Senin, 25 Juli 2016








ULAR SILUMAN

RAGIEL JP


Sarwin menjerit ketika melihat ular-ular itu mulai merayap ke atas tempat tidurnya, ular-ular itu keluar dari berbagai tempat, dari dalam lemari, dari dalam laci, dari dalam tanah dan dari balik jendela. Ular-ular itu merayap dengan lidahnya yang menjulur dan bercabang, matanya yang merah menyala tampak mengerikan dengan taring yang siap menggigit kepalanya hingga putus.
Sarwin mengambil apa pun yang ada di sebelahnya untuk menghalau ular-ular itu agar tidak mendekat ke arahnya, ia melempar gelas, bantal, vas bunga hingga piring ke arah ular-ular itu, namun, semakin ia berusaha mengusir ular-ular itu, tampaknya ular itu semakin bertambah banyak, ular itu terus memebelah diri seperti bakteri dan lintah, siap menyedot darah dan menyuntikan bisanya yang perlahan-lahan akan menghentikan embusan napasnya.
“Tidaaak!” Sarwin berteriak histeris ketika ular bermata merah itu mulai melilit kakinya, dan ular-ular lain mulai merayap ke tubuhnya, kulit ular itu terasa kasar ketika menyentuh kulitnya. Ular itu sudah melilit leher dan siap memotong lehernya dengan gigi taringnya yang tajam ketika pintu menjeplak terbuka dan seorang wanita berambut kriwil datang menghampirinya.
“Kenapa kamu berteriak malam-malam seperti ini, Mas?” tanya wanita berambut kriwil itu menatap Sarwin. “Tidak tahukah sekarang jam berapa? Jam dua pagi.”
“Ular…” Napas Sarwin memburu ketika ular-ular itu seolah berhenti bergerak. “Ada ular di kamarku, ada ribuan ular.”
“Ular apa?” tanya wanita itu melihat sekeliling kamar suaminya. “Kamu pasti mimpi buruk lagi, tidak ada ular di sini, Mas.”
“Tidak!” Keringat dingin keluar dari kening Sarwin ketika matanya menatap mata merah si ular yang tengah melilit lehernya. “Ular itu banyak sekali, pasti ular siluman, bahkan ada yang sedang melilit leherku.”
Wanita berambut kriwil itu menggelengkan kepalanya. “Tidak ada ular, Mas, itu hanya imajinasimu saja.”
“Aku tidak bohong. Ini bukan imajinasiku, mereka benar benar nyata, ular-ular itu benar-benar ada, mereka sedang menatapku.”
“Tidak ada ular, Mas,” kata istrinya lagi. “Sudah, lebih baik kamu cepat tidur, besok kita ke psikiater lagi.”
“Aku tidak gila!” Sembur Sarwin. “Aku tidak mau ke psikiater, aku hanya perlu orang yang bisa mengusir ular siluman itu.”
“Harus aku katakan berapa kali kalau tidak ada ular, Mas. Sudah malam, aku harus menani Vani, anak kita tampaknya masih terpukul atas hilangnya Rosi—teman baiknya, anak itu menghilang dan sampai sekarang belum kembali.”
Sarwin terdiam. Tidak ada gunanya menceritakan tentang ular-ular siluman itu kepada istrinya. Karena ia tidak akan pernah percaya.
Setelah istrinya keluar dari dalam kamar, Sarwin kembali ketakutan ketika ular-ular yang tadi diam ketika ada istrinya kembali menggeliat dan kembali merayap ke atas tempat tidurnya. Semakin banyak ular-ular yang melilit kakinya dan juga lehernya, membuat Sarwin merasa sesak napas, dan semuanya berubah menjadi gelap ketika seekor ular berukuran lumayan besar melilit lehernya dengan sangat erat.

***

Sarwin terbangun ketika ada yang menggoyang-goyangkan bahunya dengan cukup keras. Dadanya masih terasa memburu dengan napas yang sedikit ngos-ngosan. Ia membuka matanya secara perlahan, takut kalau ular-ular itu masih melilit tubuhnya. Namun begitu ia membuka mata, ia melihat Sakiah—Istrinya tengah menatapnya.
“Bangun juga akhirnya,” katanya. “Kenapa kamu tidur di lantai, Mas?”
Sarwin hanya terdiam, baru sadar bahwa sekarang ia berada di lantai dengan selimut yang hampir melilit seluruh tubuhnya. “Aku tidak apa-apa.”
“Cepat mandi, Mas, setelah itu sarapan, kita harus pergi ke psikiater untuk memeriksamu.”
“Tapi aku tidak gila.”
“Psikiater bukan untuk orang gila, Mas,” kata istrinya lagi. “Siapa tahu dengan kamu datang ke sana bisa menyembuhkan kegelisahanmu akan ular-ular di dalam kepalamu itu.”
“Mereka tidak ada di kepalaku, mereka benar-benar ada di dalam kamarku.” Protes Sarwin.
“Tapi aku tidak pernah melihat ular-ular itu, Mas. Sudahlah sebaiknya kamu cepat mandi. Aku tunggu di bawah lima belas menit lagi.”
Sarwin hanya teridam. Matanya awas melihat keadaan sekeliling. Takut kalau ular siluman itu masih ada di dalam kamarnya. Aman, pikir Sarwin. Tampaknya ular-ular siluman itu hanya menerornya ketika malam hari. Istrinya benar, tidak ada salahnya mencoba mendatangi psikiater, siapa tahu saja psikiater itu bisa mengusir ular-ular siluman yang terus menerornya.
Ular-ular siluman itu mulai menerornya sejak dua hari yang lalu, seperti biasa, ketika ia pulang dalam keadaan mabuk karena minuman keras, Sarwin langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dan secara mengejutkan seekor ular keluar dari balik bantal dan melilit tangannya. Semula Sarwin tak sadar akan kedatangan ular itu, namun ketika seekor ular berwarna hitam kembali melilit tangannya, ia mulai ketakutan, bahkan untuk berteriak memanggil istrinya pun Sarwin tak sanggup. Selama semalaman suntuk Sarwin diteror ketakutan luar biasa ketika ular-ular itu semakin banyak memenuhi kamarnya.
Dan sejak saat itulah setiap malam ia selalu diteror oleh ular-ular siluman.

Setelah Sarwin dan istrinya menemui psikiater, diperoleh hasil yang kemungkinan besar Sarwin hanya phobia  dengan ular dan itu bisa dicegah dengan tidak melihat gambar ataupun video yang menayangkan binatang melata itu. Namun Sarwin sadar, bahwa teror ular siluman itu bukanlah karena dia phobia dengan binatang itu. Binatang itu adalah ular siluman yang akan terus menerornya.
Sakiah tampaknya begitu mengindahkan ucapan psikiater mengenai penyebab Sarwin selalu mengatakan diteror ular yang katanya siluman itu. Sakiah membuang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan ular, mulai dari poster ular yang ada di kamar anaknya hingga dvd film yang berhubungan dengan ular. Bahkan Sakiah memerintahkan kepada kedua pembantunya untuk menyingkirkan segala sesuatu yang menyerupai ular, misalnya mainan ular plastik anaknya, tali, hingga selang air harus disimpan ditempat yang aman.
Malam ketiga Sarwin kembali didatangi ular-ular siluman itu. Bahkan ukuran ular kini sudah bertambah sangat besar, seekor ular berkepala dua seukuran batang pisang dengan matanya yang merah menatap Sarwin dengan bengis. Makhluk itu sudah membuka mulutnya untuk menelan Sarwin ketika lelaki itu kembali menjerit dan berlari keluar kamar hingga menabrak istrinya yang sedang membawakan makan malam untuknya.
“Ada apa, Mas?” tanya istrinya cemas. “Kenapa kamu berteriak lagi?”
Sarwin hanya terdiam gemetar. Tatapan ular besar itu begitu mengerikan. Keringat dingin sebesar jagung kembali muncul di keningnya. Wajah Sarwin sangat pucat ketika melihat ular itu merayap mendekatinya.
“Ada apa, Mas?” ulang istrinya mulai cemas karena tubuh Sarwin gemetar ketakutan.
Sarwin hanya terdiam. Matanya awas menatap si ular besar yang tengah membuka mulutnya lebar-lebar. Bersiap untuk menelan dirinya bulat-bulat.
“TIDAAAK!” Sarwin menjerit histeris dan kembali pingsan.

***

Ular-ular itu kembali muncul dari balik selimut dan membelah dirinya menjadi puluhan, mula-mula hanya ada satu ular, namun sedetik kemudian ular itu membelah menjadi sepuluh, kemudian membelah lagi menjadi seratus dan binatang melata itu berdiri dengan kompak menatap mata Sarwin. Mata ular yang merah seolah menyala dalam gelap, desisan suaranya membuat bulu kuduk Sarwin meremang.
Makhluk itu mulai membelit tangannya lagi, kemudian lehernya, bahkan ada pula yang masuk ke dalam bajunya. Sarwin hendak berteriak minta tolong kepada dokter yang tadi baru saja memeriksanya. Namun seekor ular melilit mulutnya, hingga ia tidak bisa berteriak.
Seekor ular yang berukuran sebesar pohon pisang kembali muncul dari balik lemari. Ular itu mendesis-desis seraya menjulurkan lidahnya yang bercabang. Kulitnya yang berwarna hitam mengkilat tampak mengerikan. Ular itu kembali menegakan badannya, hingga sejajar dengan Sarwin. Mata merah si ular siluman menatap lurus ke arah Sarwin.
Sekilas Sarwin tampak familiar dengan mata ular yang tengah menatapnya. Si ular besar kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Sarwin dan mulai melilit tubuhnya, setelah ular besar itu melilit tubuh Sarwin, ratusan ular-ular yang lain ikut menaiki dan mulai merayapi tubuh Sarwin, beberapa ekor ular masuk ke dalam tubuh Sarwin melalui lobang hidung, beberapa ekor lagi masuk ke dalam tubuhnya lewat lobang telinga dan mulutnya. Sedangkan si ular besar perlahan-lahan mengendurkan lilitannya di tubuh Sarwin dan mulai merayap ke dalam selimut dan masuk ke dalam celananya.
Sarwin menjerit kesakitan ketika sesuatu yang kasar dan bergerak mulai masuk ke dalam lubang kemaluannya. Ia menjerir-jerit merasakan perih yang luar biasa ketika ular siluman itu perlahan-lahan memasukinya, dan kenangan Sarwin kembali melompat mundur—Ia kembali teringat dengan si mata ular. Itu adalah mata milik seorang gadis yang menjadi teman anaknya, gadis yang diperkosanya dan mayatnya dibuang ke dalam hutan yang konon hutan itu merupakan sarang ular.

Jumat, 08 Juli 2016

CERPEN "INTELIGENSI LUMUT" DIMUAT DI FLORES SASTRA EDISI 8 JULI 2016









INTELIGENSI LUMUT

RAGIEL JP



Banyak yang tidak tahu bahwa kombinasi warna merah bunga mawar, hijau dari lumut dan kuning dari bunga matahari bisa menciptakan aura yang begitu menyejukan. Selama ini kebanyakan orang selalu mengaplikasikan warna biru laut dan langit untuk menggambarkan ketenangan. Padahal masih banyak jutaan warna-warna alam yang bisa menciptakan kombinasi ajaib yang mampu menciptakan ketenangan.
Seperti yang ada di hadapanku sekarang, di depan rumah, aku sedang mengamati lumut yang tumbuh di pinggiran kolam ikan, dengan bunga matahari dan mawar sebagai hiasan sekeliling taman.
Namaku Hara, usiaku lima belas tahun. Aku menyukai alam dan segala macam kekayaan hayati yang hidup di dalam Gunung Singgalang. Dari segala macam tanaman, aku sangat menyukai lumut, tumbuhan yang termasuk dalam golongan tingkat rendah dalam divisi Bryropyta, lumut bisa dikatakan bukan hanya sekedar tanaman biasa, lumut mempunyai sebuah inteligensi yang tidak dimiliki kebanyakan tumbuhan lain.
“Hara…” Suara berat Ayah mengalihkan perhatianku dari lumut yang tumbuh di pinggiran kolam. “Apa yang sedang kamu lakukan? Ayo masuk, sebentar lagi hujan.”
Aku berpaling ke arah Ayah. “Sebentar lagi, Yah.”
“Kalau sudah bosan melihat lumut, cepat masuk, Nak, Ayah tidak ingin kamu sakit kalau kena air hujan.”
Aku mengangguk, masih terlalu asyik dengan lumut yang terasa licin di genggaman tanganku. Begitu juga dengan ikan-ikan yang ada di dalam kolam itu, ikan-ikan itu langsung memakan lumut yang sedang kupegang ketika aku mencelupkan tanganku ke dalam kolam.
“Tidak heran kenapa kamu sangat menyukai lumut,” celetuk sebuah suara ringan di belakangku. “Inteligensi lumut. Itu istilah yang kamu pakai untuk mengaplikasikan kehebatan lumut kan, Hara? Lumut memang tanaman yang ajaib ya, walau ia tidak semenarik bunga mawar.”
“Lumut memang tumbuhan yang menakjubkan, selain sebagai nenek moyang segala tumbuhan di bumi, lumut juga bisa dikatakan sebagai tumbuhan pelopor kan? Coba kamu bayangkan, Kak, apa jadinya jika di bumi ini tidak ada lumut?”
“Tidak akan ada kehidupan mungkin,” jawab Naya terkekeh. “Ayo masuk, Hara, sebentar lagi hujan.”
Rintik hujan sudah mulai turun dari langit mendung, rintik hujan yang jatuh ke kolam mampu menciptakan sebuah pemandangan yang menakjubkan. “Bagaimana hasilnya, Kak, apa Kak Naya berhasil membujuk penduduk untuk menentang kelakuan para pendatang itu?”
Naya menggeleng. “Aku tidak berhasil mengajak warga untuk menghentikan apa yang dilakukan para pendatang itu, Hara. Semua warga di sini seolah tidak peduli jika alam mereka akan dirusak, bahkan yang aku dengar, kawasan Hutan Lumut di puncak Gunung Singgalang pun akan dijadikan pabrik gula pasir.”
“Ini tidak bisa dibiarkan terus, Kak,” kataku geram dengan ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab itu. “Kita harus mengatakan pada penduduk bahwa tidak ada yang boleh merusak kawasan Gunung Singgalang, sebagian besar kehidupan kita tergantung pada hutan itu. Akan terjadi bencana longsor jika hutan itu digunduli. Pasti Telaga Dewi akan tercemar jika di tempat itu benar akan dibuat pabrik.”
“Itulah yang aku khawatirkan, Hara,” jawab Naya suaranya terdengar pedih. “Telaga itu adalah sumber air bagi warga, bayangkan apa dampaknya bagi spesies binatang yang hidup di hutan itu”
Aku menelan ludah dengan getir, membayangkan hal paling buruk yang akan terjadi dengan kelangsungan hidup Hutan Singgalang. Jika tidak segera ditindaklanjuti, pasti lambat laun hutan itu akan rusak.
“Apa Ayah tidak bisa mencoba menghentikan para pendatang itu, Kak?” Tanyaku pelan. “Mungkin saja pendapat ayah lebih didengar Kepala Desa.”
“Percuma, Hara,” Naya terlihat putus asa mengatakannya. “Kamu tentunya tahu, aku dan Ayah sudah berkali-kali mencoba menggalang suara untuk melawan para pendatang itu. Tapi apa yang terjadi? Mereka lebih rela hutan itu dibuat pabrik. Para pendatang berperut buncit itu mengiming-imingi warga dengan uang yang banyak.”
Aku kembali menelan ludah dengan getir. Merasakan luapan kemarahan dan ketidakberdayaan membayangkan kerusakan hutan. Lumut, mata air yang bersih, bunga edelweis, pakis, mungkin sepuluh tahun lagi tumbuhan-tumbuhan itu hanya tinggal dongeng yang diceritakan orangtua kepadanya anaknya menjelang tidur.
“Kita harus melakukan sesuatu, Kak, kita tidak bisa membiarkan mereka membangun pabrik di Gunung Singgalang, kita tidak boleh membiarkan penduduk yang akan menanggung semua ini, alam tidak pernah tidur, ia pasti akan menunjukan kemurkaannya kepada siapa pun yang mengusiknya, kita tidak bisa membiarkan penduduk yang tidak bersalah menerimanya.”
“Kamu benar, Hara,” dukung Naya duduk di sebelahku¾ikut mengamati hujan lewat jendela. “Tapi apa yang harus kita lakukan? Suara dua gadis biasa tidaklah mampu menentang kuasa para pendatang itu, kita tidak bisa melakukan apa-apa jika uang sudah berbicara.”
***
 Ayah mengajakku dan Naya untuk menggalang suara guna menentang pembangunan itu. Dari pintu ke pintu Ayah mencoba meyakinkan warga dampak buruk apabila Gunung Singgalang dijadikan pabrik.
“Cukup, Hamdan!” Bentak Pak Junro, sang pemilik rumah. “Keputusan kami sudah bulat, orang-orang kota itu membayar kita dengan mahal, ini kesempatan kita mendapatkan uang banyak, kamu harusnya senang dengan pembangunan pabrik itu.”
“Tapi Gunung Singgalang akan rusak, Paman,” kataku ikut menimpali. “Kita tidak boleh membiarkan hal itu terjadi, hutan akan tercemar jika pabrik itu dibangun di sana.”
“Tahu apa kalian bocah ingusan?!” Seru Pak Junro emosi. “Pergi kalian dari sini, aku tidak butuh nasehat dari bocah-bocah ingusan seperti kalian.”
“Tapi¾” Kata Ayah lagi. “Kita tidak boleh¾
“PERGI!” Bentak Pak Junro menggebrak mejanya.
Kami memutuskan pulang ke rumah, dan sebelum kami sampai di rumah, aku melihat dengan perasaan sedih Gunung Singgalang yang sebentar lagi mungkin akan kehilangan pesonanya.
***
“Bakar!” Teriak seorang lelaki berbadan tegap mengangkat tinggi-tinggi obor yang sedang dipegangnya. “Bakar rumah orang tidak tahu diri itu… Bakar orang tidak tahu berterima kasih itu… Bakar… Bakar rumahnya.”
Wajah orang-orang yang berdiri di depan rumahku berkilat seperti iblis ketika obor-obor itu menyepuh wajah mereka. Seorang laki-laki berbadan tegap terus meneriakan seruan untuk membakar rumahku. Beberapa penduduk yang mendukung pembuatan pabrik pun tampak sangat antusias begitu seorang lelaki berkumis tebal menyiramkan bensin di sekeliling rumahku.
“Tolong jangan bakar rumahku…” Suara Ayah terdengar sangat menyayat ketika lelaki berkumis itu menyiramkan bensin ke lumut hias yang tumbuh di dinding rumahku. “Ini rumah kami satu-satunya, aku mohon jangan kalian bakar rumahku.”
“Diam, bangsat!” Hardik lelaki berbadan tegap melayangkan tinju ke perut Ayah. “Inilah akibat karena kamu terlalu banyak omong. Menentang usaha kami yang memberi wargamu kemakmuran. Kamu seharusnya berterima kasih.” Lelaki berbadan tegap itu kembali meninju perut Ayah. “Lihat ini. Inilah balasan untuk orang tidak tahu diri sepertimu.”
Kejadiannya cepat sekali, api langsung berkobar sangat besar begitu laki-laki berkumis tebal itu melemparkan obor yang dipegangnya, membakar rumah kami, melahap lumut-lumut di dinding seperti monster api yang lapar.
***
Satu tahun kemudian kondisi alam Gunung Singgalang sudah tidak seindah dulu, kedatangan orang-orang dari kota telah mengubah keadaan Gunung Singgalang, beberapa pabrik-pabrik telah didirikan di tempat itu, menyebabkan kerusakan hutan. Limbah pabrik dibuang begitu saja ke dalam hutan, menyebabkan tanah terkontaminasi racun, mata air tidak aman lagi untuk dikonsumsi, hewan dan burung-burung banyak yang mati setelah pabrik-pabrik itu didirikan.
Hutan Lumut hanya tinggal cerita, Telaga Dewi sudah keruh tercemar limbah pabrik, mata air sudah mengering, kawanan burung muo sudah enggan untuk mampir ke hutan, tanah sudah sangat gersang, hutan sudah berubah menjadi gundul. Alam menangis melalui retakan-retakan tanah. Kekeringan melanda desa, bencana longsor dan banjir siap menghadang setiap saat.
“Hara…” Terdengar suara pelan menyentuh pundakku. “Kami minta maaf.”
“Kita harus melakukan sesuatu, Pak,” kataku pada Pak Junro. “Sebelum terjadi hal yang buruk terjadi di desa ini.”
Ide keluargaku untuk mengadakan reboisasi mendapat dukungan penuh dari semua masyarakat. Mereka telah menyadari bahwa merusak alam sama saja dengan bunuh diri. Setiap hari selama beberapa tahun kami terus melakukan penanaman bibit pohon di Gunung Singgalang. Bukan pekerjaan yang mudah memang melakukan reboisasi hutan yang sudah sangat rusak ini. Namun dengan segenap tekad untuk mengembalikan alam, kami bekerja tanpa kenal lelah, hingga setelah bertahun-tahun lamanya, usaha kami membuahkan hasil.
Kemunculan lumut membuatku bahagia. Lumut adalah tanda bahwa alam sudah mulai membaik. Inteligensi lumut sebagai indikator lingkungan sangat berguna dalam pemulihan alam ini. Aku dan Naya mencetuskan metode penanaman dengan bantuan lumut yang kami sebut Bio-Indikator, yaitu dengan membuat klasifikasi habitat.
Gunung Singgalang perlahan kembali hijau. Mata air kembali mengalir di dalam hutan. Telaga kembali jernih. Ribuan ekor benih ikan sudah dilepas di telaga. Beberapa binatang juga sudah kembali ke dalam hutan. Tidak jarang pula aku melihat bunga edelweis kembali tumbuh di antara pohon-pohon pakis. Hutan Lumut sudah kembali menghijau, membentuk sebuah koloni sejauh puluhan kilometer. Udara juga semakin terasa sejuk. Lagi-lagi aku harus mengakui Inteligensi lumut sebagai penyedia oksigen, penyimpanan air dan penyerap polusi hutan. Apa jadinya nasib bumi jika tidak ada lumut? Dan kini, aku juga tahu hubungan antara namaku dengan lumut. Namaku Hara, yang mempunyai arti unsur pembentuk metabolisme tanah, pembentuk kehidupan bumi, sedangkan lumut bisa dikatakan sebagai tumbuhan pelopor, di mana ia bisa tumbuh di mana tumbuhan lain belum bisa tumbuh. Hara dan lumut, sebuah simbiosis mutualisme yang tak terpisahkan.

Minggu, 26 Juni 2016

CERPEN "HALTE" DIMUAT DI MALANG POST EDISI MINGGU 26 JUNI 2016.



HALTE

RAGIEL JP



Lelaki bermata sipit itu merasakan seluruh badannya terasa pegal. Seolah semua persendian di dalam tubuhnya tidak dalam posisi yang tepat. Lehernya terasa sakit dengan kepala bagian belakang terasa berat. Tas kerja yang diselempangkan di pundaknya seolah berubah menjadi seratus kilo, padahal hanya berkas-berkas pekerjaan yang mengisi tas itu.
Rusman—nama lelaki itu kembali melirik arloji di tangan kirinya. Sudah menunjukan pukul delapan malam. Bus yang ditunggunya belum juga datang. Padahal sudah lebih dari satu jam ia menunggu.
Ia meruntuki kesialan-kesialan yang terjadi hari ini. Dimulai dari mesin mobilnya yang tiba-tiba mogok. Taksi yang selalu saja penuh setiap kali ia berusaha menyetopnya. Sebenarnya Rusman bisa saja menyewa ojek online yang sekarang sedang menjamur di semua kota. Tapi ia urungkan, ia mempunyai pengalaman buruk menaiki ojek dan sejak saat itu ia sedikit trauma kalau harus menyewa jasa roda dua itu.
Masih teringat di kepala Rusman, berita yang terjadi lima hari yang lalu. Tentang penemuan sesosok mayat tanpa kepala di halte ini. Dari desas desus yang beredar, bahwa wanita itu adalah seorang pelacur yang dibunuh. Semacam korban Jack The Ripper versi modern.
Kalau mengingat penemuan mayat itu, bulu kuduk Rusman sedikit meremang. Ia selalu membayangkan akan bertemu hantu tanpa kepala yang mengikutinya sampai rumah. Ataupun bertemu kepala yang melayang-layang tanpa tubuh mengikutinya dari belakang.
“Hantu itu tidak ada, Rusman,” ucap Endang setiap kali ia bercerita bahwa ia merasa diikuti sesosok makhluk tak kasat mata. “Hantu hanyalah imajinasi dan manipulasi otak manusia.”
“Tapi banyak yang katanya sudah melihat penampakan hantu macam pocong dan kunthilanak.”
“Apa kamu sudah pernah melihatnya?”
Rusman menggeleng. “Tentu saja aku tidak pernah melihatnya. Bisa pingsan aku kalau melihat makhluk seperti itu.”
Endang tertawa.
“Kalau kamu sendiri bagaimana? Apa kamu percaya kalau hantu itu ada?”
“Seperti yang aku bilang tadi. Aku tidak percaya hantu.”
“Aku sumpahin kamu pulangnya diikuti pocong.”
“Aku tidak takut.”
“Hantunya yang takut kamu mungkin.”
“Itu yang aku takutkan.”
Rusman terbahak.
Endang adalah teman kecil Rusman, mereka selalu bersama-sama dari kecil hingga sekarang. Bahkan mereka kini sudah menjadi sepasang suami istri. Bagi Endang, Rusman adalah sosok suami idaman, ia rajin bekerja dan setia. Begitu juga sebaliknya, bagi Rusman, Endang adalah gambaran seorang istri yang sangat sempurna. Selain memang dia jago memasak, Endang adalah istri, teman dan juga patner yang sangat enak untuk diajak diskusi.
Namun semua itu tinggal kenangan.
Endang hilang bersama ratusan orang yang saat itu sedang dalam perjalanan dari Malaysia. Pesawat yang ditumpanginya mendadak hilang kontak dan sampai sekarang belum ditemukan keberadaannya.
Walau peristiwa naas itu sudah berlalu dua bulan yang lalu, Rusman selalu berharap ada sebuah kejaiban bahwa wanita yang dicintainya itu masih hidup dan akan kembali kepadanya suatu saat nanti. Ia percaya bahwa kekuatan doa yang selalu ia panjatkan setiap malam akan didengar Tuhan. Ia hanya harus yakin bahwa istrinya masih dalam keadaan hidup.
“Kamu terlalu memfrosir diri, Mas,” kata-kata istrinya kembali terngiang di dalam kepalanya. “Sudah malam, istirahatlah, lanjutkan pekerjaan besok lagi.”
“Tidak bisa,” jawab Rusman kembali mengetikan sesuatu di layar laptopnya. “Akan ada presentasi lusa. Aku tidak ingin mengecewakan klien.”
“Tapi ini sudah jam satu pagi,” Endang tak putus asa. “Besok kamu lanjutin lagi, aku tidak ingin kamu sakit, Mas.”
Rusman mengembuskan napas. Badannya terasa lelah luar biasa. “Sepuluh menit lagi,” katanya akhirnya. “Kamu tidurlah dulu.”
“Janji sepuluh menit lagi?”
Rusman mengangguk. “Iya aku janji.”
Endang kemudian mengecup kening suaminya.
***

 Lelaki itu kembali melirik arloji di tangan kirinya. Sudah menunjukan pukul sembilan malam dan bus yang ditunggunya belum juga datang. Ia mengamati keadaan sekeliling, sudah tampak sepi, hanya dirinya yang ada di halte itu.

Embusan angin dingin mengelus lehernya, ia merapatkan kemeja kerjanya, digesek-gesekan kedua tangannya untuk menciptakan panas—setelah itu ia menempelkan kedua tangannya ke pipi.
“Tidak biasanya malam ini begitu dingin…” Gumamnya dalam hati. Karena memang tidak biasanya malam ini begini dingin.
Bus ketiga kembali datang dan ia kembali meruntuki karena itu bukanlah bus yang ditunggunya. Bus ketiga itu berwarna putih kusam bergambar kartun yang dulu sering ditontonnya ketika ia masih kecil. Penumpang di bus itu juga tidak terlalu banyak dan wajah-wajah lelah seperti dirinya hampir memenuhi bus itu.
Seorang wanita berusia sekitar awal tiga puluhan turun dari bus itu dan berjalan melewati Rusman. Ia hanya menatap Rusman dengan tatapan curiga, seolah dirinya adalah seorang yang akan berniat jahat kepadanya. Dan satu menit kemudian bus itu kembali jalan meninggalkan ia dan penumpang yang baru turun dari bus itu.
Perempuan itu berdiri di ujung halte. Ia beberapa kali melirik ke arah Rusman dengan tatapan aneh, seolah melihat dirinya adalah seorang penjahat. Sebenarnya Rusman ingin menyapa perempuan itu, namun segera ia urungkan, ia takut perempuan itu akan berpikiran macam-macam. Ia kembali teringat berita beberapa hari yang lalu, tentang pembunuhan itu. Mungkin saja wanita itu berpikir bahwa ia adalah psikopat gila itu.
Lima menit berlalu dan wanita itu terus mengamatinya dengan tatapan yang membuat Rusman merasa semakin tidak nyaman. Wanita itu menggigit bibirnya dengan cemas, wajahnya juga terlihat sangat pucat. Ia terlihat beberapa kali menekan-nekan ponselnya, mungkin berusaha menghubungi seseorang untuk menjemputnya.
“Cepat jemput aku di halte biasa…” Wanita itu menelepon seseorang. “Aku takut.”
Rusman memalingkan wajahnya dari wanita itu. Takut kalau rasa penasarannya lah yang membuat wanita itu ketakutan. Ia kembali melirik arloji di tangan kanannya dan terus mengumpat kenapa bus yang ditunggunya belum juga datang. Padahal biasanya jam-jam begini bus itu sudah lewat dan membawanya ke rumahnya. Ia sudah membayangkan betapa nyamannya kasur dan bantal yang akan memanjakan badannya.
Sepuluh menit kemudian sebuah motor menghampiri halte tempatnya duduk. Wanita yang di ujung halte melambaikan tangannya ke arah pengendara motor itu.
“Rupanya ia orang yang ditelepon tadi…” Gumam Rusman dalam hati.
Pengendara motor dan wanita itu terlihat sebuah percakapan kecil. Wanita itu berbisik-bisik sesuatu yang tidak bisa didengar Rusman. Sedangkan lelaki pengendara motor itu juga melirik ke arah Rusman. Matanya menyipit dengan awas.
“Sebaiknya kita pergi.” Gumam lelaki itu. “Aku tidak mau berhubungan dengan polisi.”
Wanita itu mengangguk dan bergegas menaiki sepeda motor itu. Setelah wanita itu menaiki motor, mereka berdua langsung melesat pergi meninggalkan Rusman seorang diri.
Demi mendengar ucapan lelaki tadi, muncul tanda tanya besar di dalam hati Rusman, sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan. Kenapa mereka mengatakan kalau mereka tidak mau berhubungan dengan polisi. Apa benar jika mereka menganggapnya sebagai seorang pembunuh, atau mereka melihat bahwa psikopat itu tengah berkeliaran di dekat halte ini dan mencari korban selanjutnya?
Mendadak Rusman merinding membayangkan dirinya bertemu pembunuh itu di halte ini. Walau ia yakin bahwa kematian selalu mengikutinya seperti sebuah bayangan, ia tidak mau mati secara konyol karena dibunuh. Ia hanya ingin mati secara normal, bukan dengan leher yang terputus.
Udara sedingin es kembali mengelus lehernya. Ia kembali merapatkan kemeja kerjanya dan ia merasa lega luar biasa ketika melihat sebuah kendaraan yang ditunggunya akhirnya datang juga. Nomor yang tertera di atas bus itulah yang selama beberapa jam ini ia tunggu.
Ketika bus itu berhenti di halte, Rusman memang menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dengan bus itu. Walau bus itu memang bus jurusan yang biasa ditumpanginya, namun bus itu memiliki bentuk yang sangat aneh. Bus itu berwarna merah menyala dengan aroma yang yang entah kenapa membuatnya tidak nyaman. Selain itu, bus ini juga kosong tanpa ada satupun penumpang di dalamnya, hanya supir yang juga memakai seragam berwarna merah, senada dengan bus yang dikemudiaknya.
Tidak ada pilihan lain bagi Rusman selain menaiki bus itu. Mungkin saja ini bus terakhir yang beroperasi. Lelaki itu kembali melirik jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Ia mengembuskan napas dan mulai memasuki bus itu. Setelah ia duduk, bus itu kembali melaju dan sekilas Rusman melihat tubuhnya masih tertinggal di halte. Diam.

Selasa, 10 Mei 2016

REVIEW NOVEL CINTA DAN DENDAM YANG TAK AKAN MEMBAWAMU KE MANA-MANA




CINTA DAN DENDAM YANG TAK AKAN MEMBAWAMU KE MANA-MANA adalah novel ketiga Mas Redy yang saya baca setelah KARENA AKU TAK BUTA dan JILBAB (Love) STORY.


Cinta dan Dendam Yang Tak Akan Membawamu Ke Mana-Mana merupakan kelanjutan kisah dari buku sebelumnya yaitu Jilbab (Love) Story.
Jika di Jilbab (Love) Story penulis menggunakan kehidupan Melody sebagai inti ceritanya. Nah di Cinta dan Dendam Yang Tak Akan Membawamu Ke Mana-Mana kita akan disuguhi sebuah konflik lain yang masih berhubungan dengan buku pertamanya. Jika di buku Jilbab Love Story penulis mengulik habis kehidupan Melody dari bukan siapa-siapa menjadi seorang Diva. Nah di buku kedua kita diajak untuk mengulik kehidupan musuh bebuyutan Melody.. Siapa lagi kalau buka Keyzhia Chan yang terkenal dengan poni khasnya.
..
Sinopsis
Setelah masa kontrak dengan management The Singer usai, nama Keyzia hampir tak terdengar lagi di blantika musik tanah air. Tak ada lagi panggung-panggung spektakuler dan tawaran job menyanyi. Single perdananya pun tak mendapat respon di pasaran. Namun yang terjadi dengan Mel justeru kebalikannya. Cewek itu semakin sukses sebagai penyanyi pendatang baru. Kehadirannya selalu dinanti khalayak, terutama remaja.
Keyzia akhirnya menemukan rahasia di balik kesuksesan Mel. Ternyata cewek berjilbab itu menggunakan cincin pengasih. Indonesia menjadi heboh! Kemunculan foto-foto cincin batu berwarna hijau itu, menggemparkan Nusantara. Banyak media mengangkat beragam cerita. Bahkan ada yang menyoroti; cincin yang dikenakan Mel adalah batu bertuah!
Dendam tersulut kembali. Keyzia ingin Mel terpuruk dan jatuh. Lalu ia turut menghebohkan berita tentang Mel dari sisi negatif. Fitnah tersebar, misi pun tercapai. Cinta terabaikan demi ambisi. Diam-diam, ternyata ia sangat berhasrat menguasai cincin milik Mel. Namun usahanya ini, justeru menguak rahasia dirinya: tentang masa lalu dan kehidupannya. Lalu, siapakah jati diri Keyzia yang sebenarnya? Dan mampukah ia mendapatkan merebut kesuksesan Melody?
..

Seperti yang sudah-sudah penulis berkaca mata ini berhasil membuat saya, rela bergadang demi menamatkan kisah penuh intrik ini. Penulis selalu berhasil membuat saya tidak tenang sebelum menamatkan cerita dan rahasia-rahasia yang mulai terkuak tentang jati diri Keyzia yang dulu sempat membuat saya pengen menjambaknya karena sikap arogan dan sombongnya.
Ada beberapa tokoh baru dalam cerita ini, diantaranya, Leea, Zahra, Ummi, Inu, Salmah, Aang dan yang paling menjadi paporit saya adalah kemunculan cowok berkharisma bernama Ragiel (uhuk-keselek) yang merupakan jembatan antara Keyzia dengan masa lalunya yang membuat saya terkejut dan sama sekali tidak terbayangkan.
..
Karena saya tidak mau terlalu spoiler. Jadi aku sangat merekomendesikan novel ini sebagai bacaan untuk mengisi waktu luang. Karena selain ceritanya yang asik abis dengan ending yang tak mudah ditebak. Novel ini juga mengajarkan banyak sekali hikmah dan pelajarn yang bisa kita dapatkan dalam memaknai hidup..
..
Aku kasih 4 bintang dari 5 bintang dan sangat berharap suatu saat nanti Mas Redy mau membuat cerita fantasi.. hehehe
..
Yogyakarta. Pandega Bakti 28.