Minggu, 26 Juni 2016

CERPEN "HALTE" DIMUAT DI MALANG POST EDISI MINGGU 26 JUNI 2016.



HALTE

RAGIEL JP



Lelaki bermata sipit itu merasakan seluruh badannya terasa pegal. Seolah semua persendian di dalam tubuhnya tidak dalam posisi yang tepat. Lehernya terasa sakit dengan kepala bagian belakang terasa berat. Tas kerja yang diselempangkan di pundaknya seolah berubah menjadi seratus kilo, padahal hanya berkas-berkas pekerjaan yang mengisi tas itu.
Rusman—nama lelaki itu kembali melirik arloji di tangan kirinya. Sudah menunjukan pukul delapan malam. Bus yang ditunggunya belum juga datang. Padahal sudah lebih dari satu jam ia menunggu.
Ia meruntuki kesialan-kesialan yang terjadi hari ini. Dimulai dari mesin mobilnya yang tiba-tiba mogok. Taksi yang selalu saja penuh setiap kali ia berusaha menyetopnya. Sebenarnya Rusman bisa saja menyewa ojek online yang sekarang sedang menjamur di semua kota. Tapi ia urungkan, ia mempunyai pengalaman buruk menaiki ojek dan sejak saat itu ia sedikit trauma kalau harus menyewa jasa roda dua itu.
Masih teringat di kepala Rusman, berita yang terjadi lima hari yang lalu. Tentang penemuan sesosok mayat tanpa kepala di halte ini. Dari desas desus yang beredar, bahwa wanita itu adalah seorang pelacur yang dibunuh. Semacam korban Jack The Ripper versi modern.
Kalau mengingat penemuan mayat itu, bulu kuduk Rusman sedikit meremang. Ia selalu membayangkan akan bertemu hantu tanpa kepala yang mengikutinya sampai rumah. Ataupun bertemu kepala yang melayang-layang tanpa tubuh mengikutinya dari belakang.
“Hantu itu tidak ada, Rusman,” ucap Endang setiap kali ia bercerita bahwa ia merasa diikuti sesosok makhluk tak kasat mata. “Hantu hanyalah imajinasi dan manipulasi otak manusia.”
“Tapi banyak yang katanya sudah melihat penampakan hantu macam pocong dan kunthilanak.”
“Apa kamu sudah pernah melihatnya?”
Rusman menggeleng. “Tentu saja aku tidak pernah melihatnya. Bisa pingsan aku kalau melihat makhluk seperti itu.”
Endang tertawa.
“Kalau kamu sendiri bagaimana? Apa kamu percaya kalau hantu itu ada?”
“Seperti yang aku bilang tadi. Aku tidak percaya hantu.”
“Aku sumpahin kamu pulangnya diikuti pocong.”
“Aku tidak takut.”
“Hantunya yang takut kamu mungkin.”
“Itu yang aku takutkan.”
Rusman terbahak.
Endang adalah teman kecil Rusman, mereka selalu bersama-sama dari kecil hingga sekarang. Bahkan mereka kini sudah menjadi sepasang suami istri. Bagi Endang, Rusman adalah sosok suami idaman, ia rajin bekerja dan setia. Begitu juga sebaliknya, bagi Rusman, Endang adalah gambaran seorang istri yang sangat sempurna. Selain memang dia jago memasak, Endang adalah istri, teman dan juga patner yang sangat enak untuk diajak diskusi.
Namun semua itu tinggal kenangan.
Endang hilang bersama ratusan orang yang saat itu sedang dalam perjalanan dari Malaysia. Pesawat yang ditumpanginya mendadak hilang kontak dan sampai sekarang belum ditemukan keberadaannya.
Walau peristiwa naas itu sudah berlalu dua bulan yang lalu, Rusman selalu berharap ada sebuah kejaiban bahwa wanita yang dicintainya itu masih hidup dan akan kembali kepadanya suatu saat nanti. Ia percaya bahwa kekuatan doa yang selalu ia panjatkan setiap malam akan didengar Tuhan. Ia hanya harus yakin bahwa istrinya masih dalam keadaan hidup.
“Kamu terlalu memfrosir diri, Mas,” kata-kata istrinya kembali terngiang di dalam kepalanya. “Sudah malam, istirahatlah, lanjutkan pekerjaan besok lagi.”
“Tidak bisa,” jawab Rusman kembali mengetikan sesuatu di layar laptopnya. “Akan ada presentasi lusa. Aku tidak ingin mengecewakan klien.”
“Tapi ini sudah jam satu pagi,” Endang tak putus asa. “Besok kamu lanjutin lagi, aku tidak ingin kamu sakit, Mas.”
Rusman mengembuskan napas. Badannya terasa lelah luar biasa. “Sepuluh menit lagi,” katanya akhirnya. “Kamu tidurlah dulu.”
“Janji sepuluh menit lagi?”
Rusman mengangguk. “Iya aku janji.”
Endang kemudian mengecup kening suaminya.
***

 Lelaki itu kembali melirik arloji di tangan kirinya. Sudah menunjukan pukul sembilan malam dan bus yang ditunggunya belum juga datang. Ia mengamati keadaan sekeliling, sudah tampak sepi, hanya dirinya yang ada di halte itu.

Embusan angin dingin mengelus lehernya, ia merapatkan kemeja kerjanya, digesek-gesekan kedua tangannya untuk menciptakan panas—setelah itu ia menempelkan kedua tangannya ke pipi.
“Tidak biasanya malam ini begitu dingin…” Gumamnya dalam hati. Karena memang tidak biasanya malam ini begini dingin.
Bus ketiga kembali datang dan ia kembali meruntuki karena itu bukanlah bus yang ditunggunya. Bus ketiga itu berwarna putih kusam bergambar kartun yang dulu sering ditontonnya ketika ia masih kecil. Penumpang di bus itu juga tidak terlalu banyak dan wajah-wajah lelah seperti dirinya hampir memenuhi bus itu.
Seorang wanita berusia sekitar awal tiga puluhan turun dari bus itu dan berjalan melewati Rusman. Ia hanya menatap Rusman dengan tatapan curiga, seolah dirinya adalah seorang yang akan berniat jahat kepadanya. Dan satu menit kemudian bus itu kembali jalan meninggalkan ia dan penumpang yang baru turun dari bus itu.
Perempuan itu berdiri di ujung halte. Ia beberapa kali melirik ke arah Rusman dengan tatapan aneh, seolah melihat dirinya adalah seorang penjahat. Sebenarnya Rusman ingin menyapa perempuan itu, namun segera ia urungkan, ia takut perempuan itu akan berpikiran macam-macam. Ia kembali teringat berita beberapa hari yang lalu, tentang pembunuhan itu. Mungkin saja wanita itu berpikir bahwa ia adalah psikopat gila itu.
Lima menit berlalu dan wanita itu terus mengamatinya dengan tatapan yang membuat Rusman merasa semakin tidak nyaman. Wanita itu menggigit bibirnya dengan cemas, wajahnya juga terlihat sangat pucat. Ia terlihat beberapa kali menekan-nekan ponselnya, mungkin berusaha menghubungi seseorang untuk menjemputnya.
“Cepat jemput aku di halte biasa…” Wanita itu menelepon seseorang. “Aku takut.”
Rusman memalingkan wajahnya dari wanita itu. Takut kalau rasa penasarannya lah yang membuat wanita itu ketakutan. Ia kembali melirik arloji di tangan kanannya dan terus mengumpat kenapa bus yang ditunggunya belum juga datang. Padahal biasanya jam-jam begini bus itu sudah lewat dan membawanya ke rumahnya. Ia sudah membayangkan betapa nyamannya kasur dan bantal yang akan memanjakan badannya.
Sepuluh menit kemudian sebuah motor menghampiri halte tempatnya duduk. Wanita yang di ujung halte melambaikan tangannya ke arah pengendara motor itu.
“Rupanya ia orang yang ditelepon tadi…” Gumam Rusman dalam hati.
Pengendara motor dan wanita itu terlihat sebuah percakapan kecil. Wanita itu berbisik-bisik sesuatu yang tidak bisa didengar Rusman. Sedangkan lelaki pengendara motor itu juga melirik ke arah Rusman. Matanya menyipit dengan awas.
“Sebaiknya kita pergi.” Gumam lelaki itu. “Aku tidak mau berhubungan dengan polisi.”
Wanita itu mengangguk dan bergegas menaiki sepeda motor itu. Setelah wanita itu menaiki motor, mereka berdua langsung melesat pergi meninggalkan Rusman seorang diri.
Demi mendengar ucapan lelaki tadi, muncul tanda tanya besar di dalam hati Rusman, sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan. Kenapa mereka mengatakan kalau mereka tidak mau berhubungan dengan polisi. Apa benar jika mereka menganggapnya sebagai seorang pembunuh, atau mereka melihat bahwa psikopat itu tengah berkeliaran di dekat halte ini dan mencari korban selanjutnya?
Mendadak Rusman merinding membayangkan dirinya bertemu pembunuh itu di halte ini. Walau ia yakin bahwa kematian selalu mengikutinya seperti sebuah bayangan, ia tidak mau mati secara konyol karena dibunuh. Ia hanya ingin mati secara normal, bukan dengan leher yang terputus.
Udara sedingin es kembali mengelus lehernya. Ia kembali merapatkan kemeja kerjanya dan ia merasa lega luar biasa ketika melihat sebuah kendaraan yang ditunggunya akhirnya datang juga. Nomor yang tertera di atas bus itulah yang selama beberapa jam ini ia tunggu.
Ketika bus itu berhenti di halte, Rusman memang menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dengan bus itu. Walau bus itu memang bus jurusan yang biasa ditumpanginya, namun bus itu memiliki bentuk yang sangat aneh. Bus itu berwarna merah menyala dengan aroma yang yang entah kenapa membuatnya tidak nyaman. Selain itu, bus ini juga kosong tanpa ada satupun penumpang di dalamnya, hanya supir yang juga memakai seragam berwarna merah, senada dengan bus yang dikemudiaknya.
Tidak ada pilihan lain bagi Rusman selain menaiki bus itu. Mungkin saja ini bus terakhir yang beroperasi. Lelaki itu kembali melirik jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Ia mengembuskan napas dan mulai memasuki bus itu. Setelah ia duduk, bus itu kembali melaju dan sekilas Rusman melihat tubuhnya masih tertinggal di halte. Diam.

Selasa, 10 Mei 2016

REVIEW NOVEL CINTA DAN DENDAM YANG TAK AKAN MEMBAWAMU KE MANA-MANA




CINTA DAN DENDAM YANG TAK AKAN MEMBAWAMU KE MANA-MANA adalah novel ketiga Mas Redy yang saya baca setelah KARENA AKU TAK BUTA dan JILBAB (Love) STORY.


Cinta dan Dendam Yang Tak Akan Membawamu Ke Mana-Mana merupakan kelanjutan kisah dari buku sebelumnya yaitu Jilbab (Love) Story.
Jika di Jilbab (Love) Story penulis menggunakan kehidupan Melody sebagai inti ceritanya. Nah di Cinta dan Dendam Yang Tak Akan Membawamu Ke Mana-Mana kita akan disuguhi sebuah konflik lain yang masih berhubungan dengan buku pertamanya. Jika di buku Jilbab Love Story penulis mengulik habis kehidupan Melody dari bukan siapa-siapa menjadi seorang Diva. Nah di buku kedua kita diajak untuk mengulik kehidupan musuh bebuyutan Melody.. Siapa lagi kalau buka Keyzhia Chan yang terkenal dengan poni khasnya.
..
Sinopsis
Setelah masa kontrak dengan management The Singer usai, nama Keyzia hampir tak terdengar lagi di blantika musik tanah air. Tak ada lagi panggung-panggung spektakuler dan tawaran job menyanyi. Single perdananya pun tak mendapat respon di pasaran. Namun yang terjadi dengan Mel justeru kebalikannya. Cewek itu semakin sukses sebagai penyanyi pendatang baru. Kehadirannya selalu dinanti khalayak, terutama remaja.
Keyzia akhirnya menemukan rahasia di balik kesuksesan Mel. Ternyata cewek berjilbab itu menggunakan cincin pengasih. Indonesia menjadi heboh! Kemunculan foto-foto cincin batu berwarna hijau itu, menggemparkan Nusantara. Banyak media mengangkat beragam cerita. Bahkan ada yang menyoroti; cincin yang dikenakan Mel adalah batu bertuah!
Dendam tersulut kembali. Keyzia ingin Mel terpuruk dan jatuh. Lalu ia turut menghebohkan berita tentang Mel dari sisi negatif. Fitnah tersebar, misi pun tercapai. Cinta terabaikan demi ambisi. Diam-diam, ternyata ia sangat berhasrat menguasai cincin milik Mel. Namun usahanya ini, justeru menguak rahasia dirinya: tentang masa lalu dan kehidupannya. Lalu, siapakah jati diri Keyzia yang sebenarnya? Dan mampukah ia mendapatkan merebut kesuksesan Melody?
..

Seperti yang sudah-sudah penulis berkaca mata ini berhasil membuat saya, rela bergadang demi menamatkan kisah penuh intrik ini. Penulis selalu berhasil membuat saya tidak tenang sebelum menamatkan cerita dan rahasia-rahasia yang mulai terkuak tentang jati diri Keyzia yang dulu sempat membuat saya pengen menjambaknya karena sikap arogan dan sombongnya.
Ada beberapa tokoh baru dalam cerita ini, diantaranya, Leea, Zahra, Ummi, Inu, Salmah, Aang dan yang paling menjadi paporit saya adalah kemunculan cowok berkharisma bernama Ragiel (uhuk-keselek) yang merupakan jembatan antara Keyzia dengan masa lalunya yang membuat saya terkejut dan sama sekali tidak terbayangkan.
..
Karena saya tidak mau terlalu spoiler. Jadi aku sangat merekomendesikan novel ini sebagai bacaan untuk mengisi waktu luang. Karena selain ceritanya yang asik abis dengan ending yang tak mudah ditebak. Novel ini juga mengajarkan banyak sekali hikmah dan pelajarn yang bisa kita dapatkan dalam memaknai hidup..
..
Aku kasih 4 bintang dari 5 bintang dan sangat berharap suatu saat nanti Mas Redy mau membuat cerita fantasi.. hehehe
..
Yogyakarta. Pandega Bakti 28.

Kamis, 07 April 2016

CERPEN "ALIEN YANG MERENGGUT IBUKU." DIMUAT DI KORAN PANTURA EDISI SELASA 5 APRIL 2016









Alien Yang Merenggut Ibuku
RAGIEL JP


Aku merindukan ibu yang dulu, ibu yang selalu bersikap lembut terhadapku, ibu yang tidak pernah memukul ketika aku berbuat salah. Ibu yang selalu sabar ketika aku mengacuhkannya. Aku merindukan ibu sebelum alien merenggutnya dariku. Meninggalkan tubuh ibu yang kosong seolah disusupi sosok lain. Dia ibuku, dengan wajah yang sama, dengan postur tubuh yang sama, tapi terlebih dari itu, semuanya berbeda, alien telah mengubah ibuku.
Kebiasaan ibu yang dulu hampir selalu dilakukan kini hanya tinggal cerita, ibu yang kini tidak pernah ingat tanggal ulang tahunku, padahal dulu, ibu paling semangat jika hari ulang tahunku tiba. Ibu selalu memberikan apa pun yang aku mau. Tapi kini, sejak alien itu mengubah ibuku, tidak ada lagi yang namanya perayaan ulang tahun.
Alien itu mengubah ibu sejak satu tahun yang lalu. Ketika adik perempuanku meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itulah ibu berubah menjadi pendiam. Tidak melakukan apa pun. Tidak makan, tidak minum, ibu sangat kehilangan, sama seperti aku yang juga merasa sangat kehilangan seorang adik perempuan.
“Pasti Bibi yang mengambil uangku kan?!” terdengar sebuah suara keras dari arah dapur. “Ngaku saja, pasti Bibi yang mengambilnya.”
“Sumpah demi Allah bukan saya, Nyonya,” jawab Bi Tun, pembantu kami. “Saya tidak mencuri uang Nyonya.”
“Ngaku saja!” Ibu kembali menggebrak mejanya. “Tadi aku naruh uang di atas mesin cuci ini, tapi sekarang sudah tidak ada.”
Aku menghela napas mendengarnya, batinku selalu terasa perih jika alien itu kembali mengubah ibu. Aku tahu bahwa di rumah ini kami tidak mempunyai mesin cuci. Alien itu membuat ibu mengira bahwa kulkas adalah mesin cuci.
“Aku yang memindahkan uang itu, Bu,” kataku menyentuh bahu ibu. “Bi Tun tidak mencuri.”
Ibu hanya memincingkan mata mendengarnya, masih tidak begitu percaya dengan ucapanku. Alien itu pasti tengah menguasai tubuh ibu.
Memang bukan hanya kali ini saja ibu menuduh Bi Tun mencuri uang dan perhiasannya tanpa bukti. Alien itulah yang telah membuat ibu bersikap seperti ini. Pernah sekali aku melihat ibu sedang memarahi Bi Tun karena ditunduh mencuri perhiasannya, padahal aku tahu bahwa Bi Tun tidak mungkin melakukan itu, dan benar saja dugaanku, begitu aku mencari perhiasan ibu, aku menemukan perhiasan itu di tempat buah.
“Bi Tun yang sabar ya,” kataku menghampiri Bi Tun. “Jangan dimasukan ke dalam hati semua tuduhan ibu, aku percaya sama Bi Tun.”
Bi Tun mengangguk mendengarnya. “Ibu kenapa Den? Kenapa ibu sekarang berubah?”
“Tidak apa-apa,” jawabku tersenyum. “Mungkin ibu masih merasa kehilangan Nisa, nanti lambat laun ibu pasti akan kembali seperti semula lagi, kita harus sabar merawat ibu, Bi.”

***

Ibu kini juga lebih menarik diri dari pergaulan, setiap ada acara di dekat rumah, ibu selalu tidak hadir, ibu merasa tidak nyaman dengan keramaian. Ibu memilih asyik dengan dunianya sendiri, sering melamun, sering melakukan hal-hal aneh seperti memakai sepatu ke dalam kamar mandi ataupun transformasi ibu yang membuatku merasa sangat sedih adalah ibu sudah tidak mengenal beberapa tetangga yang dulu akrab dengannya.
“Ia siapa?” tanya ibu ketika beberapa tetangga datang berkunjung ke rumah kami. “Usir mereka semua, aku tidak kenal mereka, kamu harus mengusir mereka, Thom.”
“Aku Bu Narto,” kata perempuan paruh baya yang dulu sangat akrab dengan ibu. “Kita dulu sering pergi bersama, apa kau ingat?”
Ibu tampak berpikir, ibu mengamati Bu Narto dengan saksama. Selama beberapa saat ibu hanya terdiam melihat Bu Narto, hingga setelah satu menit kemudian, ibu kembali berkata bahwa ibu tidak mengenalnya.
“Aku yakin ibumu pasti akan sembuh, Thomas,” kata Bu Narto menghiburku. “Ini masalah yang wajar ketika menginjak usia senja, ibu juga dulu pernah mengalami masa sulit sepertimu, ibu hanya berpesan, sebaiknya kamu lebih bersabar merawat ibumu, anggap saja ini balasanmu sebagai anak, kamu harus ingat, ketika kamu masih kecil, ibumu juga merawatmu dengan penuh kasih sayang dan cinta.”
Aku hanya mengangguk. Aku tahu perubahan kepribadian ibu sama sekali bukan hal yang wajar, alien itulah yang memilih ibuku untuk menjadi inangnya, perlahan menghancurkan memori dan sistem tubuh ibu.
***
Seiring berjalannya waktu, alien yang menyusup ke dalam tubuh ibu semakin menguasai tubuhnya. Hari demi hari kondisi ibu semakin melemah, ibu sudah tidak mampu melakukan komunikasi dengan baik, tidak bisa berhitung dengan benar. Bahkan untuk memakai baju, ibu harus dibantu Bi Tun. Pernah terjadi dalam beberapa hari yang lalu, ibu membangunkanku pada tengah malam dan minta ditemani pergi ke tukang cukur rambut, atau pernah terjadi pada suatu malam ibu menangis dan mengatakan bahwa aku sudah tidak sayang lagi kepadanya.
Jika sudah seperti ini, terkadang aku menyesali semua waktu yang dulu terbuang begitu saja. Dulu aku tidak terlalu memerhatikan ibu, aku hanya sibuk dengan pekerjaanku, hanya adik perempuanku yang selama ini merawat ibu, dan setelah adikku meninggal, aku mengerti bahwa betapa aku sangat jahat terhadap ibu selama ini.
Dulu, ketika alien itu belum menyusup ke dalam tubuh ibu, aku sama sekali tidak pernah memperhatikan ibu, setiap kali ibu memintaku untuk pulang lebih awal hanya untuk sekadar makan malam, aku selalu menolaknya, aku lebih mementingkan makan malam dengan teman kantor daripada harus makan malam dengan ibu.
“Tidak bisakah kamu meluangkan waktu sebentar untuk ibu, Kak?” tanya Nisa kala itu. “Kak Thomas terlalu sibuk dengan pekerjaan, ibu hanya ingin makan malam bersama Kak Thomas.”
“Aku benar-benar sibuk, Nis,” jawabku setiap Nisa mengatakan hal itu. “Nanti kalau aku ada waktu pasti akan makan malam dengan kalian, kan ada kamu, aku yakin kamu bisa menemani ibu makan malam.”
“Tapi ibu ingin Kak Thomas juga ikut,” katanya lagi. “Apa pekerjaan itu tidak bisa ditunda sebentar?”
Aku menggeleng mendengarnya, mencoba pengertian adik perempuanku. “Tidak bisa, Nis, kakak harus segera menyelesaikan berkas-berkas ini, deadline-nya sebentar lagi.”
Nisa hanya menarik napas, dia tahu percuma saja memaksa jika aku sudah mengatakan bahwa pekerjaanku sangat banyak. “Baiklah kalau memang kakak sedang sibuk.”

***

Jika aku bisa memutar ulang waktu, aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan ibu versi yang dulu, bukan ibu yang versi sekarang, menjadi inang sebuah alien yang menyusup di dalam tubuhnya, menebarkan pribadi lain yang sangat berbeda dengan sosoknya yang dulu.
“Ibu di mana, Bi?” tanyaku ketika pada suatu hari Rabu aku tidak melihat ibu di rumah. “Apa dia sedang tidur siang?”
“Tadi Nyonya ada di kamar, Den,” jawab Bi Tun.
“Tidak ada di kamar kok,” jawabku lagi. “Apa ibu pergi keluar?”
“Bibi tidak tahu,” jawab Bi Tun tampak cemas. “Tadi Bibi tinggal masak sebentar, Bibi tidak tahu kalau Nyonya tidak ada di kamar.”
“Tidak apa-apa, Bi,” jawabku lagi. “Sebaiknya kita cari ibu sekarang, aku takut terjadi sesuatu yang buruk.”
Maka siang itu kami mulai melakukan pencarian, aku meminta tolong kepada beberapa warga komplek untuk ikut membantu mencari ibu. Perasaan cemas mulai membanjiri dadaku, bagaimana jika ibu tidak bisa pulang ke rumah dan tersesat entah di mana? Aku yakin alien yang ada di dalam tubuh ibu yang membuat ibu mengalami disorientasi tempat dan waktu.
Sudah hampir tiga jam kami melakukan pencarian, namun tidak ada tanda-tanda ditemukan ibu, kami sudah menyisir beberapa kawasan di luar komplek pun ibu belum juga ditemukan. Perasaan cemas kembali membanjiri seluruh tubuhku, aku tidak mau kehilangan ibu seperti aku kehilangan adik perempuanku, aku ingin membantu ibu dalam menghadapi alien yang mengambil alih tubuhnya.
“Ibu di mana?” air mataku menetes membayangkan hal terburuk terjadi dengan ibu. “Aku minta maaf karena selama ini belum menjadi anak yang berbakti.”
Den Thomas yang sabar ya,” Bi Tun menyentuh bahuku yang berguncang menahan air mata. “Bibi yakin ibu pasti bisa ditemukan.”
Aku mengangguk. Aku terus berdoa agar ibu segera ditemukan.
Menjelang malam barulah ibu ditemukan oleh seseorang warga yang mengatakan bahwa ibu berada di sebuah kawasan pabrik yang jaraknya sangat jauh dari sini. Aku tidak tahu bagaimana ibu bisa sampai ke sana, tapi aku tetap bersyukur bahwa ibu bisa ditemukan dengan selamat.
Selalu ada hikmah dari setiap cobaan yang Tuhan berikan kepada umatnya. Jika aku yang dulu terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sampai-sampai tidak ada waktu untuk keluarga, seharusnya aku sadar bahwa status ibu sebagai single parent pastilah terasa berat dalam merawat kedua anaknya, tapi apa yang aku lakukan? Aku malah lebih tenggelam dalam duniaku sendiri, tanpa pernah peduli dengan ibu.
Dan kini, aku berjanji akan selalu ada untuk ibu, memang bisa dikatakan aku terlambat menyesali semua ini. Aku yakin kekuatan cintaku kepada ibu akan menyembuhkan ibu. Setidaknya walau tubuh ibu disusupi alien yang mengambil kuasa penuh atas dirinya, aku yakin kekuatan cintaku akan membantu ibu melawan alien bernama Demensia Alzheimer.

Rabu, 06 April 2016

CERPEN "PEREMPUAN PENUNGGU TITIK NOL." DIMUAT DI HARIAN RADAR MOJOKERTO EDISI MINGGU 3 APRIL 2016.












PEREMPUAN PENUNGGU TITIK NOL

RAGIEL JP


Setiap pagi saya melihat wanita itu duduk di bawah pohon beringin yang tumbuh di titik nol. Matanya memandang jauh ke arah selatan. Seolah sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Tempat duduknya pun tak pernah berubah selalu saja tepat di depan Benteng Vredeburg.
Pertama kali saya melihat wanita itu sekitar dua minggu yang lalu. Kebetulan saya selalu lewat jalan itu setiap kali menuju kantor tempat saya bekerja. Pada awalnya saya memang tidak terlalu memerhatikannya. Namun setelah selama dua minggu wanita itu tidak pernah beranjak dari tempat duduknya, saya pun mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang ia tunggu.
Pernah saya bertanya kepada rekan saya mengenai perempuan penunggu itu. Tapi rekan saya bilang bahwa ia tidak pernah melihat wanita itu. Saya pun semakin dibuat penasaran karena dari tiga rekan saya yang saya tanya mengenai perempuan penunggu itu. Tidak satu pun yang pernah melihatnya.
“Kau perhatian sekali, Ras,” kata teman saya ketika saya kembali bercerita bahwa pagi ini saya kembali melihat perempuan penunggu itu. “Ada banyak perempuan yang duduk di titik nol setiap pagi. Mungkin ia hanya gelandangan.”
“Tapi ia selalu saja duduk di tempat yang sama,” kata saya tak puas dengan tanggapan rekan saya. “Ia juga selalu menghadap ke arah selatan, seolah sedang menunggu sesuatu.”
“Kenapa kau tidak coba tanyakan langsung kepada perempuan penunggu itu, Rasidi?” tanya rekan saya sepertinya bosan. “Daripada kau mati penasaran.”
Saya memang berencana untuk menemuinya secara langsung. Coba mencari jawaban kenapa ia selalu duduk di tempat itu. Seolah sedang menunggu sesuatu.

***

Sore harinya, ketika saya pulang dari kantor, saya sengaja berjalan kaki menuju titik nol untuk menemui perempuan itu. Saya sengaja berjalan kaki agar lebih efesien, karena menggunakan motor di jalan Malioboro yang macet pastilah bukan ide yang bagus.
“Kau mau ke mana, Rasidi?” tanya Tarmo, salah satu rekan kerja saya. “Kau tidak langsung pulang?”
“Mau menemui perempuan itu,” jawab saya mencangklongkan tas kerja.
“Perempuan penunggu titik nol itu?”
Saya mengangguk.
Saya tidak tahu apa kalau sore hari perempuan itu ada di sana. Saya tidak pernah tahu, soalnya kalau saya pulang ke kontrakan tidak pernah lewat jalan ini lagi.
Sore hari jalan Malioboro terlihat ramai seperti biasanya. Ratusan penduduk seolah tumpah di jalan. Beberapa pedagang hampir memenuhi setiap sudut. Mulai dari penjual sate, baju, aksesoris hingga penjual kacang rebus menyemut di sini. Suara bising kendaraan dan asap knalpot membuat dada saya terasa sesak.
Sekitar dua puluh menit kemudian saya sampai di titik nol kilometer. Mata saya menyapu tempat itu untuk mencari perempuan yang saya cari. Saya berjalan ke arah benteng dan tidak menemukan keberadaan perempuan itu. Saya jadi bertanya-tanya, apa perempuan itu hanya duduk di sini kalau pagi hari?
Saya mencoba bertanya kepada seorang wanita penjual sate yang kebetulan tidak jauh dari pintu masuk Benteng Vredeburg. Saya bertanya perihal wanita penunggu itu.
“Itu lho perempuan yang suka duduk di tempat itu,” kata saya menunjuk tempat yang biasa diduduki perempuan itu. “Ia biasa duduk di tempat itu dan memandang ke arah selatan. Ia juga sering memakai baju terusan berwarna merah muda.”
Penjual sate itu menggeleng. Mengatakan bahwa hari ini ia tidak melihat perempuan penunggu itu.
Maka sore itu saya memutuskan pulang dengan rasa penasaran yang semakin menggunung. Siapa sebenarnya sosok perempuan penunggu itu?
Mungkin karena saya terlalu memikirkan perempuan penunggu titik nol itu, saya sampai bermimpi sangat aneh. Dalam mimpi itu saya bertemu dengan ia. Perempuan itu tersenyum ke arah saya dan saya juga balas tersenyum. Saya memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya.
“Halo…” Sapa saya ketika duduk di sebelah perempuan itu. “Boleh saya duduk di sini?”
Perempuan itu mengangguk, ia tersenyum sesaat sebelum akhirnya kembali memandang ke arah selatan. Seperti biasanya.
“Sudah lama di Jogja?” tanya saya memberanikan diri.
Perempuan itu berpaling ke arah saya. “Sudah dua tahun.” Jawabnya pelan. “Siapa namamu?”
Saya sedikit terkejut mendengar perempuan itu menanyakan nama saya. “Rasidi, nama saya Rasidi.”
“Aku Arum,” jawabnya memperkenalkan diri. “Sudah lama tinggal di Jogja?”
“Baru dua bulan,” jawab saya kikuk. “Kalau boleh tahu, kenapa kau selalu duduk di sini setiap pagi, Arum?”
Perempuan bernama Arum itu terdiam. Ia menundukan wajahnya. Saya bisa mendengar kalau perempuan itu menangis sesenggukan.
“Saya minta maaf kalau pertanyaan saya menyinggungmu…” saya merasa tidak enak hati begitu melihat perempuan itu menangis.
Arum mengangkat wajahnya. Air mata membekas jelas di pipinya yang kurus. Ia tersenyum sekilas sebelum kembali berbicara. “Aku sedang menunggu seseorang,” katanya akhirnya.
“Siapa?” tanya saya tanpa sadar. “Kau menunggu suamimu?”
Arum mengangguk. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku baju terusannya. Dan saya tahu bahwa itu sebuah foto.
“Ini anak perempuanku,” katanya memperlihatkan foto itu ke hadapan saya. “Namanya Kemuning.”
Saya memerhatikan wajah di dalam foto itu. Seorang remaja berusia sekitar tujuh belas tahun sedang berangkulan dengan Arum. Mereka berdua sangat mirip, mereka sama-sama mempunyai mata berwarna cokelat cerah dengan jidat yang hampir identik.
“Lalu di mana suamimu? Tanya saya ketika perempuan itu kembali memasukan foto itu ke dalam saku bajunya. “Apa ia tidak datang menemuimu?”
Perempuan itu hanya tersenyum. Dan setelah itu saya terbangun ketika mendengar alarm ponsel saya berbunyi nyaring.

***

Pagi harinya saya memutuskan untuk menemui perempuan penunggu itu. Saya semakin penasaran dibuatnya. Terlebih setelah saya bermimpi bertemu dengannya. Saya tidak tahu kenapa semua ini terjadi kepada saya, tapi yang jelas bahwa semua ini saling berhubungan.
Maka, setelah saya sarapan semangkuk soto yang saya beli di dekat rumah kontrakan, saya bergegas menghidupkan motor dan langsung meluncur ke titik nol.
“Semoga perempuan itu sudah di sana.” Gumam saya dalam hati. Saya melirik jam di tangan kanan yang sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Ini memang terlalu awal untuk masuk kantor. Tapi keputusan saya sudah bulat, saya akan menemui perempuan penunggu itu dulu sebelum ke kantor.
Beruntung jalanan pagi ini tidak begitu macet, karena lima belas menit kemudian akhirnya saya sampai di titik nol.
Suasana titik nol kilometer pagi ini tampak lenggang. Hanya beberapa orang yang sedang duduk-duduk atau sekadar olah raga lari. Setelah memarkirkan motor, saya berjalan ke tempat di mana perempuan itu biasa duduk.
Pandangan saya kembali menyapu tempat itu dan kembali tidak mendapati perempuan penunggu itu. Saya mulai merasa kecewa karena rasa penasaran saya tampaknya tidak menemukan jawaban. Saya jadi bertanya-tanya, di mana perempuan itu sekarang? Apa dia sudah bertemu suaminya?
Saya tidak menyerah kali ini. Saya memutuskan untuk menunggu perempuan itu di sini. Mungkin saya terlalu pagi datang ke sini. Bukankah biasanya saya melihat perempuan itu sekitar pukul tujuh lewat lima belas menit. Saya kembali melirik arloji di tangan kanan, baru menunjukan jam tujuh. Mungkin lima belas menit lagi perempuan itu akan datang.
Ponsel saya tiba-tiba berdering. Terpampang nama salah satu rekan kerja saya di layar ponsel. Saya segera menekan tombol hijau.
“Kau di mana, Rasidi?” tanya suara di ujung telepon. “Jam setengah delapan kau harus sudah sampai kantor. Bos mengatakan bahwa akan ada rapat mendadak.”
Saya mengembuskan napas sedikit kecewa karena tampaknya hari ini saya kembali gagal bertemu perempuan penunggu itu. “Sebentar lagi saya sampai,” kata saya mematikan telepon.
Saya bangkit dari tempat duduk ini. Mungkin Tuhan memang belum menakdirkan saya bertemu dengan perempuan penunggu itu. Saya kembali memasukan ponsel ke dalam tas kerja saya, merapikan seragam kerja—Ketika saya hendak menghampiri motor, mata saya membola begitu melihat seseorang yang sepertinya saya kenal.
Seorang remaja perempuan berambut panjang sebahu berjalan menuju tempat duduk yang baru saja saya tinggalkan. Ia membawa setangkai bunga mawar berwarna merah dan meletakan di tempat itu.
Saya bergegas menghampiri remaja itu karena saya yakin bahwa ia adalah Kemuning. Anak perempuan penunggu yang (mungkin) bernama Arum—yang semalam datang ke dalam mimpi saya.
“Maaf…” Kata saya begitu sampai di sebelah gadis itu. “Boleh saya tanya sesuatu?”
Gadis itu mendongak dan wajahnya tampak terkejut melihat saya. Gadis itu berdiri dan mundur beberapa langkah. Mungkin ia menganggap saya seorang penjahat.
“Saya bukan orang jahat,” saya mencoba tersenyum. “Nama saya Rasidi, saya cuma mau tanya apa kau Kemuning?”
Gadis itu tampak terkejut. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya.
“Ceritanya rumit,” kata saya duduk di tempat itu. “Mungkin kau tidak akan percaya, tapi semalam ibumu datang ke dalam mimpi saya.”
“Apa?” wajah Kemuning semakin terkejut. “Tapi bagaimana mungkin?”
Saya pun kemudian menceritakan semuanya. Bahwa selama hampir dua minggu ini saya melihat ibunya duduk di tempat ini, terlihat seperti sedang menunggu sesuatu. Saya juga menceritakan tentang mimpi aneh semalam. Ibunya bercerita bahwa ia tengah menunggu suaminya, ataupun tentang foto Kemuning yang ditunjukan kepada saya.
“Kalau boleh tahu di mana ibumu sekarang, Kemuning? Kenapa ia tidak ada di sini? Apa ayahmu sudah kembali?”
Setitik air mata keluar dari ujung mata gadis itu, dalam keadaan setengah menangis ia berkata bahwa ibunya sudah meninggal tiga bulan yang lalu. Katanya ia meninggal tersambar petir ketika sedang menunggu ayahnya yang entah pergi ke mana.
Saya hanya terdiam dan merasa udara sedingin es mengelus leher saya.