Minggu, 10 Januari 2016

NUKILAN NOVEL MARS










10
HUKUM ALIEN



Aku membuka mata dan mendapati telah berada di sebuah hutan pinus yang sangat sejuk dengan suara burung-burung hutan yang memenuhi telingaku. Embusan angin hutan yang sejuk membelai wajahku. Aku heran karena tiba-tiba telah berada di tempat ini hanya dalam hitungan beberapa detik.
“Kamu akan terbiasa dengan kecepatan alien dalam berlari, Jordan.” Kata Julia tanpa melepaskan pegangan tanganku. “Kami, para alien, mempunyai bakat teleportasi.”
Aku berdecak kagum dengan bakat-bakat istimewa yang dimiliki keluarga Matthew. Kami kembali berjalan, dan tak berapa lama kemudian, Julia menunjukan sebuah bangunan menakjubkan lain yang ada di dalam hutan.
Sebuah rumah berbentuk mangkuk terbalik berukuran raksasa dengan dinding terbuat dari kaca berdiri di antara pohon-pohon yang menjulang tinggi. Di sebelah rumah unik itu, sebuah pesawat ringan terparkir dengan janggal.
Julia tersenyum ke arahku dengan sangat menawan, dia menggenggam tanganku dan menuntunku menuju sebuah pintu dengan ukiran-ukiran rumit yang memberikan efek tiga dimensi.
“Kamu gugup?” tanyanya saat tanpa sadar tanganku gemetar melihat semua ini. “Kamu tampak pucat.”
“Aku baik-baik saja,” jawabku mencoba menata perasaan tidak karuan ini. “Aku hanya sedikit terkejut untuk meyakini bahwa semua ini benar-benar nyata.”
“Anggap saja ini sebagai imbalan yang pantas akan keagungan moral yang kamu lakukan,” Julia tersenyum. “Anggap saja semua ini adalah pantas untuk Sang Pelihat sepertimu.”
Aku kembali mengerutkan kening mendengar perkataan Julia tentang Sang Pelihat. “Sebenarnya apa Sang Pelihat itu, Jules?”
“Reginald akan menjawab semua itu, Joe,” jawab Julia. “Nanti kamu akan tahu betapa hebat bakat yang ada padamu. Aku bertaruh kalau Laurent sebenarnya sangat iri dengan bakat yang kamu miliki.”
“Ini lucu,” aku nyengir mendengar Laurent iri akan bakat Sang Pelihatku yang aku sendiri belum tahu itu apa. “Dia mempunyai bakat telekinesis yang menakjubkan¾dia bisa menggerakan semua benda dengan kekuatan pikirannya.”
Julia menggeleng. “Bakat telekinesis bukanlah bakat yang begitu istimewa kalau selain Laurent, masih ada manusia yang mempunyai bakat itu. Apa kamu pernah dengar seorang wanita bernama Nina Kulagina dari Sovyet yang juga mempunyai bakat telekinesis seperti halnya Laurent?”
“Ya, aku pernah membaca berita tentang itu.” jawabku membenarkan ucapan Julia. “Tapi tetap saja itu hal yang sangat istimewa kan? Tidak banyak manusia yang mempunyai bakat seperti itu.”
“Laurent bukan manusia, kamu ingat?” lanjut Julia lagi. “Tentunya sulit bagi Laurent untuk menerima bahwa bakat yang dia miliki juga ada pada beberapa manusia.”
“Oh ya aku lupa,” kataku nyengir. “Tapi aku berpendapat kalau hal itu tetap saja mengaggumkan.”
“Jalan pikiran alien dan manusia tidak sama, Jordan,” Julia meremas tanganku. “Istimewa bagimu, belum tentu istimewa bagi Laurent.”
“Aku mengerti,” jawabku mengangguk pelan. “Tapi aku tetap merasa bakat yang ada pada Laurent sungguh mengagumkan.”
Julia terkekeh seraya mendorong pintu. “Siap untuk bertemu dengan keluarga alien, Jordan?”
Aku mengangguk dengan perasaan berdebar yang sulit kuungkapkan. Aku merasa bagaikan seekor rusa jantan yang masuk ke dalam sebuah kandang berisi empat ekor singa jinak. Walaupun keluarga Matthew adalah keluarga alien yang baik. Tapi tetap saja aku merasa sedikit was-was bila apa yang kuimpikan tentang keluarga Matthew menjadi sebuah kenyataan.
Julia membuka pintu itu¾memperlihatkan sebuah ruangan paling megah dan unik yang pernah kulihat. Ruangan itu sepertinya menyerupai sebuah istana kaca dengan berbagai ornamen-ornamen yang eksotik. Sebuah tabung kaca berisi seribu kunang-kunang yang berkilau. Sebuah lukisan besar bergambar silsilah keluarga Matthew tampak mencolok di tengah ruangan.
Ada juga sebuah meja kaca dan beberapa sofa empuk yang terlihat seperti melayang. Sebuah tangga melingkar menjulang ke lantai dua tampak spektakuler dengan kaca-kaca yang berkilau tertimpa cahaya matahari. Di antara ruangan kaca yang berkilau, empat sosok malaikat berdiri dengan anggun dan gagah. Seorang lelaki berbadan tegap dengan rambut putihnya yang berkilau tersenyum kepadaku. Di sebelahnya, Madam Jamella tersenyum tidak kalah menawan dari Julia. Di sebelah Madam Jamella, ekspresi dingin Carissa dan Laurent membuatku agak risih.
Dengan perasaan berdebar aku berjalan menghampiri keluarga Matthew, mencoba tersenyum ke arah mereka. Aku berpaling ke arah Julia yang wajahnya semakin berkilau ditimpa cahaya matahari yang masuk lewat dinding-dinding kaca. Sekilas aku mendengar sebuah alunan musik klasik mengalun pelan di dalam rumah unik ini.
“Selamat datang di keluarga Matthew…” ucap lelaki berambut putih berkilau yang aku yakini bernama Reginald. “Kamu pasti yang namanya Jordan? Aku Reginald.”
Aku mengangguk dengan canggung saat menjabat tangan Reginald.
“Kita bertemu lagi, Jordan,” Madam Jamella tersenyum seraya mengulurkan tangannya ke arahku. “Bagaimana keadaanmu?”
“Baik,” jawabku tersipu malu bila teringat pertemuan pertama dengan Madam Jamella.
”Apa kamu masih mau memakai topi bowler merah muda itu?” tanya Madam Jamella saat melepaskan jabatan tanganku. “Sepertinya topi bowler kembali menjadi trend setelah kamu memakainya, Jordan.”
Julia tersenyum mendengar lelucon yang diucapkan Madam Jamella.
“Carissa…” Madam Jamella berpaling ke arah gadis malaikat lain yang tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri sekarang. “Ayo, salami Jordan.”
“Aku sudah mengenalnya,” jawab Carissa dingin. “Aku tidak perlu lagi berkenalan dengannya.”
Madam Jamella mengembuskan napas seolah sudah mengetahui hal ini akan terjadi. Aku juga sudah menduga, bakal mendapatkan sambutan yang tidak menyenangkan dari Laurent dan Carissa, mengingat pertemuan pertama kaliku dengan mereka tidaklah menyenangkan.
“Laurent…” Madam Jamella berpaling ke arah Laurent yang ekspresinya tidak kalah dingin dari Carissa. “Kamu tidak keberatan bersalaman dengan Jordan?”
“Kenapa aku harus bersalaman dengan manusia?” desis Laurent dengan tatapan jijik. “Dia itu manusia.”
“Dia pacar Julia,” suara merdu Reginald bergaung dengan indah di dalam rumah kaca ini. “Mulai Jordan adalah anggota keluarga kita.”
“Tapi dia manusia!” kata Laurent semakin menatapku dengan tatapan tidak suka. “Dia tidak sepantasnya hidup berdampingan dengan bangsa kita, Regs.”
“Tidak ada yang membedakan manusia dan alien, Laurent,” Reginald berbicara dengan sangat tenang, seolah setiap suku kata yang dia ucapkan, terorganisir dengan sangat rapi. “Kalau dia memang manusia kenapa? Aku tidak melihat adanya bahaya jika Jordan berada di keluarga kita.”
“Dia akan membahayakan bangsa kita, Reginald,” dukung Carissa dengan wajah dinginnya. “Bukankah hal ini sudah melanggar hukum alien, bagaimana kalau Hector sampai tahu hal ini?”
“Kami sudah bersumpah atas nama bintang dan planet, bahwa kami bisa hidup berdampingan dengan manusia, Carissa,” jawab Reginald nada suaranya tidak berubah. “Pertalian antara manusia dan alien Nordics sudah terjalin selama ribuan tahun.”
“Sudah-sudah…” suara merdu Madam Jamella menyela perdebatan antara Reginald dan Carissa. “Ini kunjungan pertama Jordan ke keluarga Matthew, aku tidak ingin semua ini berantakan karena hal itu. Dan kamu Laurent, aku harap kamu bisa menghormati tamu yang datang ke rumah kita.”
Laurent berpaling ke arahku dengan tatapan pedas, dia meninggalkan kami dan berjalan menuju tangga ke lantai dua
“Dia akan baik-baik saja,” kata Reginald menuntunku untuk duduk di sofa empuk yang terlihat melayang. Aku baru menyadari bahwa sofa berwarna putih itu menempel di dinding. “Laurent memang sedikit tidak ramah dengan manusia yang baru dikenalnya.”
Aku tersenyum tanpa tahu harus menjawab apa.
“Rasanya baru kemarin kita bertemu,” Madam Jamella duduk di sebelah Reginald dengan sangat anggun. “Saat pertama kali bertemu denganmu, aku sudah menduga kalau kamu adalah manusia yang istimewa.”
“Aku bisa melihatnya,” dukung Reginald merdu. “Aku sebenarnya cukup terkejut dengan cerita Julia tentang bakat Sang Pelihat yang ada padamu. Aku sama sekali tidak menduga, bahwa ada manusia dengan bakat langka seperti itu.”
Aku berpaling ke arah Julia yang tersenyum cemerlang. Sedangkan Carissa tampak sangat gusar mendengar hal itu. “Aku tidak mengerti kenapa kalian menyebutku Sang Pelihat?”
“Kamu dan Julia mempunyai tanggal lahir yang sama,” jawab Reginald membuatku cukup terkejut. “Kalian berdua sama-sama lahir di tanggal dan bulan yang sama.”
“Tanggal tujuh di bulan Juli,” kata Julia menyambar sebuah buku tebal bersampul cokelat. “Sebab itulah namaku Julia.”
“Benarkah?” aku berpaling ke arah Julia yang pura-pura sibuk membaca buku yang dia pegang. “Kenapa kamu tidak mengatakan hal itu kepadaku, Julia?”
“Aku kira kamu sudah menyadarinya,” Julia menutup buku yang dia pegang. “Aku rasa kamu bisa menyimpulkan tanggal lahirku begitu aku menyukai angka tujuh.”
Aku sama sekali tidak menyadari kalau Julia mempunyai tanggal lahir yang sama denganku.
“Itulah alasan kenapa kamu mempunyai bakat sebagai Sang Pelihat, Jordan,” Madam Jamella ikut menimpali. “Kamu adalah satu-satunya manusia di dunia ini yang mempunyai bakat istimewa itu.”
“Aku masih belum mengerti,” tanyaku menyengeritkan kening. “Apa maksud kalian dengan Sang Pelihat itu?”
“Aku sudah membuktikan bakat Sang Pelihat padamu beberapa kali, Jordan,” kata Julia tersenyum. “Hanya saja kamu tidak pernah menyadarinya.”
“Benarkah?”
“Kamu ingat saat kita makan malam kita di Jogja Paradise? Saat kamu merasa tatapan para pengunjung kafe itu yang aneh, apa kamu tidak tahu kenapa mereka seperti itu?”
Aku mencoba mengingat kejadian itu, tentang pandangan aneh pengunjung kafe itu, menurut dugaanku, mereka sangat terpesona dengan wajah malaikat Julia. Mungkin mereka terpesona dengan wajah malaikatmu, Julia,” jawabku malu mengatakan hal ini.
“Kamu dengar itu, Julia,” Carissa berdiri dengan tatapan muak padaku. “Kamu dengar sendiri apa yang dia ucapkan, dia sungguh menjijikan.”
“Carissa!” Madam Jamella berkata dengan keras. “Kamu tidak pantas mengatakan seperti itu.”
“Sekarang siapa yang lebih pantas disebut pengkhianat?” Raung Carissa dengan wajah malaikatnya yang tampak mengerikan. “Kamu menjalin hubungan cinta terlarang dengan manusia Julia. Aku sependapat dengan Laurent. Bagaimana kalau Hector dan Victor tahu akan hal ini? Apa kamu tidak ingat dengan apa yang terjadi dengan Pierell?”
“Jordan tidak sama seperti Pierell, Carissa,” balas Julia, wajah malaikatnya tampak berang. “Aku sudah menduga kalau Pierell manusia yang tidak baik. Aku bisa melihat dia sebagai ancaman bagi bangsa kita.”
“Apa bedanya dengan dia?!” Carissa menunjuk ke arahku dengan tatapan tajam. “Dia juga manusia seperti halnya Pierell.”
“Jordan itu lain dari Pierell,” jawab Julia lantang. “Tidakkah kamu lihat keagungan moral yang pernah dilakukan di Parangtritis? Atau apakah kamu lupa, bahwa Jordan pernah menyelamatkanmu dari Baron?”
“Aku tidak butuh bantuan dia!” raung Carissa wajahnya tampak semakin mengerikan. “Aku bisa mengatasi Baron seorang diri.”
“Carissa, cukup!” Reginald menghentikan perdebatan Julia dan Carissa. “Pertengkaran ini tidak baik untuk Jordan.”
Baru kali ini aku merasakan bagaikan menjadi sebuah benalu. Aku memang mencintai Julia lebih dari apa pun. Tapi kalau aku tahu kehadiranku di keluarga ini, akan memperburuk hubungan Carissa dan Julia, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan mundur dari semua ini.
“Aku minta maaf,” kataku berpaling ke arah Julia yang wajahnya masih merah. “Aku minta maaf kalau kehadiranku di keluarga ini, memperburuk keadaan¾aku¾
“Kamu tidak salah, Jordan,” Reginald menyentuh bahuku saat Carissa meninggalkan kami dengan tatapan pedas. “Aku percaya, kalau kamu adalah orang baik, kamu berbeda dari Pierell.”
“Reginald benar,” dukung Madam Jamella mengelus kepalaku dengan lembut. “Sejak pertama aku melihatmu, aku sudah bisa menilai kalau kamu adalah orang yang baik, Jordan.”
“Bagaimana kalau kita kembali ke pokok pembicaraan kita? Apa kamu masih ingin tahu tentang bakat Sang Pelihat itu, Jordan?”
Aku mengangguk.
“Baiklah-baiklah,” Reginald menepuk-nepuk kedua tangannya dengan anggun. “Kita tadi sudah sampai mana?”
“Tentang tanggal lahirku yang sama dengan tanggal lahir Julia,” aku memberanikan diri untuk menjawabnya.
“Kita sudah melewati pembicaraan itu.” ralat Julia kembali mengambil buku bersampul cokelat dan membukanya. “Tadi, kita sudah sampai pada pembicaraan tentang Jordan yang tidak menyadari tentang bakat Sang Pelihat yang aku tunjukan kepadanya,” Julia tersenyum cemerlang. “Kamu tidak menyadari bahwa tatapan aneh para pengunjung di Jogja Paradise itu¾ karena mereka tidak melihatku.”
“Apa maksudmu, kalau mereka tidak melihatmu, Julia?”
Reginald dan Madam Jamella tertawa pelan bersamaan begitu mereka berdua melihat wajahku yang mengerenyitkan kening.
“Kamu belum paham juga, Jordan?” Reginald berdiri dengan tegap. “Hanya kamu yang bisa melihat Julia saat dia menginginkan untuk tidak terlihat oleh orang lain. Bahkan kami pun tidak bisa melihat Julia jika dia telah berubah menjadi alien bunglon.”
“Aku tidak paham?”
“Julia mempunyai bakat untuk tidak menampakan dirinya kepada orang lain, Jordan,” terang Madam Jamella lembut. “Dia bisa menghilang.”
Aku berpaling ke arah Julia yang pura-pura sibuk membaca buku. Jadi inilah bakat Sang Pelihat yang ada padaku.
“Jadi¾” Aku nyengir ke arah Julia yang mencoba menahan tawa atas apa yang telah dia lakukan padaku. “Mereka mengira aku adalah orang tidak waras karena berbicara sendiri di kafe itu?”
Julia hanya tersenyum.
Madam Jamella dan Reginald tertawa renyah mendengar hal itu.
“Julia sampai depresi selama beberapa hari ketika mengetahui bahwa bakat yang ada padanya tidak berpengaruh untukmu, Jordan,” Madam Jamella mengerling ke arah Julia yang wajahnya bersemu merah jambu. “Selama ratusan tahun ini, baru kali ini seorang manusia biasa bisa mengalahkan bakat bunglon yang dimiliki Julia. Dia benar-benar merasa tertekan sejak itu.”
“Itu benar,” dukung Reginald saat Julia menyembunyikan wajahnya di balik buku yang sedang dia pegang. “Selama ratusan tahun, baru kali ini aku melihat seorang alien menjadi galau karena seorang manusia.”
“Kalian berlebihan,” gerutu Julia mengintip dari balik buku. “Aku tidak separah itu, Jordan. Kembali ke cerita,” Julia menutup bukunya dan memandangku dengan tatapan malaikatnya. “Kamu sudah mengetahui tentang bakat Sang Pelihat yang ada padamu, Jordan?”
Aku mengangguk dengan antusias mendengar penjelasan bakat Sang Pelihat ini. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kelainan yang ada pada tubuhku adalah sebuah bakat yang hanya satu-satunya ada di dunia ini. Aku bisa melihat keberadaan alien, bahkan alien yang tidak ingin diketahui keberadaannya, aku bisa melihatnya. Sungguh menyenangkan, kalau bakat yang aku miliki mampu menarik hati Julia.
“Apa benar kalau bakat yang ada padaku ini adalah bakat satu-satunya yang ada di dunia?” tanyaku ingin memastikan sendiri dari mulut Reginald. “Maksudku, bisa saja kan, masih ada Sang Pelihat-Sang Pelihat lain yang bertebaran di dunia ini. Bahkan menurut rumor yang beredar bahwa ada beberapa organisasi rahasia yang bekerja sama dengan alien?”
“Itu adalah salah satu hukum alien yang wajib kami rahasiakan, Jordan,” jawab Reginald untuk pertama kalinya suaranya terasa berat.
“Alien mempunyai hukum?” tanyaku berpaling ke arah Reginald. “Sulit dipercaya.”
“Seperti kebanyakan mahluk-mahluk supranatural yang lainnya,” Madam Jamella beranjak dari sofa yang terlihat melayang itu dan bergeser ke sebelah Julia. “Seperti halnya kisah vampir dan penyihir. Alien juga mempunyai hukum yang harus dipatuhi.”
Julia mengangguk pelan mendukung ucapan Madam Jamella tentang hukum alien. Sedangkan Reginald memandangku dengan tatapan aneh.
“Hukum alien dibuat untuk merahasiakan keberadaan bangsa kami,” Reginald berjalan hilir mudik dengan gusar. “Hukum alien mengatur segala macam batasan-batasan yang harus kami lakukan. Seperti, kami dilarang menampakan jati diri di depan manusia ataupun aturan-aturan yang mengatur tentang tata cara hidup berdampingan dengan manusia tanpa manusia menyadari keberadaan bangsa kami.”
“Kemari, Jordan,” Reginald melambaikan tangannya ke arahku ketika dia telah berada di sebelah lukisan silsilah keluarga Matthew. Setidaknya ada sepuluh lukisan wajah malaikat yang ada di kanvas raksasa itu.
“Ini Rudolf Matthew,” terang Reginald menunjuk sebuah lukisan lelaki berambut putih berkilau yang telapak tangannya tampak bersinar. “Dia adalah salah satu keluarga Matthew yang sangat bijaksana dan cerdas,” Reginald berpaling ke arahku dan kembali melanjutkan menunjuk sebuah lukisan wanita cantik yang juga berambut putih berkilau dengan mata biru cemerlang. “Sedangkan dia Pamella, alien jenis Nordics yang menjadi pendamping Rudolf.”
Aku tidak tahu harus berkata apa saat Reginald memperkenalkan mereka kepadaku. Aku hanya ingin mengetahui siapa lagi sosok-sosok malaikat yang ada di lukisan itu.
“Lelaki berambut pirang ini Arthur,” Madam Jamella menunjuk wajah malaikat lain yang berambut sama dengannya. “Sedangkan wanita di sebelahnya ini Cassandra.”
“Mereka berpasangan,” lanjut Julia sebelum aku menanyakan tentang hubungan antara Arthur dan Cassandra. “Sama seperti halnya Rudolf dan Pamella.”
“Aku sudah menebaknya,” kataku menunjuk lukisan wajah Reginald dan Madam Jamella. “Mereka semua berpasangan seperti halnya kalian berdua kan?”
Reginald tersenyum menyambar pinggang Madam Jamella dan mencium keningnya dengan lembut.
“Siapa dia?” tanyaku menunjuk sebuah wajah malaikat lain yang berada di antara lukisan Carissa, Laurent dan Julia.
“Dia Samantha,” Julia lah yang menjawab dengan suara pedih. “Dia saudariku yang mengkhianati keluarga Matthew hanya karena ingin bergabung dengan Victor dan Hector.”
“Siapa mereka?” aku berpaling ke arah Julia yang wajahnya berubah merana. “Siapa Victor dan Hector itu?”
“Mereka klan Rasputin,” jawab Reginald. “Klan Rasputin adalah keluarga tertinggi yang mengatur segala hukum alien. Mereka sangat kuat dan tegas dalam mengatur hukum alien, tidak ada kesempatan kedua setiap kali bangsa alien melakukan kesalahan. Kami semua tunduk dan patuh pada klan Rasputin.”
“Klan Rasputin adalah dalang dari semua penculikan manusia dan berbagai kasus aneh yang menimpa mahluk-mahluk bumi, Jordan,” kata Julia dengan wajah malaikatnya yang berubah mendung. “Apa kamu pernah dengar tentang kisah tragis yang dikenal dengan insiden Dyatlov Pass? Tentang kematian sembilan pendaki di pegunungan Ural di tahun 1959?”
Aku menggeleng. “Aku pernah mendengar beberapa kisah tentang penculikan yang konon dilakukan alien,” kataku langsung teringat dengan Maykel. “Hanya saja tentang insiden Ditlon Pass, aku belum pernah mendengarnya.”
“Insiden Dyatlov Pass, Jordan,” ralat Reginald kembali duduk dengan wajah yang tidak kalah kalut dari Madam Jamella. “Itu mungkin insiden paling mengerikan yang terjadi pada para backpaper, dan hanya segelintir orang yang mengetahui akan tragedi ini.” Reginald terdiam seolah terlihat sangat berat untuk menceritakan hal ini. “Aku tahu, mungkin pandanganmu tentang keluargaku bakal berubah begitu mendengar kisah tragis ini.”
“Apa maksudnya?” tanyaku berpaling ke arah Julia yang menundukan kepalanya. “Apa pun yang aku dengar tentang tragedi Dyatlov Pass, tidak akan pernah mengubah pandanganku tentang keluarga Matthew, Reginald. Aku percaya, jika keluarga Matthew adalah jenis alien yang baik. Aku sudah baca tentang keluarga Nordics dari berbagai sumber. Aku tidak pernah mendengar tentang kejahatan yang dilakukan jenis alien Nordics.”
Reginald tersenyum lemah mendengarnya. “Julia benar tentangmu, kamu memang manusia yang baik.”
“Aku dididik dengan benar.”
Reginald tertawa lemah sebelum melanjutkan ceritanya. “Tragedi yang menyerang sembilan pendaki itu adalah salah satu campur tangan klan Rasputin,” suara Reginald kembali terdengar pedih. “Rasputin memang terkadang membunuh dan menyiksa manusia hanya untuk sebuah kesenangan dan penelitian yang dilakukan alien.”
“Mereka membunuh manusia?” tanyaku bergidik membayangkan hal itu. “Aku pikir mereka hanya sekadar melakukan penculikan untuk penelitian.”
“Ada kalanya para alien juga membunuh manusia untuk mengambil beberapa bagian tubuh manusia yang diculiknya,” suara Madam Jamella bergetar mengatakan hal ini. “Seperti yang terjadi dengan para pendaki itu, ada mayat seorang pendaki yang lidahnya telah hilang, ada pula beberapa pendaki yang mendapatkan luka dalam seperti patah tulang dada dan kerusakan tengkorak.”
“Banyak spekulasi yang beredar mengenai kasus ini,” lanjut Reginald. “Para peneliti menyatakan bahwa kematian sembilan pendaki itu dikarenakan hipotermia, sedangkan tentang seorang pendaki yang lidahnya telah hilang, para peneliti menyimpulkan bahwa mereka telah diserang oleh kelompok adat Mansi karena telah melanggar perbatasan tanah mereka.”
“Apa tidak ada yang tahu bahwa semua ini campur tangan alien?” tanyaku merinding membayangkan pembunuhan yang dilakukan Rasputin.
“Manusia lebih memercayai sesuatu yang bersifat rasional, Jordan. Mereka tidak memercayai bahwa semua kejadian mengerikan ini adalah campur tangan alien.”
“Ada sebagian dari mereka yang sebenarnya curiga bahwa semua ini adalah perbuatan alien, Joe,” Julia memegang lenganku. “Aku tahu sebagian dari mereka memang melihat cahaya orange di langit malam waktu terjadi insiden itu. Bahkan salah satu keluarga korban mengatakan bahwa kulit mayat itu berubah warna menjadi cokelat orange.”
“Selain itu, tim forensik yang memeriksa mayat-mayat itu juga menemukan beberapa kejanggalan,” lanjut Reginald. “Tim forensik menemukan pakaian mereka telah terkontaminasi radioaktif dalam dosis tinggi yang menunjukan bahwa luka-luka fatal mereka bukan diakibatkan oleh pukulan benda tumpul.”
..
..
Bagi yang penasaran dengan kelanjutannya. Silakan menabung dulu ya... hehehe..

QUANTUM BAB 1










   
QUANTUM









BY
RAGIEL JEPE











EPISODE 1



Layar hologram menampilkan beberapa manusia berbaju kuning yang sedang melambai-lambaikan tangan ke arah kamera. Wajah mereka terlihat sangat ceria, seorang lelaki berambut ikal beberapa kali tersenyum ketika menyadari kamera sedang menyorot ke arahnya. Begitu juga dengan seorang wanita berbibir tebal, dia tak henti-hentinya melompat kegirangan begitu namanya dipanggil oleh seorang wanita berkacamata.
Wanita berkacamata itu mulai mengabsen satu persatu orang yang ada di sebuah ruangan dikelilingi kaca itu. Dia mencoba mencocokan dengan daftar nama yang ada catatannya. Beberapa manusia berseragam putih masuk untuk mengecek apakah mereka layak untuk mendapat giliran kali ini. Mereka adalah para dokter yang akan mengecek kelayakan manusia-manusia berbaju kuning yang biasa disebut dengan Quantum.
“Ross.” Wanita berkacamata itu memanggil salah satu dari para Quantum. Dan tak berapa lama kemudian seorang wanita berjidat lebar maju ke hadapan wanita berkacamata itu. “Periksa dia,” katanya berpaling ke arah para dokter.
“Ikuti aku.” Kata salah satu dari dokter berrahang persegi itu kepada wanita yang bernama Ross. Ross mengangguk dengan wajah ceria, dia mengikuti sang dokter ke sebuah ruangan yang penuh dengan peralatan medis yang canggih, sang dokter mulai memeriksa tubuh Ross, mengecek sampel darah hingga kondisi mata.
“Semuanya oke,” kata dokter itu tanpa ekspresi. “Kamu kembali bersama yang lain.”
Ross mengangguk senang, dia kembali bergabung bersama para Quantum yang lain.
“Oke semuanya sudah siap?” Wanita itu kembali berseru kepada Quantum yang terlihat sangat bersemangat dengan apa yang akan mereka lakukan. “Dua menit lagi kita berangkat.”
“Siap!” Jawab mereka serempak. Wanita itu kembali mencatat sesuatu di notesnya. Dia menekan sebuah panel di dinding kaca, memunculkan sebuah kapsul besar untuk menampung Quantum. Setelah semua Quantum bersiap untuk melakukan tur itu. Wanita itu kembali menekan panel, dan tak berapa lama kemudian kapsul itu meluncur ke bawah, menyisakan sebuah pekikan kesenangan menanti mereka di sebuah tempat nun jauh di sana.
Setelah itu layar langsung padam.
Anak laki-laki itu menelan ludah begitu melihat tayangan  di layar. Berbagai macam pertanyaan meledak-ledak di dalam kepala, begitu menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dengan semua ini. Pertama, tentang kenapa dia tidak bisa mengingat beberapa kenangan selain nama dan usianya. Kedua, tentang beberapa dokter nyaris tanpa ekspresi itu, ketiga tentang alasan kenapa dia bisa ada di tempat ini.
Namaku Eric, usiaku delapan belas tahun. Hanya dua kalimat itulah yang terus bergaung di dalam kepalanya, walau sekilas memang dia bisa melihat beberapa kenangan berkelebat di dalam kepala, tentang bunga bugenvil, gubuk, hutan, dan domba. Namun, semakin dia mencoba menguatkan untuk mengingat semua memori itu, kenangan itu semakin melebur begitu saja. Membuatnya frustasi, seperti menggaruk rasa gatal di dalam kulit.
Ruangan tempat dia sekarang berada merupakan sebuah kamar berukuran enam meter persegi, terdapat dua buah ranjang dengan kasur yang empuk dan bantal-bantal gemuk. Di ruangan inilah biasanya anak laki laki itu tidur dan bangun pada paginya sebelum melakukan berbagai macam kegiatan yang dilakukan bersama teman sekamar bernama Zid.
Dia mencoba mengingat kejadian tiga hari yang lalu, ketika terbangun dan mendapati sudah berada di tempat aneh ini. Saat itu, Miss Cleo¾dia adalah wanita berkacamata yang dilihat di layar tadi, mengatakan bahwa dia sudah berada di Roxie. Namun ketika dia bertanya apa itu Roxie, Miss Cleo hanya menggeleng dan membawanya ke sebuah ruangan medis dengan beberapa dokter tanpa ekspresi.
Setelah menjalani beberapa tes kesehatan, mengecek golongan darah, mengecek keadaan ginjal dan jantung, Miss Cleo kembali membawanya ke ruangan ini, dan mengatakan dengan suaranya yang angkuh bahwa seluruh kondisi organ tubuhnya bagus. Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan tentang apa itu Roxie.
Sampai ketika Eric bertemu dengan Zid, teman sekamarnya. Dia seorang remaja berambut keriting dengan tatapan matanya yang sayu. Zid menceritakan sejauh mana dia tahu tentang Roxie dan Quantum. Dia juga sama tidak mengertinya dengan Eric, tentang alasan kenapa mereka bisa berada di sini, tentang memori masa lalu yang hilang. Bahkan Zid lebih parah dalam kehilangan memori, jika Eric masih bisa mengingat nama dan usianya, Zid sama sekali tidak bisa mengingatnya, nama Zid diberikan Miss Cleo, sedangkan masalah usia, Zid hanya bisa menebak bahwa mungkin dia berusia sembilan belas tahun, lebih tua satu tahun dari Eric.
Menurut penjelasan Zid, Roxie adalah sebuah kota maju bekas reruntuhan sebuah negera yang dulunya bernama Indonesia. Konon Indonesia hancur karena adanya perang saudara, perseturuan antara dua kubu yang saling berebut kekuasaan, ketamakan manusia akan keinginannya untuk berkuasa mencuat adanya perang itu. Perang nuklir membinasakan manusia dengan ketamakan mereka. Dan dari sekian banyak kota yang dulu ada di Indonesia, Roxie-lah satu-satunya kota yang masih bisa bertahan dari kepunahan.
“Lalu apa itu Quantum?”
“Quantum adalah sebutan bagi mereka-mereka yang terpilih untuk melakukan sebuah tur?” kata Zid menyisir rambut ikalnya dengan tangan. “Tapi tentang kebenarannya aku tidak pernah tahu.”
“Tur apa?”
“Tur untuk melihat sisa-sisa kehidupan di masa lampau,” jawab Zid dengan suara dalam. “Menurut kabar yang beredar, masih ada beberapa pulau yang masih cukup terjaga keasriannya sampai saat ini, namun pulau itu terletak sangat jauh dari Roxie. Masih menurut cerita yang aku dengar dari Rosmeta, kamu tahu dia kan tukang masak di tempat ini?” Eric mengangguk mendengarnya, berharap Zid kembali menceritakan tentang tur itu. “Menurut Rosmeta, tempat itu sangat indah. Sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan.”
Begitulah percakapan pertama Eric dengan Zid, dia menceritakan beberapa cerita yang dia tahu tentang Roxie dan Quantum. Tentang pulau di luar sana yang konon katanya masih menyisakan jejak-jejak kehidupan masa lampau. Jujur, Eric sebenarnya juga ingin tahu seperti apa keadaan Indonesia di masa lampau. Mengingat di kota ini, hanya ada bangunan-bangunan tinggi yang mencakari langit dengan segala kecanggihannya.
Pintu menggeser terbuka, Miss Cleo datang dengan wajah angkuhnya, kacamata bingkai kucing menghiasi mata hitam kumbangnya. Dia menekan beberapa tombol panel di dinding, sebuah sinar hijau menyorot tubuh Eric, menciptakan sebuah diagram di layar, dia menandai tepat di mana jantung Eric berada. Rasanya seperti ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh begitu Miss Cleo menekan diagram tubunya dan memasukan sebuah garis kecil seukuran jarum.
Setelah Miss Cleo selesai melakukan pengecekan tubuh, dia menyuruh Eric untuk bergabung dengan yang lain. Kejadian yang terjadi kemarin tampaknya masih sangat teringat di ingatan Miss Cleo, ketika Eric menghajar seorang yang sangat sok bernama Hendrik.
“Waktunya sarapan,” kata Miss Cleo dengan suara angkuh. “Jika kamu melakukan hal bodoh seperti kemarin. Aku tidak sungkan-sungkan mengurungmu di Rumah Tahanan, Eric.”
“Dia menghina temanku Miss,” jawab Eric cepat.
“Apa pun itu, berkelahi bukanlah hal yang diperbolehkan di Roxie.”
Eric hanya diam mendengarnya. Bosan jika harus berdebat dengan Miss Cleo mengenai peraturan di tempat ini.
Eric mengikuti Miss Cleo menuju sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk sarapan. Ruangan ini luas dengan kursi dan meja yang memanjang beberapa deret. Ruangan ini juga dilengkapi dengan beberapa kamera pengawas.
Zid melambai ke arahnya ketika dia berjalan ke arah mejanya dengan nampan berisi makanan berupa bubur dan sup daging kelinci. Beberapa orang yang dilewati memandang sinis ke arah Eric. Mungkin mereka masih teringat dengan apa yang dilakukan dengan Hendrik kemarin.
“Halo Eric,” sapa Zid terlihat sangat lahap menyantap sup daging kelinci. Dia duduk sendirian di meja makan itu. Sudah dua hari Eric berada di tempat ini, dan dia tahu bahwa tidak ada satu pun penghuni Roxie yang menyukai Zid. Entah karena rambut keritingnya, atau karena mata sayunya. Tapi yang jelas Zid adalah anak yang cukup menyenangkan.
Eric meletakan mampan berisi bubur dan sup daging kelinci itu di atas meja. Bisik-bisik seperti desis api bergaung di belakang. Eric yakin peristiwa yang terjadi kemarin dengan Hendrik tidak mudah untuk mereka lupakan.
“Kamu berhasil mematahkan hidungnya,” kata Zid terus menyantap buburnya hingga tandas. “Kamu tahu, selama hampir satu tahun aku tinggal di tempat ini, baru kamu yang berani melawan Hendrik. Aku curiga jika kamu dulunya adalah seorang petarung.”
Eric mengangkat bahu sebagai jawaban. Berusaha menelan bubur buatan Rosmeta yang sedikit asam. Tapi harus diakui sup daging kelinci ini memang benar-benar enak.
“Ada kabar apa dalam dua hari kemarin?” tanya Eric ketika dia menghabiskan sup itu tanpa tersisa. “Rasanya aku tidak mendengar berita apa pun ketika aku ditahan, selain tayangan tentang Quantum itu.”
“Tidak ada kabar yang luar biasa kukira,” jawab Zid mengelap mulutnya dengan pergelangan tangan kirinya. “Seperti biasa, mereka selalu melakukan pengecekan tubuh, mencoba apakah kami terlalu makan banyak kolesterol atau kelebihan zat yodium, dan lain sebagainya.”
“Menurutmu apa yang membuat para dokter begitu memperhatikan keadaan organ dalam tubuh kita Zid?” Eric menyingkirkan nampan begitu saja.
Zid menggeleng mendengarnya. “Tentang kepastiannya aku tidak pernah tahu, Eric, mungkin saja ini ada hubungannya dengan para Quantum, mungkin para dokter menginginkan agar keadaan tubuh kita baik-baik saja sebelum terpilih menjadi Quantum dan melakukan tur itu.”
“Aku sebenarnya cukup penasaran tentang tur itu,” bisik Eric. “Apakah tidak ada yang pernah menjelaskan lebih lanjut kepadamu tentang tur itu?”
Zid menggeleng mendengarnya. “Mungkin itu rahasia di Roxie. Tapi entahlah, terkadang aku juga merasa ada beberapa yang janggal dengan sistem pemerintahan kota ini. Tentang alasan kenapa ingatan masa lalu kita hilang.”
“Nah itu dia salah satu keganjilan yang aku rasa di tempat ini,” kata Eric melanjutkan, dan ketika dia mengatakan hal itu, sebuah kenangan tentang domba berkelebat di dalam kepalanya. “Apa memang mereka sengaja melakukan hal itu terhadap kita, menghapus semua kenangan masa lalu kita untuk tujuan sesuatu.”
“Mungkin saja,” jawab Zid acuh. “Tapi siapa yang peduli, mungkin saja para dokter itu yang melakukannya untuk suatu kepentingan.”
“Apa kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini Zid?” tanya Eric semangat. “Tentang alasan kenapa kita bisa ada di tempat ini. Tentang alasan kenapa kenangan masa lalu kita bisa hilang.”
Zid menatap Eric dengan tajam, seolah apa yang  dia katakan terdengar seperti ide gila. “Aku tidak yakin kita bisa melakukan itu.” Katanya pelan. “Hampir semua tempat di sini selalu diawasi oleh kamera.”
“Aku tahu,” kata Eric sebal, mengakui bahwa ucapan Zid benar. “Tapi aku akan tetap mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Tentang alasan kenapa kita bisa berada di sini.”
Zid hanya terdiam mendengarnya.

Sabtu, 09 Januari 2016









Sekapur sirih tentang pembuatan novel MARS..
..
..

Mars adalah novel perdanaku yang diterbitkan secara Indie di Penerbit Lampion. Ide awal pembuatan cerita ini berdasarkan mimpi yang terjadi di awal 2012. Saat itu aku bermimpi bertemu dengan seorang gadis berambut pirang yang ternyata seorang gadis alien. Singkat cerita aku dibawa ke sebuah pesawat berbentuk cakram dan masuk ke sebuah ruangan yang sangat aneh. Namun sebelum mimpi itu selesai, tiba-tiba aku terbangun karena alarm.
..
Setelah mengalami mimpi itu. Seolah ada yang menggelitik di dalam kepala. Rasa penasaran akan mimpi itu terus mengusik hingga entah kenapa membuatku merasa sangat ingin untuk menuliskan kisah si gadis berambut pirang.
..
Pada awalnya aku menuliskan cerita itu di buku tulis. Maklumlah, saat itu belum punya laptop (tidak mampu beli... hehehe) dan aku sama sekali buta dengan dunia literasi. Mulai apa itu POV, EYD dan segala tetek bengeknya. Namun bisa dikatakan secara ajaib, pada 12 Februari 2013 (ingat betul dengan tanggal ini) tiba-tiba ada yang memberiku laptop bekas. Ya, walaupun laptop jadul, setidaknya bisa buat ngetik-ngetik.
...

Singkat cerita aku kemudian memindah semua catatan di buku tulis ke laptop. Dan saat itu aku tidak peduli dengan yang namanya EYD, yang terpenting saat itu adalah segera menyelesaikan cerita itu sehingga unek-unek di kepala yang terasa seperti bom waktu akhirnya tertuangkan ke tulisan. Kalau ditanya bagaimana rasanya, mungkin sangat lega setelah menuliskannya, walaupun aku sadar bahwa tulisan itu masih sangat amburadul.
..
Berikut beberapa fakta yang ada di novel Mars
-
-
1. Jordan
    Nama Jordan aku ambil dari salah satu nama temanku yang sangat berjasa. Dialah orang yang selalu memberikan semangat untuk menuliskan cerita itu. Bisa dikatakan bahwa Jordan adalah tokoh yang benar-benar ada di dunia ini.

2. Julia
    Nama Julia aku ambil dari nama keponakanku yang bernama Yuli. Dia kebetulan lahir di tanggal tujuh bulan tujuh. Yang berkeyakinan bahwa angka tujuh adalah angka keberuntungannya.

Untuk sementara cukup ini dulu yak, soalnya mendadak ngantuk :v