Kamis, 29 September 2016

NUKILAN NOVEL JUPITER (SANG PENGENDALI MIMPI)

EPISODE 6
PUZZLE MIMPI



Malam harinya, bayang-bayang sosok gelap yang hadir di dalam mimpi terus mengganggu pikiranku. Jutaan pertanyaan berputar hebat di kepala. Siapakah dia sebenarnya? Kenapa dia bisa hadir di dalam mimpiku?
Belum lagi dengan adanya luka fisik seperti tanganku yang memar. Apa ini adalah sebuah dampak dari kelainan yang kumiliki? Selama enam belas tahun, rasanya baru pertama kali aku takut dengan mimpiku sendiri. Bagaimana jika sosok gelap itu datang kembali ke dalam mimpi dan memutilasiku dengan parang? Sungguh mengerikan membayangkan hal itu, mengingat tanganku yang dirantai di dalam mimpi telah memberikan bekas memar di pergelangan tangan. Aku tidak mau mengambil resiko jika tubuhku akan saling terpisah jika memang sosok gelap itu memutilasiku di dalam mimpi.
Aku menutup buku biologi tentang pembelahan sel, melemparkan begitu saja ke rak buku. Aku memutuskan untuk turun ke ruang keluarga, melihat ayah dan ibu sedang terlihat percakapan serius. Mungkin saja ayah sedang membicarakan tentang pesanan traktor, sedangkan ibu menimpalinya dengan tawa ringan, menyadari jika jumlah pesanan traktor terus meningkat, itu artinya akan ada tambahan uang belanja. Maklumlah, aku tahu jika ibu sangat menginginkan kulkas baru. Itu terbukti dari beberapa minggu yang lalu, ketika aku dengan usil masuk ke dalam mimpinya, dan melihat ibu sedang berpose dengan kulkas tiga pintu yang di dalamnya terdapat ruang penghangat dan pendingin makanan.
Ketika ibu bangun, aku masih ada di sampingnya dengan terkekeh. Ibu hanya mengerutkan kening seraya berkata, “kamu kenapa tertawa, Jupiter?” Sebagai jawaban aku menirukan pose ibu dengan kulkas impiannya.
“Aku dengar Samsul sedang meliput berita pembunuhan lagi ya?” kata ayah ketika aku tanpa sengaja mendengar sedikit pembicaraan mereka. “Aku sebenarnya tidak setuju kalau dia bekerja sebagai wartawan, terlalu banyak resiko dan bahaya yang harus ditanggungnya.”
“Menjadi wartawan adalah impian Samsul sejak kecil,” jawab ibu pelan. “Aku ingat bagaimana dia mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang wartawan. Mungkin dia juga tahu resikonya, tapi toh berita yang dia tulis semuanya fakta. Apalagi tidak jarang tulisan-tulisan yang dibuatnya menjadi petunjuk untuk menyingkap beberapa  kasus kematian.”
“Aku tahu,” tambah ayah. “Tapi sepertinya beberapa kasus pembunuhan yang diliput adikmu itu terkesan aneh.”
Aku semakin menajamkan pendengaran untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Apanya yang terkesan aneh?” tanya ibu lagi. Ibu sepertinya belum terlalu paham ke mana arah pembicaraan ayah. “Apa tentang kasus seorang wanita yang terjun dari lantai lima belas? Atau seseorang yang meninggal karena keracunan makanan?”
Ayah menggeleng. “Bukan tentang itu, kalau hal itu sih masih terlihat wajar. Tapi tentang kasus yang lain, lagi pula ini bukan pertama kalinya terjadi, kan? Beberapa tahun yang lalu Samsul juga pernah meliput berita yang hampir sama.”
“Maksudnya mayat yang digantung terbalik itu?”
Jantungku berdebar kencang. Semakin menajamkan telinga untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Bukankah kasus itu sampai sekarang belum terpecahkan?” tanya ayah lagi. “Dan kini Samsul mencoba meliput kasus yang sama. Ini hanya sebatas kekhawatiranku saja, aku takut terjadi sesuatu yang buruk jika Samsul terus meliput berita seperti ini. Apa tidak ada bahan berita lain selain mayat terbalik itu? Misalnya saja tentang korupsi atau skandal para pejabat.”
“Mungkin saja itu permintaan bagian redaksinya, tapi entahlah. Samsul selalu terlihat senang jika meliput berita pembunuhan yang janggal. Ayah ingat ketika Samsul tidak sengaja menemukan titik terang dalam kasus pembunuhan seorang menejer? Dalam tulisannya, Samsul mengatakan bahwa itu bukanlah bunuh diri. Dan setelah polisi kembali melakukan penyelidikan, memang benar itu bukanlah tindakan bunuh diri, melainkan sebuah pembunuhan.”
Aku ingat dengan berita itu, Paman menceritakan kejanggalan dalam berita yang diliputnya beberapa bulan yang lalu. Mulai dari posisi korban ketika ditemukan, hingga beberapa kejanggalan-kejanggalan lain seperti permen karet di rambutnya. Hingga akhirnya Paman menuliskan bahwa itu bukanlah tindakan bunuh diri seperti yang diyakini kebanyakan orang.
“Sebaiknya kita tidur,” kata ayah mulai menguap. “Kita sudahi pembicaraan tentang Samsul. Seperti katamu, pasti Samsul sudah siap dengan segala resikonya. Lagi pula beberapa pekerjaan di kantor membuatku pusing. Tadi ada salah satu klien ayah yang komplain karena beberapa bagian mesin traktor ada yang karatan.”
Ibu mengangguk. Mengucapkan beberapa nasehat untuk membesarkan hati ayah.
Selepas kepergian ayah dan ibu, aku merasa seperti ada yang menyalakan lampu di dalam kepala. Bodoh benar selama ini aku tidak menanyakan lebih detail kasus mayat terbalik kepada Paman. Aku yakin kalau Paman pasti mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain, mengingat Paman terus meliput berita seperti ini sebanyak dua kali.
Tentang mimpi yang pernah kulihat di dalam mimpinya, ditambah dengan mimpi Irwan dan gelandangan yang kutemui beberapa hari yang lalu. Sosok gelap yang hadir di dalam mimpiku, serta tentang Raunt. Aku yakin semua ini adalah puzzle dari fenomena apa yang sedang terjadi.
Aku kembali menuju kamar dengan malas, membanting tubuh di atas tempat tidur. Rentetan kejadian demi kejadian tentang mimpi bertemu sosok gelap itu kembali berputar di kepalaku. Seolah semua itu adalah sebuah kenyataan, bukan hanya sekadar imajinasi.
Memang bukan hanya kali ini aku mengalami kesadaran seperti ini. Kesadaran jika ada di alam mimpi, sama sadarnya ketika aku berada di dunia nyata. Tapi¾sepertinya baru kali ini aku merasa takut dengan sosok gelap itu. Padahal aku sendiri tidak tahu apakah sosok gelap itu nyata atau hanya sekadar manipulasi otakku.
Aku menatap langit-langit kamar bercat putih, sekilas mataku melirik ke poster klub sepak bola yang terpajang di dinding kamar. Aku selalu berkhayal jika suatu saat nanti bertemu dengan mereka, atau gabung di klub bola itu, hingga berfoto bersama. Mendapatkan kaus dan bola  lengkap dengan tanda tangan pemain bola idolaku.
Setelah mengalihkan dari khayalan bertemu dengan klub sepak bola idolaku. Aku kembali menyambar sebuah novel tebal di rak buku yang sudah sedikit berdebu. Kutiup halaman depan novel itu dan mendapati sebuah sampul dengan gambar manusia berjubah gelap dengan wajah tersembunyi di balik kerudung jubahnya. Aku segera membuka novel itu, dan tak berapa lama kemudian aku tertidur.


Sorakan memenuhi telinga ketika menyadari di mana sekarang aku berada. Ribuan penonton memenuhi tribun-tribun tinggi yang mengelilingi sebuah stadion sepak bola yang selama ini selalu kuimpikan untuk kukunjungi. Kesadaran menyapaku, bahwa sekarang aku sedang berada di alam mimpi. Sebuah dimensi ruang dan waktu yang membuatku mampu menciptakan apa pun yang aku inginkan.
Seorang wanita berambut pirang berteriak histeris ketika pemain bola bernomor punggung tujuh berlari menggiring bola ke gawang lawan, dan dengan sebuah tendangan pamungkas, bola itu melesat melewati kiper dan masuk ke dalam gawang lawan.
“GOOOLL!!!” aku refleks ikut berteriak begitu menyadari jika pemain yang membobol gawang lawan adalah pemain idolaku. Begitu juga dengan gadis berambut pirang itu, dia ikut berteriak dan melompat-lompat seperti kebanyakan penonton lain. Bahkan dia berbicara denganku menggunakan bahasa Indonesia. Sebelumnya aku heran kenapa dia bisa berbahasa Indonesia, hingga akhirnya aku menyimpulkan dan menyadari bahwa ini adalah mimpiku, dan aku bebas menginginkan apa pun yang kumau. Bukan hanya gadis berambut pirang itu jadi fasih berbahasa Indonesia. Tapi aku menginginkan seorang penonton berkepala botak yang duduk di hadapanku menggunakan wig berwarna hijau—dan benar saja, dalam hitungan detik, sebuah wig berwarna hijau terang muncul dengan ajaib di kepala orang botak itu.
Tampaknya orang itu tidak menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang ganjil terhadap kepalanya, atau memang dia mengira mengenakan wig hijau dari dulu. Sedangkan aku mencoba menahan tawa melihat lelaki botak menari dengan wig yang bergoyang lucu ketika terjadi pembobolan gawang lawan lagi.
Ketika permainan telah usai dan klub favoritku menang telak dengan skor 5-0. Akhirnya perlahan-lahan semua penonton yang duduk di tribun-tribun tinggi menghilang seperti asap. Hanya menyisakan aku dan gadis berambut pirang yang tampaknya tidak peduli dengan penonton yang lenyap begitu saja.
“Jupiter…,”
Aku mendengar ada yang menyebut namaku. Aku berpaling ke arah suara itu dan mendapati pemain bola idolaku sedang melambai ke arahku. Serta-merta aku sangat senang melihatnya. Rasanya hanya di mimpi inilah aku bisa mewujudkan semua yang kuinginkan. Sesuai dengan keinginanku, pemain bola itu menyerahkan kaus dan bola yang sedang dipegangnya, tidak lupa dia juga menandatanganinya. Perasaan bahagia meluap-luap di dalam hati, ketika semua anggota klub ikut berfoto bersamaku.
Kejadiannya cepat sekali, angin bertiup sangat kencang dengan langit yang telah berubah menjadi hitam mengerikan. Kilatan-kilatan petir menyambar-nyambar tribun-tribun hingga hancur. Potongan-potongan besi melayang dan dengan keterkejutan yang mengerikan, beberapa pemain bola itu telah melayang janggal dengan terbalik.
Aku berlari dengan ngeri ketika seekor kelelawar seukuran pesawat terbang melesat ke arahku. Aku tidak pernah memimpikan hal seperti ini sebelumnya. Ini semua salah, ini bukanlah mimpi yang kuhendaki.
Kelelawar raksasa itu terus mengejarku dengan pekikan yang anehnya seperti pekikan elang. Suara kepakan sayapnya yang keras menghantam gendang telinga, membuatku merasa bergidik mendengarnya. Walau aku tahu bahwa kelelawar bukanlah hewan pemakan daging. Tapi dengan ukurannya yang seperti ini, kelelawar itu akan sanggup menghisap darahku seperti halnya vampir. Lagi pula ini dunia mimpi. Sebuah dimensi lain yang apa pun bisa terjadi.
Aku terus berlari menghindari kejaran kelelawar raksasa itu. Lapangan bola kini telah berubah menjadi sebuah hutan dengan pohon-pohon yang hampir semuanya ditumbuhi duri. Kaki dan tanganku lecet dan gatal ketika tergores duri-duri itu. Hingga setelah sekitar lima menit aku terus berlari dan berakhir di sebuah tebing curam. Aku berhenti, memutuskan untuk menghadapi makhluk raksasa itu. Kekuatan untuk bertahan hidup kembali menguasaiku. Ini adalah mimpiku, aku yang mengendalikan mimpi ini, tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan jika aku sedang berada di alam mimpi.
Kelelawar itu terus mengepak-ngepakan sayap raksasanya. Suaranya kembali melengking mengerikan. Aku memejamkan mata, berusaha menciptakan apa pun yang kuimpikan. Ini tidaklah begitu susah, pengalaman masuk ke dalam mimpi memberiku beberapa gambaran yang akan kugunakan sebagai perisai untuk melawan kelelawar raksasa itu.
Selama beberapa detik aku membayangkan diriku bercahaya, memang benar, tubuhku langsung bercahaya sangat terang, seolah aku memakai jubah berbahan cahaya. Aku tidak tahu apakah kelelawar takut akan cahaya, tapi nyatanya cahaya itu memukul mundur kelelawar raksasa itu.
Ada sesuatu yang aneh dengan mimpi yang aku ciptakan kali ini. Sesosok manusia transparan seolah muncul begitu saja tanpa kuminta. Aku tidak mengerti apa yang selanjutnya terjadi, cahaya terang yang keluar dari manusia transparan itu membuat mataku silau.
Napasku terengah-engah dengan dada terasa sesak. Paru-paruku bagaikan diremas-remas dengan paksa begitu menyadari bahwa kelelawar itu telah lenyap. Rasanya aku ingin segera sadar dari mimpi ini. Sesuatu berdenyut hebat di dalam kepalaku sekarang, membuatku linglung dan ambruk. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi, semuanya telah berubah gelap.