Rabu, 06 April 2016

CERPEN "PEREMPUAN PENUNGGU TITIK NOL." DIMUAT DI HARIAN RADAR MOJOKERTO EDISI MINGGU 3 APRIL 2016.












PEREMPUAN PENUNGGU TITIK NOL

RAGIEL JP


Setiap pagi saya melihat wanita itu duduk di bawah pohon beringin yang tumbuh di titik nol. Matanya memandang jauh ke arah selatan. Seolah sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Tempat duduknya pun tak pernah berubah selalu saja tepat di depan Benteng Vredeburg.
Pertama kali saya melihat wanita itu sekitar dua minggu yang lalu. Kebetulan saya selalu lewat jalan itu setiap kali menuju kantor tempat saya bekerja. Pada awalnya saya memang tidak terlalu memerhatikannya. Namun setelah selama dua minggu wanita itu tidak pernah beranjak dari tempat duduknya, saya pun mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang ia tunggu.
Pernah saya bertanya kepada rekan saya mengenai perempuan penunggu itu. Tapi rekan saya bilang bahwa ia tidak pernah melihat wanita itu. Saya pun semakin dibuat penasaran karena dari tiga rekan saya yang saya tanya mengenai perempuan penunggu itu. Tidak satu pun yang pernah melihatnya.
“Kau perhatian sekali, Ras,” kata teman saya ketika saya kembali bercerita bahwa pagi ini saya kembali melihat perempuan penunggu itu. “Ada banyak perempuan yang duduk di titik nol setiap pagi. Mungkin ia hanya gelandangan.”
“Tapi ia selalu saja duduk di tempat yang sama,” kata saya tak puas dengan tanggapan rekan saya. “Ia juga selalu menghadap ke arah selatan, seolah sedang menunggu sesuatu.”
“Kenapa kau tidak coba tanyakan langsung kepada perempuan penunggu itu, Rasidi?” tanya rekan saya sepertinya bosan. “Daripada kau mati penasaran.”
Saya memang berencana untuk menemuinya secara langsung. Coba mencari jawaban kenapa ia selalu duduk di tempat itu. Seolah sedang menunggu sesuatu.

***

Sore harinya, ketika saya pulang dari kantor, saya sengaja berjalan kaki menuju titik nol untuk menemui perempuan itu. Saya sengaja berjalan kaki agar lebih efesien, karena menggunakan motor di jalan Malioboro yang macet pastilah bukan ide yang bagus.
“Kau mau ke mana, Rasidi?” tanya Tarmo, salah satu rekan kerja saya. “Kau tidak langsung pulang?”
“Mau menemui perempuan itu,” jawab saya mencangklongkan tas kerja.
“Perempuan penunggu titik nol itu?”
Saya mengangguk.
Saya tidak tahu apa kalau sore hari perempuan itu ada di sana. Saya tidak pernah tahu, soalnya kalau saya pulang ke kontrakan tidak pernah lewat jalan ini lagi.
Sore hari jalan Malioboro terlihat ramai seperti biasanya. Ratusan penduduk seolah tumpah di jalan. Beberapa pedagang hampir memenuhi setiap sudut. Mulai dari penjual sate, baju, aksesoris hingga penjual kacang rebus menyemut di sini. Suara bising kendaraan dan asap knalpot membuat dada saya terasa sesak.
Sekitar dua puluh menit kemudian saya sampai di titik nol kilometer. Mata saya menyapu tempat itu untuk mencari perempuan yang saya cari. Saya berjalan ke arah benteng dan tidak menemukan keberadaan perempuan itu. Saya jadi bertanya-tanya, apa perempuan itu hanya duduk di sini kalau pagi hari?
Saya mencoba bertanya kepada seorang wanita penjual sate yang kebetulan tidak jauh dari pintu masuk Benteng Vredeburg. Saya bertanya perihal wanita penunggu itu.
“Itu lho perempuan yang suka duduk di tempat itu,” kata saya menunjuk tempat yang biasa diduduki perempuan itu. “Ia biasa duduk di tempat itu dan memandang ke arah selatan. Ia juga sering memakai baju terusan berwarna merah muda.”
Penjual sate itu menggeleng. Mengatakan bahwa hari ini ia tidak melihat perempuan penunggu itu.
Maka sore itu saya memutuskan pulang dengan rasa penasaran yang semakin menggunung. Siapa sebenarnya sosok perempuan penunggu itu?
Mungkin karena saya terlalu memikirkan perempuan penunggu titik nol itu, saya sampai bermimpi sangat aneh. Dalam mimpi itu saya bertemu dengan ia. Perempuan itu tersenyum ke arah saya dan saya juga balas tersenyum. Saya memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya.
“Halo…” Sapa saya ketika duduk di sebelah perempuan itu. “Boleh saya duduk di sini?”
Perempuan itu mengangguk, ia tersenyum sesaat sebelum akhirnya kembali memandang ke arah selatan. Seperti biasanya.
“Sudah lama di Jogja?” tanya saya memberanikan diri.
Perempuan itu berpaling ke arah saya. “Sudah dua tahun.” Jawabnya pelan. “Siapa namamu?”
Saya sedikit terkejut mendengar perempuan itu menanyakan nama saya. “Rasidi, nama saya Rasidi.”
“Aku Arum,” jawabnya memperkenalkan diri. “Sudah lama tinggal di Jogja?”
“Baru dua bulan,” jawab saya kikuk. “Kalau boleh tahu, kenapa kau selalu duduk di sini setiap pagi, Arum?”
Perempuan bernama Arum itu terdiam. Ia menundukan wajahnya. Saya bisa mendengar kalau perempuan itu menangis sesenggukan.
“Saya minta maaf kalau pertanyaan saya menyinggungmu…” saya merasa tidak enak hati begitu melihat perempuan itu menangis.
Arum mengangkat wajahnya. Air mata membekas jelas di pipinya yang kurus. Ia tersenyum sekilas sebelum kembali berbicara. “Aku sedang menunggu seseorang,” katanya akhirnya.
“Siapa?” tanya saya tanpa sadar. “Kau menunggu suamimu?”
Arum mengangguk. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku baju terusannya. Dan saya tahu bahwa itu sebuah foto.
“Ini anak perempuanku,” katanya memperlihatkan foto itu ke hadapan saya. “Namanya Kemuning.”
Saya memerhatikan wajah di dalam foto itu. Seorang remaja berusia sekitar tujuh belas tahun sedang berangkulan dengan Arum. Mereka berdua sangat mirip, mereka sama-sama mempunyai mata berwarna cokelat cerah dengan jidat yang hampir identik.
“Lalu di mana suamimu? Tanya saya ketika perempuan itu kembali memasukan foto itu ke dalam saku bajunya. “Apa ia tidak datang menemuimu?”
Perempuan itu hanya tersenyum. Dan setelah itu saya terbangun ketika mendengar alarm ponsel saya berbunyi nyaring.

***

Pagi harinya saya memutuskan untuk menemui perempuan penunggu itu. Saya semakin penasaran dibuatnya. Terlebih setelah saya bermimpi bertemu dengannya. Saya tidak tahu kenapa semua ini terjadi kepada saya, tapi yang jelas bahwa semua ini saling berhubungan.
Maka, setelah saya sarapan semangkuk soto yang saya beli di dekat rumah kontrakan, saya bergegas menghidupkan motor dan langsung meluncur ke titik nol.
“Semoga perempuan itu sudah di sana.” Gumam saya dalam hati. Saya melirik jam di tangan kanan yang sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Ini memang terlalu awal untuk masuk kantor. Tapi keputusan saya sudah bulat, saya akan menemui perempuan penunggu itu dulu sebelum ke kantor.
Beruntung jalanan pagi ini tidak begitu macet, karena lima belas menit kemudian akhirnya saya sampai di titik nol.
Suasana titik nol kilometer pagi ini tampak lenggang. Hanya beberapa orang yang sedang duduk-duduk atau sekadar olah raga lari. Setelah memarkirkan motor, saya berjalan ke tempat di mana perempuan itu biasa duduk.
Pandangan saya kembali menyapu tempat itu dan kembali tidak mendapati perempuan penunggu itu. Saya mulai merasa kecewa karena rasa penasaran saya tampaknya tidak menemukan jawaban. Saya jadi bertanya-tanya, di mana perempuan itu sekarang? Apa dia sudah bertemu suaminya?
Saya tidak menyerah kali ini. Saya memutuskan untuk menunggu perempuan itu di sini. Mungkin saya terlalu pagi datang ke sini. Bukankah biasanya saya melihat perempuan itu sekitar pukul tujuh lewat lima belas menit. Saya kembali melirik arloji di tangan kanan, baru menunjukan jam tujuh. Mungkin lima belas menit lagi perempuan itu akan datang.
Ponsel saya tiba-tiba berdering. Terpampang nama salah satu rekan kerja saya di layar ponsel. Saya segera menekan tombol hijau.
“Kau di mana, Rasidi?” tanya suara di ujung telepon. “Jam setengah delapan kau harus sudah sampai kantor. Bos mengatakan bahwa akan ada rapat mendadak.”
Saya mengembuskan napas sedikit kecewa karena tampaknya hari ini saya kembali gagal bertemu perempuan penunggu itu. “Sebentar lagi saya sampai,” kata saya mematikan telepon.
Saya bangkit dari tempat duduk ini. Mungkin Tuhan memang belum menakdirkan saya bertemu dengan perempuan penunggu itu. Saya kembali memasukan ponsel ke dalam tas kerja saya, merapikan seragam kerja—Ketika saya hendak menghampiri motor, mata saya membola begitu melihat seseorang yang sepertinya saya kenal.
Seorang remaja perempuan berambut panjang sebahu berjalan menuju tempat duduk yang baru saja saya tinggalkan. Ia membawa setangkai bunga mawar berwarna merah dan meletakan di tempat itu.
Saya bergegas menghampiri remaja itu karena saya yakin bahwa ia adalah Kemuning. Anak perempuan penunggu yang (mungkin) bernama Arum—yang semalam datang ke dalam mimpi saya.
“Maaf…” Kata saya begitu sampai di sebelah gadis itu. “Boleh saya tanya sesuatu?”
Gadis itu mendongak dan wajahnya tampak terkejut melihat saya. Gadis itu berdiri dan mundur beberapa langkah. Mungkin ia menganggap saya seorang penjahat.
“Saya bukan orang jahat,” saya mencoba tersenyum. “Nama saya Rasidi, saya cuma mau tanya apa kau Kemuning?”
Gadis itu tampak terkejut. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya.
“Ceritanya rumit,” kata saya duduk di tempat itu. “Mungkin kau tidak akan percaya, tapi semalam ibumu datang ke dalam mimpi saya.”
“Apa?” wajah Kemuning semakin terkejut. “Tapi bagaimana mungkin?”
Saya pun kemudian menceritakan semuanya. Bahwa selama hampir dua minggu ini saya melihat ibunya duduk di tempat ini, terlihat seperti sedang menunggu sesuatu. Saya juga menceritakan tentang mimpi aneh semalam. Ibunya bercerita bahwa ia tengah menunggu suaminya, ataupun tentang foto Kemuning yang ditunjukan kepada saya.
“Kalau boleh tahu di mana ibumu sekarang, Kemuning? Kenapa ia tidak ada di sini? Apa ayahmu sudah kembali?”
Setitik air mata keluar dari ujung mata gadis itu, dalam keadaan setengah menangis ia berkata bahwa ibunya sudah meninggal tiga bulan yang lalu. Katanya ia meninggal tersambar petir ketika sedang menunggu ayahnya yang entah pergi ke mana.
Saya hanya terdiam dan merasa udara sedingin es mengelus leher saya.

Selasa, 08 Maret 2016

RAJA JATUH CINTA DIMUAT DI MAJALAH HAI EDISI 26 JAN - 01 FEB 2015




Ide awal cerpen ini berasal dari lagu Numata dengan judul yang sama. Soo, selamat membaca cerpen sederhana ini ya... :)



RAJA JATUH CINTA
BY
RAGIEL JP





    Sebagai seorang remaja berusia tujuh belas tahun, gue bisa dibilang mempunyai segalanya. Gue tampan dan kaya. Tidak susah bagi gue untuk mendapatkan hati para cewek yang ada di sekolah ini. Hanya tinggal memberikan bunga dan kata-kata romantis, gue jamin dalam hitungan tujuh detik, cewek itu akan tunduk seperti anak kucing.
     Bagi gue, cewek itu tidak ada ubahnya dengan sebuah baju. Mana yang pantas dipakai buat nonton, mana yang pantas dipakai buat ke pesta dan mana yang pantas dipakai buat makan malam. Gue tinggal pilih satu di antara banyak cewek yang sudah gue jadikan pacar, gue tidak peduli dengan perasaan mereka begitu mengetahui gue mempunyai cewek lain, toh kalau mereka minta putus, yang rugi mereka sendiri.
     Gue tidak peduli dengan sebuatan Raja jatuh cinta yang diberikan dua sahabat gue, Adit dan Abi. Bagi gue sebutan itu malah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, menandakan bahwa semua cewek di sekolah ini menginginkan gue.
     “Lo udah jadian sama Niken?” tanya Abi saat kami sedang berada di kantin. “Bukannya lo masih jadian sama Nadia itu?”
     “Nadia udah nggak menarik lagi buat gue,” jawab gue cepat. “Kalau lo mau ambil saja dia, bro.”
     “Bukankah baru satu minggu yang lalu kalian jadian?” timpal Adit terus mengunyah bakso yang dia pesan.
     “Jangan panggil gue Raja Hutama kalau gue nggak bisa dapetin Niken,” kata gue nyengir. “Gue udah nggak ada kecocokan lagi sama Nadia.”
    Dari kejauhan, gue melihat seorang cewek datang mendekati gue, cewek itu adalah Niken. “Hai, semuanya…” sapa Niken ceria saat gue mempersilakannya untuk duduk di sebelah gue.
     “Lo mau makan apa, honey?” tanya gue pura-pura mengambil bulu mata yang jatuh di mata Niken.
     “Apa aja deh,” Niken tersenyum ketika gue usap pipinya dengan lembut. “Asal makan sama lo, gue sudah bahagia.”
     Gue tersenyum paling manis mendengarnya. Gue melirik ke arah Adit dan Abi untuk meninggalkan meja ini. Adit dan Abi akhirnya meninggalkan gue dan Niken. “Lo cantik, pasti sangat beruntung yang jadi cowok lo nanti.”
     Niken kembali tersenyum, kali ini dia agak tersipu. “Lo berlebihan, Raja, gue cewek yang biasa saja.”
    “Bicara lo sangat indah, Niken,” gumam gue menggunakan kata-kata pamungkas. “Senang rasanya bisa duduk sama lo, membicarakan tentang masa depan kita yang indah, bagaimana menurut lo?”
     “Apanya?”
     “Masa depan kita, maukah lo menemani gue menggapai masa depan?”
     “Raja… gue...”
     “Gue cinta lo,” kata gue langsung, tanpa basa-basi. “Maukah lo jadi pacar gue?”
     Niken mengangkat wajahnya dan gue langsung tahu jika Niken telah termakan rayuan gue. Wajah Niken kembali bersemu merah ketika gue membelai kepalanya. “Niken, gue mencintai lo.”
     Niken mengangguk menerima cinta gue.

***

    Sama seperti hubungan yang sudah-sudah, hubungan kami hanya bertahan dua minggu, gue benar-benar sudah bosan dengan Niken. Gue tidak peduli ketika Niken menangis tersedu-sedu ketika  gue memutusnya. Gue tentu saja tidak mudah terpengaruh dengan air mata itu itu. Gue tetap memutuskan Niken.
   “Kali ini siapa korban selanjutnya?” Adit menggeleng-gelengkan kepalanya ketika gue menceritakan perihal putusnya hubungan gue sama Niken. “Lo benar-benar playboy, setiap bulan lo selalu ganti cewek, bener-bener gila lo.”
     “Cewek bagi gue itu seperti baju,” Kata gue terpesona dengan seorang gadis yang  tiba-tiba lewat di hadapan gue. “Kalau sudah bosan, bukankah sebaiknya kita ganti yang baru.”
Abi dan Adit hanya tertawa.
     “Bagaimana kalau kita taruhan?” tantang Adit tiba-tiba.
     “Taruhan apa?” tanya gue cuek.
     “Lo kenal Malla?”
     “Yang tampilannya cupu itu?” gue jijik jika mengingat gadis berkacamata tebal itu. “Ada apa dengan dia?”
    “Bagaimana kalau kita taruhan, apakah lo bisa membuat Malla jatuh cinta sama lo dalam waktu satu minggu?”
     “Apa taruhannya?” gue cukup bimbang untuk menerima tatangan Adit untuk mendekati Malla.
     “Kalau lo bisa membuat Malla jatuh cinta sama lo dalam waktu satu minggu, gue traktir lo selama tiga bulan.”
     “Gue nggak setuju. Bagaimana jika gue menang, lo yang pacaran sama Malla?” tantang gue balik. “Jika gue berhasil membuat dia jatuh cinta sama gue, lo harus ngumumin di lapangan kalau lo mencintai Malla.”
     “Deal.” Adit menjabat tangan gue. “Itu berati jika lo gagal, lo harus mengumumkan kepada semua orang yang ada di sekolah bahwa lo mencintai Malla?”
     Gue mengangguk sebagai jawaban.
     Maka dimulailah misi gue mendekati Malla. “Hai…” sapa gue ketika melihat Malla di perpus. “Boleh gue bicara sebentar sama lo?”
     Malla hanya mengangkat wajahnya. “Gue nggak ada waktu,” jawab Malla meninggalkan gue sendirian di perpus.
     Hari kedua gue menjalankan misi ini, tampaknya juga gagal, dia menolak ketika gue memberinya bunga. Bahkan, pada hari ketiga gue dekati Malla, dia dengan sangat sok menolak gue saat gue mencoba untuk mengajaknya nonton bioskop.
     Pada hari keempat akhirnya Malla mulai mau mengajak gue bicara walau hanya dijawab dengan kata “em” dan “ya”. Tapi setidaknya, dalam tiga hari kedepan gue mungkin mempunyai kesempatan untuk membuat Malla jatuh cinta pada gue.
     Hari kelima dan keenam, entah kenapa gue mulai merasa ada sebuah perasaan aneh ketika Malla mengajak gue ke sebuah panti asuhan yang selama ini dikelolanya. Sumpah, gue sama sekali tidak menduga jika Malla mempunyai sifat mulia seperti ini. Melihat sifat dan tabiat Malla saat mengurusi seorang anak autis, membuat gue malu terhadap diri sendiri. Gue yang selama ini selalu hidup dalam kemewahan seolah sedikit mendapat cahaya terang dari ketulusan Malla. Jika selama ini gue menganggap semua cewek hanya seperti baju, tapi tidak dengan dia, gue merasa bahwa Malla ada sebuah koleksi baju yang sangat mahal dan langka.
     Hari ketujuh. Ini adalah hari terakhir gue bertaruhan dengan Adit, gue mengaku kalah dengan Adit karena akhirnya gelar Raja jatuh cinta yang gue sandang selama ini telah dikalahkan Malla. Gue bersyukur karena kalah dari taruhan itu, sehingga gue bisa menutupi kebenaran jika gue telah benar-benar jatuh cinta kepadanya.

Selasa, 01 Maret 2016

NUKILAN MARS



Tutuplah matamu dan hitunglah sampai tujuh. Begitu membuka mata, kamu akan melihat sebuah keajaiban.


Mungkin ada yang ingin membaca salah satu bab di novel MARS :D





6
INSIDEN



   Ribuan kunang-kunang seperti melayang-layang di atas kepala ketika aku membuka mata. Dunia seolah berputar membuatku mual dan pusing. Aku kembali mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha menyesuaikan keadaan di sekitar. Rasa-rasanya aku mendengar beberapa suara yang sudah kukenal. Tapi siapa mereka? Mata dan kepalaku masih terasa berat.
   Sebuah sentuhan lembut dan hangat membelai pipiku. Perlahan namun pasti, aku membuka mata secara pelan, dan cukup terkejut begitu melihat sosok yang ada di hadapanku.
   “Ibu...” kataku pelan. “Kenapa ibu di sini?”
   “Tentu saja kami ingin menjengukmu, Nak,” jawab ibu mengelus rambutku. “Kamu pingsan selama dua hari.”
   Aku baru tersadar di mana aku berada. Bau obat-obatan menyadarkanku bahwa aku sedang berada di rumah sakit. Agiel dan Bowo juga ada di sini, wajah mereka terlihat sangat cemas.
   “Kenapa aku ada di sini?” tanyaku bingung. “Apa terjadi sesuatu denganku?”
   “Kamu tidak ingat kegilaan yang telah kamu lakukan, Joe?” tanya Bowo tersenyum di sampingku. “Apa yang kamu pikirkan? Menyelam ke tengah laut dan menyelamatkan anak itu seorang diri, kamu bisa saja celaka kan?”
   Aku tersenyum mendengarnya. Aku ingat semuanya, kejadian di Parangtritis yang hampir saja merenggut nyawaku. “Aku hanya ingin menyelamatkan anak itu. Apakah dia baik-baik saja?”
   “Tentu saja dia baik-baik saja,” jawab Agiel bergabung di sebelah kananku. “Aku akui kamu sangat pemberani, Jordan. Tapi kamu juga sangat bodoh, harusnya kamu meminta tolong pada regu penolong begitu melihat anak itu.”
   “Aku tidak berpikir sampai ke situ,” jawabku saat ibu kembali mengelus lenganku dengan sayang. “Aku tidak tahu kegilaan apa yang saat itu merasukiku.”
   “Kami semua bangga padamu, Jordan…” kata ibu dengan lembut. “Walau ayahmu tentu saja berpikir kamu itu sakit jiwa  karena menyelamatkan anak kecil seorang diri, tapi pada intinya ayahmu juga sangat bangga padamu.”
   Aku tersenyum mendengar penuturan ibu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan ayah lakukan bila bertemu denganku nanti, mungkin dia akan melarangku kuliah di Jogja, atau mungkin lebih parah, dia akan menghukumku dengan melarangku berada dekat-dekat dengan laut selama satu dekade.

***


   Satu minggu berlalu sejak kejadian heroik yang aku lakukan di Parangtritis. Tampaknya suasana sudah kembali normal seperti biasa, sudah tidak ada lagi pujian ataupun pertanyaan-pertanyaan yang selalu saja sama setiap kali aku berpapasan dengan mahasiswa lain di koridor. Pertanyaan bagaimana aku menyelamatkan anak kecil itu.
   “Bagaimana rasanya menjadi bintang kampus selama satu minggu, Jordan?” tanya Agiel kembali terkekeh.
   “Rasanya aku terlihat lebih tampan dari sebelumnya,” jawabku apatis, Agiel dan Bowo pun tertawa mendengarnya.


   Selimut malam telah digelar, berhiaskan bintang-bintang berserakan bagai jutaan lilin yang melayang-layang di langit malam. Di pertengahan bulan September aku menghabiskan malam Minggu seorang diri. Agiel sedang berkencan dengan Niken di Bukit Bintang, sedangkan Bowo, sejak peristiwa yang menimpaku di Parangtritis, tampaknya dia sudah mulai akrab dengan Luna.
   Aku termenung sendiri di dalam kamar, sebagian besar penghuni kost sedang bermalam Minggu dengan pasangannya masing-masing. Aku sibuk berkutat dengan laptop hanya sekadar main game dan browsing beberapa bacaan.
   Setelah kurang lebih setengah jam aku berkutat dengan laptop untuk mencari berbagai berita terbaru, hingga akhirnya aku mendapati sebuah berita yang membuat jantungku berdetak cepat. Judul itu bertuliskan Penampakan UFO di langit Bracknell, Inggris. Aku membaca berita itu dengan seksama.
   Aku mengeklik tautan itu dan mulai membacanya.

Inggris kembali digemparkan dengan beredarnya kabar tentang
Penampakan UFO yang terjadi di langit Bracknell pada tanggal
14 Juni lalu…
Sang saksi mengatakan bahwa benda bercahaya itu adalah UFO.
Menurut penuturan saksi yang melihat benda bercahaya itu
Melayang ke arah barat daya dan hilang secara misterius..
Banyak yang menduga kalau benda bercahaya itu adalah UFO
Yang melintasi bumi, dan hal tentang penampakan UFO dan alien
Memang bukanlah kali ini saja terjadi. Menurut penuturan Mc. David, salah satu penduduk yang tinggal di Bracknell, di tempat ini memang sering terlihat penampakan UFO...

   Jantungku berdetak sangat cepat begitu selesai membaca berita itu, aku teringat tentang benda bercahaya menyilaukan yang juga kulihat di langit Jogja beberapa minggu lalu. Apakah benda itu adalah UFO yang sama seperti terlihat di Inggris?
   Aku kembali mencoba mencari berbagai berita mengenai keberadaan UFO dan alien yang sampai saat ini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Pro dan kontra antara para ilmuwan masih terus terjadi mengenai keberadaan mahluk-makluk yang hidup di luar bumi. Salah satu planet yang diyakini sebagai tempat tinggal alien adalah Mars. Berbagai penemuan situs kuno yang dipercaya sebagai jejak alien bertebaran di berbagai penjuru dunia. Dan salah satu situs kuno yang cukup terkenal tentang jejak campur tangan alien adalah bangunan Piramid di Mesir. Banyak para ahli yang menduga bahwa bangunan Piramid itu bukanlah semata-mata sebagai makam kuno, mereka menduga ada simbol-simbol rahasia yang berhubungan dengan alien. Selain Piramid di Mesir dan Stonehenge di Inggris, tampaknya masih ada jutaan bangunan kuno lain yang dipercaya sebagai hasil karya campur tangan mahluk-mahluk cerdas dari luar bumi. Bahkan aku mempunyai dugaan bahwa Candi Borobudur mungkin bisa dikatakan sebagai salah satu bangunan kuno yang mungkin saja dibangun dengan campur tangan alien.
   Begitu banyak berita yang kubaca mengenai keberadaan UFO Dan alien membuatku semakin merasa yakin bahwa ada kehidupan lain di luar bumi yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.
   Perutku tiba-tiba terasa lapar. Aku melihat arloji yang menunjukan pukul sembilan malam. Aku memutuskan untuk mencari makan malam.
   Angkringan Kali Code di daerah Kotabaru adalah tempat yang aku tuju malam ini. Aku sering menghabiskan malam minggu di sini bersama Agiel dan Bowo, tak jarang pula aku mengajak Luna ke tempat ini saat Agiel ataupun Bowo absen menemaniku.
   Suasana angkringan ini sangat ramai dengan banyaknya pengunjung yang datang ke tempat ini. Memang tempat ini juga salah satu favorit tempat nongkrong di kalangan mahasiswa Yogyakarta. Pemandangan Kali Code sangat indah dengan lampu-lampu temaram yang menyinarinya.
  Aku memesan segelas kopi Joss dan sepiring mie goreng untuk mengganjal perut yang sudah kelaparan. Setelah memesan makanan itu, aku duduk di atas tikar yang digelar di tempat itu dan menikmati suasana Kali Code yang terasa eksotik.
   Embusan angin malam dan gemuruh arus sungai yang membelah kota Jogja dapat terdengar jelas dari sini. Aku bisa melihat riak air sungai yang berkilau gelap dari atas jembatan ini.
   “Jordan…” Sebuah suara merdu membuat jantungku berdetak sangat cepat begitu mendengarnya. Aku terpaku begitu melihat  dua wajah malaikat yang kini ada di hadapanku.
   “Julia…” kataku tercengang melihat dua wajah malaikat yang kini ada di hadapanku. “Kamu di sini?”
   Julia mengangguk dan duduk di hadapanku dengan sangat anggun. “Ini Carissa,” kata Julia memperkenalkan seorang gadis malaikat yang datang bersamanya. “Carissa, ini Jordan.”
   Gadis bernama Carissa itu mengulurkan tangannya yang seputih pualam ke arahku, dan aku menyambutnya.
   Carissa seperti tak nyaman dengan keberadaan orang-orang di sekeliling kami, dia bahkan terlihat gusar saat penjual angkringan membawakan pesananku dengan tatapan terpesona melihat Julia dan Carissa.
   Tampaknya bukan hanya penjual angkringan yang terpesona dengan Julia dan Carissa. Hampir semua wajah-wajah cowok yang ada di tempat ini mengalihkan pandangannya ke arah kami, seolah kami bertiga adalah tontonan yang sangat langka. Sedangkan para cewek yang datang bersama pasangannya memandang Julia dan Carissa dengan tatapan mencela.
   Aku merasa risih dengan tatapan mereka. Aku merasa tidak enak hati melihat Julia dan Carissa terlihat seperti kuda di pelenglangan.
   “Sebaiknya kita pergi dari sini,” kataku berpaling ke arah Julia dan Carissa saat seorang laki-laki berotot bersiul dengan kurang ajar ke arah kami. “Sepertinya tempat ini tidak baik untuk kalian.”
   “Halo, cewek,” laki-laki berotot itu menghampiri kami dan berusaha menyentuh pipi Julia yang langsung aku tepis.
   “Bisa tidak Anda bertingkah sopan?!” kataku keras saat lelaki bertato itu tampak terhina mendengar ucapanku. “Apa Anda tidak pernah diajari sopan santun?!”
   “Apa masalahmu, bocah ingusan?!” jawab lelaki itu berang, dia mencengkeram depan bajuku. “Kamu pikir kamu siapa, kamu hanya anak ingusan.”
   “Mereka temanku,” balasku memandang mata bengis itu. “Kamu tidak boleh mengganggunya.”
   Lelaki bertato itu tertawa mengerikan dan mencengkeram depan bajuku semakin erat. “KAMU TIDAK TAHU SIAPA AKU, HAA?!” gertaknya menampar wajahku. “AKU BARON, ORANG YANG MENGUASAI KAWASAN INI.”
   Aku meringis perih mendapat tamparan itu, beberapa pengunjung mulai berhamburan meninggalkan angkringan dengan tatapan ngeri, sedangkan penjual angkringan tampak menciut di bawah meja jualannya seraya menerima uang dari para pengunjung yang membayarnya secara tergesa-gesa.
   “Tempat ini bukan milikmu, Baron,” kataku pedas. “Kamu hanya preman tak berkualitas yang menjarah uang dengan sangat menjijikan. Harusnya kamu malu.”
   Wajah Baron berubah merah mendengar penghinaanku, dia hampir saja melayangkan pukulan ke perutku sebelum Julia menyiram wajah Baron dengan kopi Joss. Baron melepaskan cengkraman dan mendekat ke arah Julia.
   “Jangan ganggu dia!” raungku mencoba bangkit untuk menolong Julia. Aku menarik kaos oblong yang dipakai Baron dan mencoba memukul punggungnya dengan segenap kekuatanku.
   Tubuh kekar Baron tampaknya tidak merasakan pukulanku, dia berpaling ke arahku dan melayangkan sebuah pukulan keras ke perut hingga aku merasakan kesakitan yang teramat sangat. Julia menjerit dan menghampiriku saat aku jatuh terjembab.
   “Ambil cewek itu kalau dia pacarmu,” kata Baron menyeringai ganas saat Julia membantuku berdiri. “Aku lebih tertarik dengan cewek yang satu ini.”
   Baron menghampiri Carissa dengan ekspresi menjijikan, seolah seekor serigala yang sedang mendekati kelinci buruannya.
   Aku bersiap untuk menolong Carissa dari bencana yang lebih besar atas apa yang akan dilakukan Baron. Dengan rasa sakit yang teramat sangat di bagian perut, aku menghampiri Baron yang semakin dekat dengan Carissa...sebelum aku berhasil menarik kaos oblong yang dikenakan Baron, tubuh Baron terpental menghantam motor yang terparkir di tepi jalan.
   Aku tertegun melihat apa yang terjadi dengan Baron, rasanya mustahil bahwa Carissa yang telah melakukan pukulan menakjubkan terhadap Baron.
   Carissa berdiri dengan canggung, dia terlihat melepaskan kepalan tangannya saat Baron bangkit dengan mulut berdarah, Baron menatap ngeri ke arah Carissa, dan sedetik kemudian Baron berlari meninggalkan tempat ini.
   “Apa dia yang melakukannya?” tanyaku kepada Julia yang juga tampak terkejut. “Bagaimana dia melakukannya?”
   Ekspresi datar Julia sulit kutebak, dia menghampiri Carissa dan mereka terlibat dalam sebuah percakapan kecil. Tampaknya Julia sedang menasehati Carissa dan Carissa membantahnya. Dan setelah terjadi percakapan kecil selama setengah menit, Carissa meninggalkan Julia dengan wajah masam, dia menuju sebuah mobil chevrolet hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat ini. Carissa menyalakan mobil dan langsung melesat meninggalkan kami.
   Julia menghampiriku. “Kamu tidak apa-apa?” katanya saat aku meringis merasakan rasa ngilu kembali menjalar di tubuh. “Aku antar ke rumah sakit ya?”
   “Aku baik-baik saja, Julia,” jawabku menahan rasa ngilu di perut. “Aku tidak perlu ke rumah sakit.”
   “Kalau begitu ijinkan aku memeriksanya,” Julia mengulurkan tangannya ke arahku. “Siapa tahu aku bisa menyembuhkan rasa sakit itu.”
   Julia mengarahkan tangannya ke perutku, untuk beberapa saat dia memejamkan mata dan sedetik kemudian kehangatan menjalari perut dan menjalar ke seluruh tubuhku. Rasa hangat itu menghilangkan semua rasa sakit ini.
   “Bagaimana sekarang?” Julia tersenyum. “Apa masih sakit?”
   Aku memegangi perutku dan merasakan rasa ngilu itu telah lenyap seketika. Aku memandang Julia dengan tatapan heran. “Bagaimana kamu melakukannya? Bagaimana kamu bisa menyembuhkan rasa sakit secepat ini?”
   “Ini bakat alami yang kumiliki, Jordan,” Julia menepuk-nepuk kedua tangannya. “Sama sepertimu yang mempunyai bakat sebagai Sang Pelihat.
   “Sang Pelihat?” aku mengerenyitkan kening mendengar penuturan Julia. “Apa maksudnya?”
   “Kamu mempunyai bakat istimewa yang tidak dimiliki kebanyakan manusia lain, Jordan,“ jawab Julia dengan nada suara yang berhati-hati. “Kemampuanmu sebagai Sang Pelihat, mungkin satu-satunya yang di dunia ini.”
   “Aku tidak paham, aku tidak mengerti dengan Sang Pelihat itu, tentu saja aku Sang Pelihat, aku punya mata kan?”
   Julia menggeleng dengan anggun. “Sang Pelihat dalam makna lain, Jordan,” katanya menatapku tajam. “Kamu mempunyai bakat khusus untuk melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat.”
   “Apa bakat seperti bisa melihat hantu?”
   “Bakat yang ada padamu lebih hebat daripada sekadar melihat hantu,” jawab Julia menyentuh bahuku. “Aku bertaruh hampir semua cendikiawan dan para ilmuan rela melakukan apa pun untuk mendapatkan bakat unikmu.”
   “Aku tidak mengerti maksudmu, Julia?” tanyaku lagi. “Sang Pelihat apa yang kamu maksud?”
   Julia tampaknya tidak mau memberitahukan tentang bakat istimewa yang konon ada padaku, dia hanya memberikan sebuah petunjuk bahwa bakat itu bukanlah bisa melihat hantu. Tapi Sang Pelihat dalam arti lain.


..
Bagi yang ingin memesan novel MARS, silakan hubungi saya :D