Tutuplah matamu dan hitunglah
sampai tujuh. Begitu membuka mata, kamu akan melihat sebuah keajaiban.
Mungkin ada yang ingin membaca salah satu bab di novel MARS :D
6
INSIDEN
Ribuan kunang-kunang
seperti melayang-layang di atas kepala ketika aku membuka mata. Dunia seolah
berputar membuatku mual dan pusing. Aku kembali mengerjap-ngerjapkan mata,
berusaha menyesuaikan keadaan di sekitar. Rasa-rasanya aku mendengar beberapa
suara yang sudah kukenal. Tapi siapa mereka? Mata dan kepalaku masih terasa
berat.
Sebuah sentuhan lembut
dan hangat membelai pipiku. Perlahan namun pasti, aku membuka mata secara pelan, dan cukup terkejut begitu melihat sosok yang ada di hadapanku.
“Ibu...” kataku pelan.
“Kenapa ibu di sini?”
“Tentu saja kami ingin
menjengukmu, Nak,” jawab ibu mengelus rambutku. “Kamu pingsan selama dua hari.”
Aku baru tersadar di mana
aku berada. Bau obat-obatan menyadarkanku bahwa aku sedang berada di rumah
sakit. Agiel dan Bowo juga ada di sini, wajah mereka terlihat sangat cemas.
“Kenapa aku ada di
sini?” tanyaku bingung. “Apa terjadi sesuatu denganku?”
“Kamu tidak ingat
kegilaan yang telah kamu lakukan, Joe?” tanya Bowo tersenyum di sampingku. “Apa
yang kamu pikirkan? Menyelam ke tengah laut dan menyelamatkan anak itu seorang
diri, kamu bisa saja celaka kan?”
Aku tersenyum
mendengarnya. Aku ingat semuanya, kejadian di Parangtritis yang hampir saja
merenggut nyawaku. “Aku hanya ingin menyelamatkan anak itu. Apakah dia
baik-baik saja?”
“Tentu saja dia baik-baik
saja,” jawab Agiel bergabung di sebelah kananku. “Aku akui kamu sangat
pemberani, Jordan. Tapi kamu juga sangat bodoh, harusnya kamu meminta tolong
pada regu penolong begitu melihat anak itu.”
“Aku tidak berpikir
sampai ke situ,” jawabku saat ibu kembali mengelus lenganku dengan sayang. “Aku
tidak tahu kegilaan apa yang saat itu merasukiku.”
“Kami semua bangga
padamu, Jordan…” kata ibu dengan lembut. “Walau ayahmu tentu saja berpikir kamu
itu sakit jiwa karena menyelamatkan anak
kecil seorang diri, tapi pada intinya ayahmu juga sangat bangga padamu.”
Aku tersenyum mendengar
penuturan ibu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan ayah lakukan bila
bertemu denganku nanti, mungkin dia akan melarangku kuliah di Jogja,
atau mungkin lebih parah, dia akan menghukumku dengan melarangku berada
dekat-dekat dengan laut selama satu dekade.
***
Satu minggu berlalu sejak
kejadian heroik yang aku lakukan di Parangtritis. Tampaknya suasana sudah
kembali normal seperti biasa, sudah tidak ada lagi pujian ataupun
pertanyaan-pertanyaan yang selalu saja sama setiap kali aku berpapasan dengan
mahasiswa lain di koridor. Pertanyaan bagaimana aku menyelamatkan anak kecil
itu.
“Bagaimana rasanya
menjadi bintang kampus selama satu minggu, Jordan?” tanya Agiel kembali
terkekeh.
“Rasanya aku terlihat
lebih tampan dari sebelumnya,” jawabku apatis, Agiel dan Bowo pun tertawa
mendengarnya.
Selimut malam telah
digelar, berhiaskan bintang-bintang berserakan bagai jutaan lilin yang
melayang-layang di langit malam. Di pertengahan bulan September aku menghabiskan
malam Minggu seorang diri. Agiel sedang berkencan dengan Niken di Bukit
Bintang, sedangkan Bowo, sejak peristiwa yang menimpaku di Parangtritis,
tampaknya dia sudah mulai akrab dengan Luna.
Aku termenung sendiri di
dalam kamar, sebagian besar penghuni kost sedang bermalam Minggu dengan
pasangannya masing-masing. Aku sibuk berkutat dengan laptop hanya sekadar main game dan browsing beberapa bacaan.
Setelah kurang lebih
setengah jam aku berkutat dengan laptop untuk mencari berbagai berita terbaru, hingga akhirnya aku mendapati sebuah berita yang membuat jantungku
berdetak cepat. Judul itu bertuliskan Penampakan
UFO di langit Bracknell, Inggris. Aku membaca berita itu dengan seksama.
Aku mengeklik tautan itu
dan mulai membacanya.
Inggris
kembali digemparkan dengan beredarnya kabar tentang
Penampakan
UFO yang terjadi di langit Bracknell pada tanggal
14
Juni lalu…
Sang
saksi mengatakan bahwa benda bercahaya itu adalah UFO.
Menurut
penuturan saksi yang melihat benda bercahaya itu
Melayang
ke arah barat daya dan hilang secara misterius..
Banyak
yang menduga kalau benda bercahaya itu adalah UFO
Yang
melintasi bumi, dan hal tentang penampakan UFO dan alien
Memang
bukanlah kali ini saja terjadi. Menurut penuturan Mc. David, salah satu
penduduk yang tinggal di Bracknell, di tempat ini memang sering terlihat
penampakan UFO...
Jantungku berdetak sangat
cepat begitu selesai membaca berita itu, aku teringat tentang benda bercahaya
menyilaukan yang juga kulihat di langit Jogja beberapa minggu lalu. Apakah benda itu adalah UFO yang sama seperti terlihat di
Inggris?
Aku kembali mencoba
mencari berbagai berita mengenai keberadaan UFO
dan alien yang sampai saat ini masih menjadi misteri yang belum
terpecahkan. Pro dan kontra antara para ilmuwan masih terus terjadi mengenai
keberadaan mahluk-makluk yang hidup di luar bumi. Salah satu planet yang
diyakini sebagai tempat tinggal alien adalah Mars. Berbagai penemuan situs kuno yang dipercaya sebagai jejak
alien bertebaran di berbagai penjuru dunia. Dan salah satu situs kuno yang
cukup terkenal tentang jejak campur tangan alien adalah bangunan Piramid di
Mesir. Banyak para ahli yang menduga bahwa bangunan Piramid itu bukanlah
semata-mata sebagai makam kuno, mereka menduga ada simbol-simbol rahasia yang berhubungan
dengan alien. Selain Piramid di Mesir dan Stonehenge di Inggris, tampaknya masih ada jutaan bangunan kuno
lain yang dipercaya sebagai hasil karya campur tangan mahluk-mahluk cerdas dari
luar bumi. Bahkan aku mempunyai dugaan bahwa Candi Borobudur mungkin bisa
dikatakan sebagai salah satu bangunan kuno yang mungkin saja dibangun dengan
campur tangan alien.
Begitu banyak berita yang
kubaca mengenai keberadaan UFO Dan
alien membuatku semakin merasa yakin bahwa ada kehidupan lain di luar bumi yang
tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.
Perutku tiba-tiba terasa
lapar. Aku melihat arloji yang menunjukan pukul sembilan malam. Aku memutuskan
untuk mencari makan malam.
Angkringan Kali Code di
daerah Kotabaru adalah tempat yang aku tuju malam ini. Aku sering menghabiskan
malam minggu di sini bersama Agiel dan Bowo, tak jarang pula aku mengajak Luna
ke tempat ini saat Agiel ataupun Bowo absen menemaniku.
Suasana angkringan ini
sangat ramai dengan banyaknya pengunjung yang datang ke tempat ini. Memang
tempat ini juga salah satu favorit tempat nongkrong di kalangan mahasiswa
Yogyakarta. Pemandangan Kali Code sangat indah dengan lampu-lampu temaram yang
menyinarinya.
Aku memesan segelas kopi
Joss dan sepiring mie goreng untuk mengganjal perut yang sudah kelaparan.
Setelah memesan makanan itu, aku duduk di atas tikar yang digelar di tempat itu
dan menikmati suasana Kali Code yang terasa eksotik.
Embusan angin malam dan
gemuruh arus sungai yang membelah kota Jogja dapat terdengar jelas dari sini.
Aku bisa melihat riak air sungai yang berkilau gelap dari atas jembatan ini.
“Jordan…” Sebuah suara
merdu membuat jantungku berdetak sangat cepat begitu mendengarnya. Aku terpaku
begitu melihat dua wajah malaikat yang
kini ada di hadapanku.
“Julia…” kataku tercengang melihat dua wajah
malaikat yang kini ada di hadapanku. “Kamu di sini?”
Julia mengangguk dan
duduk di hadapanku dengan sangat anggun. “Ini Carissa,” kata Julia
memperkenalkan seorang gadis malaikat yang datang bersamanya. “Carissa, ini
Jordan.”
Gadis bernama Carissa
itu mengulurkan tangannya yang seputih pualam ke arahku, dan aku menyambutnya.
Carissa seperti tak
nyaman dengan keberadaan orang-orang di sekeliling kami, dia bahkan terlihat
gusar saat penjual angkringan membawakan pesananku dengan tatapan terpesona
melihat Julia dan Carissa.
Tampaknya bukan hanya
penjual angkringan yang terpesona dengan Julia dan Carissa. Hampir semua
wajah-wajah cowok yang ada di tempat ini mengalihkan pandangannya ke arah kami,
seolah kami bertiga adalah tontonan yang sangat langka. Sedangkan para cewek
yang datang bersama pasangannya memandang Julia dan Carissa dengan tatapan
mencela.
Aku merasa risih dengan
tatapan mereka. Aku merasa tidak enak hati melihat Julia dan Carissa terlihat
seperti kuda di pelenglangan.
“Sebaiknya kita pergi
dari sini,” kataku berpaling ke arah Julia dan Carissa saat seorang laki-laki
berotot bersiul dengan kurang ajar ke arah kami. “Sepertinya tempat ini tidak
baik untuk kalian.”
“Halo, cewek,” laki-laki
berotot itu menghampiri kami dan berusaha menyentuh pipi Julia yang langsung
aku tepis.
“Bisa tidak Anda
bertingkah sopan?!” kataku keras saat lelaki bertato itu tampak terhina
mendengar ucapanku. “Apa Anda tidak pernah diajari sopan santun?!”
“Apa masalahmu, bocah
ingusan?!” jawab lelaki itu berang, dia mencengkeram depan bajuku. “Kamu pikir
kamu siapa, kamu hanya anak ingusan.”
“Mereka temanku,” balasku
memandang mata bengis itu. “Kamu tidak boleh mengganggunya.”
Lelaki bertato itu tertawa
mengerikan dan mencengkeram depan bajuku semakin erat. “KAMU TIDAK TAHU
SIAPA AKU, HAA?!” gertaknya menampar wajahku. “AKU BARON, ORANG YANG MENGUASAI
KAWASAN INI.”
Aku meringis perih
mendapat tamparan itu, beberapa pengunjung mulai berhamburan
meninggalkan angkringan dengan tatapan ngeri, sedangkan penjual angkringan
tampak menciut di bawah meja jualannya seraya menerima uang dari para
pengunjung yang membayarnya secara tergesa-gesa.
“Tempat ini bukan
milikmu, Baron,” kataku pedas. “Kamu hanya preman tak berkualitas yang menjarah
uang dengan sangat menjijikan. Harusnya kamu malu.”
Wajah Baron berubah merah
mendengar penghinaanku, dia hampir saja melayangkan pukulan ke perutku sebelum
Julia menyiram wajah Baron dengan kopi Joss. Baron melepaskan cengkraman dan
mendekat ke arah Julia.
“Jangan ganggu dia!”
raungku mencoba bangkit untuk menolong Julia. Aku menarik kaos oblong yang
dipakai Baron dan mencoba memukul punggungnya dengan segenap kekuatanku.
Tubuh kekar Baron
tampaknya tidak merasakan pukulanku, dia berpaling ke arahku dan melayangkan
sebuah pukulan keras ke perut hingga aku merasakan kesakitan yang teramat
sangat. Julia menjerit dan menghampiriku saat aku jatuh terjembab.
“Ambil cewek itu kalau
dia pacarmu,” kata Baron menyeringai ganas saat Julia membantuku berdiri. “Aku
lebih tertarik dengan cewek yang satu ini.”
Baron menghampiri Carissa
dengan ekspresi menjijikan, seolah seekor serigala yang sedang mendekati kelinci
buruannya.
Aku bersiap untuk
menolong Carissa dari bencana yang lebih besar atas apa yang akan dilakukan
Baron. Dengan rasa sakit yang teramat sangat di bagian perut, aku menghampiri
Baron yang semakin dekat dengan Carissa...sebelum aku
berhasil menarik kaos oblong yang dikenakan Baron, tubuh
Baron terpental menghantam motor yang terparkir di tepi jalan.
Aku tertegun melihat apa
yang terjadi dengan Baron, rasanya mustahil bahwa Carissa yang telah melakukan
pukulan menakjubkan terhadap Baron.
Carissa berdiri dengan
canggung, dia terlihat melepaskan kepalan tangannya saat Baron bangkit dengan
mulut berdarah, Baron menatap ngeri ke arah Carissa, dan sedetik kemudian Baron
berlari meninggalkan tempat ini.
“Apa dia yang
melakukannya?” tanyaku kepada Julia yang juga tampak terkejut. “Bagaimana dia
melakukannya?”
Ekspresi datar Julia
sulit kutebak, dia menghampiri Carissa dan mereka terlibat dalam sebuah
percakapan kecil. Tampaknya Julia sedang menasehati Carissa dan Carissa
membantahnya. Dan setelah terjadi percakapan kecil selama setengah menit,
Carissa meninggalkan Julia dengan wajah masam, dia menuju sebuah mobil
chevrolet hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat ini. Carissa menyalakan
mobil dan langsung melesat meninggalkan kami.
Julia menghampiriku.
“Kamu tidak apa-apa?” katanya saat aku meringis merasakan rasa ngilu
kembali menjalar di tubuh. “Aku antar ke rumah sakit ya?”
“Aku baik-baik saja,
Julia,” jawabku menahan rasa ngilu di perut. “Aku tidak perlu ke rumah sakit.”
“Kalau begitu ijinkan aku memeriksanya,”
Julia mengulurkan tangannya ke arahku. “Siapa tahu aku bisa menyembuhkan rasa
sakit itu.”
Julia mengarahkan
tangannya ke perutku, untuk beberapa saat dia memejamkan mata dan sedetik
kemudian kehangatan menjalari perut dan menjalar ke seluruh tubuhku. Rasa
hangat itu menghilangkan semua rasa sakit ini.
“Bagaimana sekarang?”
Julia tersenyum. “Apa masih sakit?”
Aku memegangi perutku dan
merasakan rasa ngilu itu telah lenyap seketika. Aku memandang Julia dengan
tatapan heran. “Bagaimana kamu melakukannya? Bagaimana kamu bisa menyembuhkan
rasa sakit secepat ini?”
“Ini bakat alami yang
kumiliki, Jordan,” Julia menepuk-nepuk kedua tangannya. “Sama sepertimu yang
mempunyai bakat sebagai Sang Pelihat.”
“Sang Pelihat?” aku
mengerenyitkan kening mendengar penuturan Julia. “Apa maksudnya?”
“Kamu mempunyai bakat
istimewa yang tidak dimiliki kebanyakan manusia lain, Jordan,“ jawab Julia
dengan nada suara yang berhati-hati. “Kemampuanmu sebagai Sang Pelihat, mungkin
satu-satunya yang di dunia ini.”
“Aku tidak paham, aku
tidak mengerti dengan Sang Pelihat itu, tentu saja aku Sang Pelihat, aku punya mata kan?”
Julia menggeleng dengan
anggun. “Sang Pelihat dalam makna lain, Jordan,” katanya menatapku tajam.
“Kamu mempunyai bakat khusus untuk melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa
lihat.”
“Apa bakat seperti
bisa melihat hantu?”
“Bakat yang ada padamu
lebih hebat daripada sekadar melihat hantu,” jawab Julia menyentuh bahuku. “Aku
bertaruh hampir semua cendikiawan dan para ilmuan rela melakukan apa pun untuk
mendapatkan bakat unikmu.”
“Aku tidak mengerti
maksudmu, Julia?” tanyaku lagi. “Sang Pelihat apa yang kamu maksud?”
Julia tampaknya tidak mau
memberitahukan tentang bakat istimewa yang konon ada padaku, dia hanya
memberikan sebuah petunjuk bahwa bakat itu bukanlah bisa melihat hantu. Tapi
Sang Pelihat dalam arti lain.
..
Bagi yang ingin memesan novel MARS, silakan hubungi saya :D