepada kakek Jenar, dan kakek setuju kalau mulai minggu depan kamu harus tinggal di desa Randu Alas.”
Aku bagaikan mendengar petir di siang bolong mendengar ucapan ayah, karena memang di usiaku yang baru menginjak tiga belas tahun, tak pernah terpikirkan untuk tinggal di desa Randu Alas. Sebuah desa terpecil, sebuah desa yang dikelilingi hutan-hutan lebat yang menakutkan. Selain itu aku juga merasa desa itu sangat misterius dengan adanya kabut tipis yang selalu menyelimutinya.
“Kenapa tiba-tiba ayah menyuruhku untuk tinggal bersama kakek Jenar?” tanyaku heran. “Bagaimana dengan sekolahku?”
“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu, Banyu,” jawab ayah dengan ekspresi aneh, campuran antara cemas dan ragu-ragu. “Ayah sudah mengurus semua berkas-berkas perpindahan sekolahmu, jadi mulai Senin besok kamu sudah bisa bersekolah di desa Randu Alas.”
“Ayah baik-baik saja kan? Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan pekerjaan ayah, sehingga ayah menyuruhku untuk tinggal bersama kakek Jenar?”
“Semua baik-baik saja, Banyu,” jawab ayah memainkan pinggiran kursi. “Hanya saja mulai minggu depan, ayah bakal dipindahtugaskan ke luar kota, jadi ayah berpikir kalau kamu sebaiknya harus tinggal bersama kakek Jenar.”
“Kenapa aku tidak ikut saja?”
“Ayah lebih merasa tenang kalau kamu tinggal bersama kakek Jenar,” jawab ayah tersenyum. ”Kakek Jenar juga sangat senang kalau kamu tinggal di sana. Bukankah kamu sudah mempunyai beberapa sahabat di sana?”
Tirta. Itulah salah satu teman yang kukenal di desa Randu Alas. Dia adalah seorang anak bertubuh kurus dan berkulit sawo matang, rambutnya agak ikal karena kegemarannya memakai lidah buaya sebagai shampo.
“Sampai kapan ayah di luar kota?”
“Mungkin satu tahun,” jawab ayah dengan suara berat. ”Tapi itu mungkin saja bisa berubah, Banyu,” ayah cepat-cepat menambahkan begitu melihat ekspresi sedihku. “Kalau pekerjaan di sana bisa dikerjakan lebih cepat, mungkin ayah bakal lebih cepat kembali ke sini.”
“Satu tahun?” aku lemas mendengar harus berpisah dengan ayah selama itu. “Tapi bagaimana kalau pekerjaan ayah akan jauh lebih lama?”
“Ayah akan berusaha untuk menyelesaiakn pekerjaan itu lebih cepat,” jawab ayah menepuk bahuku. “Begitu pekerjaan di sana selesai, ayah pasti akan langsung pulang.”
Aku hanya mengangguk pelan, memahami pekerjaan ayah sebagai seorang Arsitek. Dia memang harus bersikap profesional dengan mau ditempatkan di mana pun. Aku paham dengan karakter ayah yang tidak pernah setengah-tengah dalam pekerjaan.
“Sebaiknya kamu tidur.” Perintah ayah.
Aku mengangguk dan berjalan ke kamar. Begitu sampai di sisi tempat tidur, aku langsung membanting tubuh di atas kasur. Kusambar sebuah buku tebal yang selalu kubaca sebelum tidur. Judul buku PETUALANGAN CELCIUS DI NEGERI LILIPUT. Aku membuka halaman buku itu dan mulai membaca lanjutan cerita yang kubaca kemarin malam…

***

Aku merasa sedang berjalan di sebuah jalan panjang tanpa ujung yang hanya dikelilingi kabut-kabut yang menghalangi pandangan. Aku hanya melihat sekilas siluet bangunan-bangunan besar yang tertutup kabut tebal dan hawa dingin yang janggal menyapaku.
“Tempat apa ini?” gumamku dalam hati, karena baru kali ini aku melihat tempat aneh seperti ini, bahkan di desa Randu Alas yang hampir selalu berkabut tidak tampak begitu mistis seperti ini. “Kenapa di sini tidak ada manusia sama sekali?” Aku kembali melihat sekeliling berharap ada seseorang yang aku temui. Tak berapa lama kemudian sepertinya doaku didengar Tuhan. Di antara siluet bangunan-bangunan besar itu, aku melihat sebuah siluet manusia tinggi yang sepertinya sedang datang ke arahku.
“Siapa itu?!” aku waspada saat manusia berjubah kuning gading berdiri di hadapanku. Si manusia berjubah ini berpawakan tinggi besar. Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan jubah kuning gading yang dipakainya. Rasa-rasanya aku sudah pernah bertemu dengannya di suatu waktu, walaupun aku tidak bisa menjelaskan kapan dan di mana pernah bertemu dengannya.
“Aku Gathotkaca,” jawab manusia berjubah kuning gading itu cepat. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena ditutupi kerudung jubah yang dikenakan-nya.
“Gathotkaca?” aku sangat tidak asing dengan nama itu. “Apakah Anda bergurau?”
Manusia berjubah yang mengaku bernama Gathotkaca hanya terdiam. Dia mengulurkan tangannya ke arahku. ”Aku akan menunjukan sesuatu kepadamu, Banyu.” Dan aku menyambut tangan itu¾setelah tangan kami saling menyentuh, aku merasa berputar di tempat dengan kabut-kabut dingin yang menyesakan paru-paruku. Aku memejamkan mata, dan dengan sebuah kilatan ajaib, aku telah berada di sebuah reruntuhan bangunan yang tampaknya sebuah kastil yang telah hancur.
“Aku di mana?”
“Ini adalah reruntuhan istanaku,” terang Gathotkaca. “Dulu¾istana ini sangat indah dengan banyak menara-menara tinggi yang mencakari langit, namun semua itu berubah saat Zargot menghancurkannya.”
“Zargot?!” aku tercekat mendengar nama itu, karena nama Zargot bukanlah nama yang asing bagiku, sama halnya dengan Gathotkaca, aku merasa telah mengenal nama itu sebelumnya, walaupun aku tidak bisa menjelaskan kapan dan di mana aku pernah mendengar namanya.
“Apa kamu mengenal siapa itu Zargot, Banyu?” tanya Gathotkaca seperti bisa membaca pikiranku.
Aku menggeleng tak yakin. ”Hanya saja aku sudah tidak asing dengan nama itu, sepertinya aku sudah mengenal nama Zargot jauh-jauh hari,” tambahku bingung dengan apa yang kuucapkan. ”Sama halnya dengan Anda, aku merasa pernah bertemu dengan Anda sebelum ini.”
Gathotkaca membuka kerudung jubahnya sehingga aku bisa melihat wajahnya tersenyum. ”Tidak heran kalau kamu merasa tidak asing denganku ataupun Zargot, Banyu,” wajah Gathotkaca bergairah. ”Kamulah yang selama ini aku cari.”
“Apa maksud Anda?”
Gathotkaca mengangkat tangannya ke udara kosong, dia mendaraskan sebuah mantra rumit dan tak berapa lama kemudian sebuah semburat cahaya hijau meluncur dari telapak tangannya dan membentuk sebuah layar hijau yang menayangkan sebuah peristiwa pembantaian manusia. Aku bahkan merasa geram saat menyaksikan makhluk berjubah hitam tertawa dengan sangat bengis.
“Cukup!” seruku merasa ada ular api yang menggeliat di dalam perut. ”Apa maksud Anda memperlihatkan tontonan seperti itu kepadaku?”
Gathotkaca menurunkan tangan dan layar hijau itu langsung lenyap seketika. ”Aku rasa kamu sudah paham kenapa aku memperlihatkan tontonan ini kepadamu¾kamu tahu siapa dia?”
“Zargot,” jawabku yakin. “Tapi aku tidak mengerti kenapa Anda memperlihatkan semua ini kepadaku?”
“Aku membawamu dan memperlihatkan semuan ini kepadamu, agar kamu tahu bahwa hanya manusia terpilih yang akan menghancurkan kekuatan Zargot.”
“Lantas apa hubungannya denganku?”
“Manusia itu adalah kamu, Banyu,” Gathotkaca menatapku dengan tatapan hormat. “Kamulah yang telah dipilih untuk menghancurkan Zargot.”
“A… aku?” gagapku tidak percaya dengan apa yang kudengar. “Aku rasa Anda salah mengira aku adalah anak yang akan menghentikakn kekuatan Zargot, aku hanyalah anak biasa yang terlahir dari keluaraga biasa.”
“Aku tidak pernah salah dalam membaca semua tanda-tanda alam, Banyu,” jawab Gathotkaca matanya tampak cemerlang. “Kamu memanglah anak yang telah ditakdirkan untuk menghentikan semua kekacauan yang dibuat oleh Zargot dan para pengikutnya. Tidakkah kamu sadar, Banyu, kamu anak yang istimewa, namamu bahkan sudah terdaftar sebagai anak Titisanku, bahkan sebelum kamu lahir.”
Titisan? Omong-kosong macam apalagi ini. “Aku tahu Anda pastilah salah orang, pasti bukan aku yang Anda maksud sebagai anak Titisan. Sekali lagi aku tegaskan, aku hanyalah seorang anak bernama Banyu Samudra. Hanya itu¾aku bukanlah anak yang istimewa.”
Gathotkaca tersenyum menyebalkan. “Pernahkah kamu bermimpi tentang pertempuran dua manusia berjubah, Banyu?” tanya Gathotkaca kembali mengingatkanku tentang mimpi yang sudah seratus kali kualami.
“Bagaimana Anda bisa tahu tentang mimpi-mimpiku?” tanyaku menyipitkan mata, aku merasa kalau Gathotkaca memang bisa membaca pikiran. ”Bagaimana Anda bisa tahu kalau aku sering memimpikan tentang pertempuran itu?”
“Kamu belum paham juga ternyata.” Gathotkaca kini berjalan mengelilingiku. ”Kamu berpawakan sama sepertiku saat aku masih muda. Kurus dan tinggi, rambut agak ikal. Wajahmu mirip dengan kakekmu, tapi tidak dengan matamu¾mata itu sangat mirip dengan mata Amoria. Ya, mata coklat terang itulah yang paling indah di antara empat ksatria Sang Pembela. Aku masih ingat betul dengan mata itu.”
“Anda kenal dengan kakek Jenar?” aku cukup terkejut karena Gathotkaca kenal dengan kakek Jenar. “Lantas siapa itu Amoria? Aku tidak pernah dengar nama itu sebelumnya. Lalu siapa itu Sang Pembela?”
“Tentu,” jawab Gathotkaca tersenyum. “Dia adalah orang paling bijaksana yang pernah kukenal.”
“Lalu siapa Amoria dan Sang Pembela?”
“Aku tidak berhak untuk menjelaskan semua ini kepadamu,” jawab Gathotkaca misterius. “Ada seseorang yang lebih berhak untuk menjelaskan semua ini kepadamu, tentang siapa itu Amoria ataupun tentang apa itu Sang Pembela.”
“Siapa?”
“Kamu tahu siapa orang yang aku maksud,” wajah Gathotkaca berseri. “Tapi bukan itu tujuanku menemuimu. Aku hanya mau memberitahumu akan takdirmu sebagai anak Titisanku, kamu telah ditakdirkan untuk¾tolong dengarkan aku¾” Gathotkaca menegaskan kalimat terakhirnya saat aku mencoba menyelanya lagi. “Dengarkan aku, Banyu. Jiwaku sebagian besar telah menitis kepadamu sebelum kamu lahir, sebab itulah kamu selalu melihat mimpi-mimpi tentang pertempuran. Apa yang kamu impikan itu benar adanya. Perang itu benar-benar pernah terjadi dan aku tidak mau hal itu kembali terulang.”
“Kalau memang semua mimpi-mimpiku adalah sebuah kenyataan yang dulu pernah terjadi,” aku sudah menyiapkan argumen kontra untuk menjawab semua omong-kosong ini. ”Tapi kenapa Anda lebih memilihku untuk melawan kekuatan Zargot, bukankah Anda seharusnya menghadapinya sendiri mahluk bernama Zargot itu? Bukan malah menyerahkan semua ini kepada anak berusia tiga belas tahun?”
Gathotkaca tampak sedih mendengar ucapanku, dan itu memang yang aku harapkan. Dia harus sadar kalau aku bukanlah anak Titisannya, ini hanyalah sebuah kekeliruan. “Masaku telah berakhir dengan berakhirnya kekuatan Zargot yang terjadi lima puluh tahun yang lalu,” Gathotkaca memungut sebuah puing dan melemparkannya ke sebelah ruangan yang telah hancur. “Dan sekarang kamulah yang akan melanjutkan perjuanganku untuk meruntuhkan sisa-sisa kekuatan Zargot hingga benar-benar hancur.”
“Kalau memang kekuatan Zargot telah berakhir, kenapa Anda memintaku untuk melanjutkan perjuangan Anda, bukankah ini semua telah berakhir?”
“Kekuatan Zargot memang telah berakhir,” jawab Gathotkaca dengan suara dalamnya sehingga memberikan efek kesedihan yang dalam. “Tapi bukan berati semua kekacauan ini bakal berhenti, masih banyak pengikut Zargot yang ada di dunia ini, aku yakin mereka akan terus mencari cara untuk mengembalikan kekuatan Zargot. Semua kekacauan yang akhir-akhir ini sering terjadi di berbagai belahan dunia, kecelakaan yang tidak wajar, runtuhnya bangunan besar tanpa sebab, hingga berbagai macam berita orang hilang dan pembunuhan. Aku merasa Patra ada di balik semua kekacauan ini.”
“Patra?”
“Dia adalah salah satu anggota Sang Penguasa,” jawab Gathotkaca menerangkan saat aku kembali mengerenyitkan kening. “Kelak kamu juga akan tahu apa itu Sang Penguasa. Aku hanya ingin kamu percaya bahwa kamulah anak yang telah dipilih untuk menghentikan semua kekacauan ini.”
Aku hanya terdiam mendengarnya, semua ini pasti hanya sebuah imajinasiku semata. Ini pasti hanyalah sebuah mimpi. Mungkin inilah yang dimaksudkan ayah tentang efek terlalu sering membaca buku fantasi sebelum tidur.
“Kemariakan tanganmu, Banyu,” pinta Gathotkaca mengulurkan tangannya kepadaku, dan aku pun mengulurkan tangan untuk menyambutnya. “Aku akan memberikan sebagian kekuatanku padamu, sebagai bekal agar kamu bisa mengalahkan kekuatan Patra.”
Begitu tangan kami saling bersentuhan ada sebuah aliran listrik yang menjalari pergelangan tanganku dan menyebar ke setiap bagian tubuhku. Begitu sensasi seperti tersetrum listrik itu lenyap. Sebuah cahaya yang sangat menyilaukan keluar dari kedua tangan kami yang saling bersalaman. Aku kembali memejamkan mata mencegah cahaya menyilaukan itu menusuk mataku.
”Gunakanlah kekuatan dan pusaka yang aku berikan untuk menegakan kebaikan dan kebenaran,” suara Gathotkaca bergaung di telingaku. Tangan Gathotkaca mulai mengendur dari genggamanku. Aku merasa menggenggam sebuah benda lain yang sangat berbeda dari tangan Gathotkaca. Ketika membuka mata aku terkejut dengan adanya sebuah benda panjang dan runcing yang kugenggam di tangan kananku.
Pedang…

JUPITER (SANG PENGENDALI MIMPI)






JUPITER (SANG PENGENDALI MIMPI)



EPISODE 1
NAMAKU JUPITER



Aku memang terlihat seperti remaja normal berusia enam belas tahun pada umumnya. Tapi kenyataanya aku tidaklah normal, aku berbeda dan mempunyai sebuah rahasia. Sebuah rahasia yang baru kusadari ketika beranjak tujuh tahun. Saat itu, aku sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan yang anehnya tidak bisa kuingat sama sekali. Menurut penuturan ayah, aku dulu pernah menjadi korban tabrak lari. Saat itulah aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh di dalam tubuhku. Aku seolah bisa melihat gambaran tentang apa yang tengah dialami pasien yang terbaring di ranjang sebelahku. Aku bisa melihat gambaran pasien itu sedang berjalan-jalan di tepi Pantai Pulau Merah, pantai yang cukup terkenal di Banyuwangi. Begitu juga dengan pasien-pasien lain. Aku seolah bisa berpindah-pindah melihat gambaran tentang apa yang tengah mereka impikan.
Seiring berjalannya waktu, hingga usiaku sekarang yang enam belas tahun. Aku memang menyadari ada sebuah kelainan di dalam tubuhku. Kenapa aku bisa melihat gambaran-gambaran pikiran orang saat mereka tertidur. Kini aku tahu jawabannya, namaku Jupiter dan aku bisa masuk ke dalam mimpi.
Ya. Itulah kenyataannya, aku memang bisa masuk ke dalam mimpi seseorang. Mimpi yang selama ini selalu dianggap bunga tidur bagi sebagian orang. Mimpi yang merupakan alam bawah sadar manusia. Aku bisa masuk ke dalamnya dan melihat apa pun yang mereka impikan.
Masih teringat jelas ketika aku berusia delapan tahun. Saat itu aku belum terlalu paham dengan bakat yang melekat di tubuhku. Saat itu, aku sedang tidur bersama ayah. Ketika aku sedang menatap wajah ayah dari samping dan menyentuhnya, secara ajaib, tiba-tiba aku telah berada di sebuah lapangan sepak bola yang penuh dengan ribuan penonton yang duduk di tribun-tribun tinggi. Begitu juga dengan ayah, aku melihat ayah sedang bersalaman dengan salah satu pemain sepak bola yang menjadi idolanya. Keesokan harinya, ketika aku akan berangkat sekolah, ayah bercerita kepada ibu bahwa dia semalam bermimpi bertemu dengan idolanya. Dan ketika aku bertanya apakah ayah bersalaman dengan pemain bola itu, ayah mengangguk dan berkata, “Wah, Peter kenapa kamu bisa tahu mimpi ayah?” Sedangkan aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Saat itu aku belum bisa memahami bahwa aku telah masuk ke dalam mimpi ayah.
Memasuki mimpi ayah adalah sebagian kecil tentang kelainan yang melekat pada tubuhku. Aku juga pernah masuk ke dalam mimpi ibu, tante, bahkan sepupuku yang berusia tidak jauh denganku. Menyadari jika aku mempunyai kelainan ini, maka sejak umur sembilan tahun, aku meminta agar tidur sendiri.
Tentu saja mempunyai bakat bisa masuk ke dalam mimpi seseorang tidaklah selalu menyenangkan seperti yang kalian pikirkan. Memang dengan memasuki mimpi seseorang, aku bisa melihat apa yang mereka impikan. Tapi terkadang juga aku merasa takut jika mimpi mereka adalah mimpi buruk  atau mimpi bertemu hantu.
Salah satu mimpi buruk yang masih kuingat sampai sekarang, adalah ketika aku masuk ke dalam mimpi Paman yang bekerja sebagai seorang wartawan. Dalam mimpi itu, aku berjalan di sebuah gang sempit dan gelap. Ketika sampai di sebuah tikungan gang, aku menjerit ngeri begitu melihat seorang wanita tewas dengan tergantung terbalik. Sesuai dengan dugaanku, pagi harinya Paman menceritakan tentang berita pembunuhan yang diliputnya, hingga terbawa mimpi. Ketika aku menanyakan tentang wanita tergantung dengan cara terbalik, Paman tercekat mendengarnya. Dia hanya berkata, “bagaimana kamu tahu kalau wanita itu digantung dengan posisi terbalik, Peter?” Aku hanya menjawabnya dengan mengangkat bahu. Berusaha menghilangkan ekspresi mengerikan si wanita itu.
Begitulah, walaupun mempunyai bakat yang bisa dibilang langka. Aku selalu bergidik jika mengingat mimpi wanita terbalik itu. Dan mulai saat itulah, aku berjanji pada diri sendiri, bahwa aku tidak akan menggunakan bakat ini kepada sembarang orang. Aku hanya akan menggunakan bakat memasuki mimpi ini kepada seorang yang kuhendaki.
Sekarang hari Senin, hari di mana kisahku dimulai. Hari di mana akan kembali bersekolah setelah libur seharian. Entahlah, aku selalu benci hari Senin, karena di hari ini semua kegiatan akan berjalan seperti biasanya. Sekolah, orangtua bekerja, jalan macet, trigonometri, rumus-rumus kimia yang membingungkan hingga aljabar yang membuat kepalaku serasa meledak.
Selesai mandi, aku bergegas menuju ruang makan untuk sarapan. Di meja makan sudah menunggu ibu dan adikku. Sedangkan ayah, sepertinya dia sedang berkutat dengan ponselnya. Membicarakan tentang pesanan traktor dalam jumlah yang besar. Sepuluh menit kemudian, kami semua telah siap untuk sarapan. Adikku yang bernama Gio dengan lahap menyantap nasi goreng buatan ibu. Sedangkan aku hanya memilih untuk menyantap roti dengan selai cokelat. Sarapan pagi ini berjalan normal seperti biasanya. Setengah jam kemudian kami semua telah selesai sarapan. Aku segera merapikan tampilan, menyambar jaket di ruang tamu dan bergegas untuk berangkat sekolah dengan petuah-petuah yang selalu disampaikan ayah dan ibu. Petuah ibu yang selalu mengatakan agar aku belajar yang rajin. Hingga ucapan konyol ayah, bahwa sekarang aku sudah mulai tumbuh kumis.
Lima menit sebelum bel berdering, aku sampai di sekolah, setelah memarkirkan motor, aku berlari menuju kelas sebelum guru kimia itu datang. Sumpah, aku sangat benci pelajaran kimia dengan rumus-rumus yang selalu membuat ngantuk. Pernah terjadi sekali kejadian lucu ketika Bu Erna¾dia adalah guru kimia kami, menjelaskan tentang reaksi kimia dengan sangat membosankan, sehingga membuat teman sebangkuku yang bernama Irwan tertidur, dan ketika aku iseng masuk ke dalam mimpi Irwan, aku terbahak begitu melihat Irwan sedang berdansa dengan Bu Erna. Dan ketika dia terbangun, aku mencoba meledeknya dengan tarian dansa itu, Irwan hanya memandangku, tampak heran sejenak dan kemudian tertawa bersama.
“Dari mana kamu tahu mimpiku, Pit?” tanya Irwan membuatku sebal setiap kali dia memanggilku Pit, tidak seperti kebanyakan teman-teman yang lain yang memanggilku dengan Peter. Tapi di situlah aku malah lebih akrab dengan Irwan, dia itu pribadi yang humoris dan apa adanya.
“Tadi kamu mengigau,” jawabku sekenanya. “Bahkan tadi kamu hampir saja menari jika aku nggak menahannya. Bagaimana rasanya berdansa dengan guru kimia itu, Wan?”
Irwan memutar bola matanya dan memilih kembali untuk pura-pura mendengarkan penjelasan Bu Erna tentang Isomerisasi.
Begitulah, selama ini aku selalu menutupi kelainanku pada siapa pun. Menjadi seseorang yang bisa masuk ke dalam mimpi seseorang tampaknya memang sangat sulit untuk diterima nalar manusia. Tapi itulah kenyataannya, aku bisa melakukannya. Terkadang ada sebuah pertanyaan menggelitik setiap aku teringat dengan kelainan ini. Apakah ada orang lain yang juga bisa masuk ke dalam mimpi orang lain selain aku?
“Pagi, Pit,” sebuah suara mengagetkanku ketika aku sedang mengatur napas yang memburu, beruntung sekali guru kimia itu belum datang. Aku berpaling ke arah suara itu dan mendapati Irwan berdiri dengan tampilan berantakan. “Kali ini kamu berkelahi dengan siapa lagi?”
“Agus,” jawab Irwan merapikan kerah seragamnya. “Tadi dia mau merebut tempat parkir yang biasa kugunakan. Dia melawan dan kupukul saja perutnya hingga jatuh terjengkang.”
Aku memutar bola mata sebagai jawaban. Irwan memang sudah dikenal sebagai murid paling bermasalah di sekolah ini. Sudah tidak terhitung berapa kali dia dihukum atas kelakuannya. Tapi sepertinya hukuman apa pun yang diberikan guru-guru tidak pernah membuat Irwan jera.
“Sampai kapan kamu terus membuat masalah, Wan?” tanyaku ketika dia duduk di sebelahku. “Apakah kamu nggak bosan setiap hari harus berurusan dengan hukuman? Kemarin kamu nggak mengerjakan PR, kemarin lusa kamu juga membuat Melanie menangis karena kecoa yang kamu masukan ke dalam tasnya. Besok apa lagi yang akan kamu lakukan?”
“Apalah serunya hidup tanpa membuat masalah, Jupiter?” jawab Irwan mengupas permen karet dan mengunyahnya dengan berlebihan. “Kamu harus sekali-kali mencoba betapa serunya ketika dihukum Bu Erna. Percaya deh, ini sangat menyenangkan.”
“Aku nggak mau terlihat konyol berdiri di depan kelas dengan tangan memegang kuping,” jawabku. “Apalagi harus berlari mengelilingi lapangan seperti orang tolol. Aku lebih memilih duduk di kantin.”
“Oh, aku tahu kalau kamu ini manusia vampir,” celetuk Irwan tertawa. “Aku baru ingat kalau kulitmu akan melepuh jika terkena matahari.”
Mau tidak mau aku tertawa mendengar ucapan Irwan. Begitulah dia, walaupun dia terkenal sebagai anak yang paling bengal dan urakan di sekolah. Tapi sejatinya dia seorang teman yang sangat baik.
Bel berdering menandakan pelajaran segera dimulai. Seperti biasa, aku segera menyiapkan buku pelajaran pertama dan kembali dipusingkan dengan rumus-rumus kimia. Begitu juga dengan Irwan, dia langsung menguap begitu Bu Erna mulai menjelaskan tentang Stoikiometri. Begitu aku yakin Irwan telah tertidur, aku menyentuh lengan Irwan, dalam sekejap aku telah berada di dalam mimpi Irwan.
Di dalam mimpi Irwan, aku seperti sedang berada di sebuah bangunan tua yang sudah lapuk. Beberapa retakan terlihat jelas di dinding-dinding yang sudah berlumut. Bau pengap dengan debu yang beterbangan menyesakkan paru-paru. Entah apa yang Irwan lihat sebelum ini sehingga dia bermimpi seperti ini. Yang jelas suasana gelap bangunan ini membuatku sedikit bergidik.
Sayup-sayup aku mendengar sebuah suara rintihan di ujung ruangan. Aku berjalan mengendap-endap menuju arah suara rintihan itu. Berjalan pelan berusaha untuk tidak membuat suara, semenit kemudian aku telah berada di depan ruangan itu. Terdapat sedikit celah di pintu. Dan ketika aku mengintip ke dalam ruangan itu, aku bergidik begitu melihat sedikitnya ada lima atau enam manusia yang tergantung dengan cara terbalik. Ini persis seperti apa yang kulihat di mimpi Paman dulu.
Aku mundur dari ruangan itu, berusaha menjauh dari mimpi horornya Irwan. Aku tidak mau melihat mimpi buruk seperti ini lagi. Aku memejamkan mata, berharap agar kembali ke dunia nyata.
“Kamu tidak bisa lari,” suara dingin mirip desis ular menghantam telingaku. Aku membuka mata untuk mengetahui dari mana asal suara dingin itu. Sesosok lelaki berjubah gelap berdiri di depanku, dengan sangat cepat sosok berjubah itu memegang tanganku.
“Sudah lama aku menunggumu,” katanya lagi dengan suara dingin yang membuatku bergidik. “Kamu tidak akan kubiarkan lari lagi.”
Aku berusaha melepaskan pegangan sosok gelap itu. Dengan usaha paling keras yang pernah kulakukan untuk keluar dari dunia mimpi. Akhirnya pegangannya bisa lepas dari tanganku. Aku kembali memejamkan mata, beberapa detik kemudian aku mendengar sayup-sayup sebuah suara yang sudah kukenal.
Begitu membuka mata, aku telah kembali di dalam kelas. Aku menyentak tanganku dari lengan Irwan yang langsung terbangun hingga dia terjatuh dari kursi. Seluruh siswa tertawa begitu melihat Irwan terjatuh. Sementara aku yang seolah tersadar dengan semua ini segera membantu Irwan untuk kembali duduk di bangku.
“Apa yang kalian lakukan?!” sembur Bu Erna menghampiri meja kami. “Kalian berdua selalu saja membuat gaduh. Sekarang sebagai hukuman, kalian harus mengerjakan soal di papan tulis.”
Dengan napas yang masih memburu, aku berjalan menuju depan kelas. Rasanya baru kali ini aku begitu lelah memasuki dunia mimpi. Aku bertanya-tanya apa yang sedang Irwan pikirkan sehingga dia mengalami mimpi seperti itu? Kenapa mimpi itu hampir mirip dengan mimpi Paman dulu?

5 KARAKTER DALAM DUNIA HARRY POTTER YANG LEBIH MENGERIKAN DARI VOLDEMORT






5 KARAKTER DALAM DUNIA HARRY POTTER YANG LEBIH MENGERIKAN DARI VOLDEMORT


1. BELLATRIX LESTRANGE

 Voldemort membunuh agar ia menjadi kuat. Bagi Bellatrix Lestrange, membunuh adalah kegiatan olahraga. Bella digambarkan sebagai karakter yang manipulatif, culas dan sangat jahat. Ia bahkan membunuh anggota keluarganya sendiri. Ia juga menyiksa orang tua Neville Longbottom sampai gila. Karakter ini juga merupakan karakter yang paling aku benci.


2. DEMENTOR 

Para dementor merupakan mahluk yang sangat pandai dan tidak bisa mati. Kemampuannya mengisap jiwa para tawanan penjara dunia sihir membuat mereka menjadi sipir penjara paling mengerikan. J.K. Rowling, penulis novel Harry Potter mengakui bahwa ia sendiri pun merasa depresi saat menciptakan karakter ini. Para dementor tidak bisa melihat, namun mereka bisa merasakan emosi positif, dan ketika mereka menemukannya, mereka akan menggantikan emosi positif tersebut dengan memori yang sangat buruk. Bagi Harry Potter, memory buruk ini adalah kenangan saat kematian ibunya. Patronus merupakan senjata yang paling ampuh menghalau Dementor. So... Apa Patronus-mu? 

3. ARAGOG

 
Aragog adalah laba-laba seukuran gajah dengan yang bisa berkomunikasi dengan manusia. Aragog merupakan mahluk peliharaan Hagrid yang muncul di buku kedua. Aragog juga yang pertama kali dituduh sebagai mahluk yang menghuni Kamar Rahasia.

4. FENRIR GREYBACK





Karakter manusia serigala ini sangat pemarah, bahkan lebih pemarah dibandingkan Voldemort. Sebagai karakter yang memiliki kelainan pedofil (menyukai anak-anak), Fenrir Greyback setuju untuk membantu para death Eater dengan bayaran waktu kebersamaan dengan Hermione Granger. Karakter ini memiliki sifat seperti pembunuh berantai dan sangat jahat, bahkan terhadap temannya sendiri. Ia bahkan bisa membunuh pada saat ia masih berwujud manusia. Di Harry Potter ke 7, aku sempat sedih ketika melihat mahluk ini membunuh Lavender Brown :'(

5. BASILISK



Basilik pertama kali muncul di Buku HP yang kedua. Dia digambarkan monster berupa ular yang sangat besar dan mempunyai kekuatan untuk membunuh dengan tatapan matanya. Bahkan kita pun bisa membatu jika secara tidak langsung melihat mata kuningnya.



So... Walaupun Harry Potter sudah lama berakhir. Selalu saja menarik untuk disimak. Terima kasih JK Rowling :* :*

QOUTES NOVEL MARS










BLURB MARS



Tutup matamu dan hitunglah sampai tujuh.Begitu kamu membuka matamu, kamu akan melihat sebuah keajaiban.


Dunia Jordan berubah jungkir balik setelah dia bertemu dengan seorang gadis bernama Julia. Gadis bermata biru itulah yang selalu mengisi setiap rongga di dalam hatinya. Namun Julia bukanlah gadis yang biasa. Dia adalah seorang gadis Nordic yang berasal dari angkasa luar.
Jordan terjebak dalam situasi yang sulit. Di sisi lain dia sangat mencintai Julia. Namun di sisi lain nyawanya menjadi taruhan karena ternyata dirinya lah yang telah diramalkan oleh bintang-bintang yang akan menghancurkan tatanan hukum alien dibawah pimpinan Klan Rasputin yang kejam.