EPISODE 6
PUZZLE MIMPI
Malam harinya, bayang-bayang sosok gelap yang
hadir di dalam mimpi terus mengganggu pikiranku. Jutaan pertanyaan berputar
hebat di kepala. Siapakah dia sebenarnya? Kenapa dia bisa hadir di dalam
mimpiku?
Belum lagi dengan adanya luka fisik seperti
tanganku yang memar. Apa ini adalah sebuah dampak dari kelainan yang kumiliki?
Selama enam belas tahun, rasanya baru pertama kali aku takut dengan mimpiku
sendiri. Bagaimana jika sosok gelap itu datang kembali ke dalam mimpi dan
memutilasiku dengan parang? Sungguh mengerikan membayangkan hal itu, mengingat
tanganku yang dirantai di dalam mimpi telah memberikan bekas memar di
pergelangan tangan. Aku tidak mau mengambil resiko jika tubuhku akan saling
terpisah jika memang sosok gelap itu memutilasiku di dalam mimpi.
Aku menutup buku biologi tentang pembelahan
sel, melemparkan begitu saja ke rak buku. Aku memutuskan untuk turun ke ruang
keluarga, melihat ayah dan ibu sedang terlihat percakapan serius. Mungkin saja
ayah sedang membicarakan tentang pesanan traktor, sedangkan ibu menimpalinya
dengan tawa ringan, menyadari jika jumlah pesanan traktor terus meningkat, itu
artinya akan ada tambahan uang belanja. Maklumlah, aku tahu jika ibu sangat
menginginkan kulkas baru. Itu terbukti dari beberapa minggu yang lalu, ketika
aku dengan usil masuk ke dalam mimpinya, dan melihat ibu sedang berpose dengan
kulkas tiga pintu yang di dalamnya terdapat ruang penghangat dan pendingin
makanan.
Ketika ibu bangun, aku masih ada di
sampingnya dengan terkekeh. Ibu hanya mengerutkan kening seraya berkata, “kamu
kenapa tertawa, Jupiter?” Sebagai jawaban aku menirukan pose ibu dengan kulkas
impiannya.
“Aku dengar Samsul sedang meliput berita
pembunuhan lagi ya?” kata ayah ketika aku tanpa sengaja mendengar sedikit
pembicaraan mereka. “Aku sebenarnya tidak setuju kalau dia bekerja sebagai
wartawan, terlalu banyak resiko dan bahaya yang harus ditanggungnya.”
“Menjadi wartawan adalah impian Samsul sejak
kecil,” jawab ibu pelan. “Aku ingat bagaimana dia mengejar cita-citanya untuk
menjadi seorang wartawan. Mungkin dia juga tahu resikonya, tapi toh berita yang
dia tulis semuanya fakta. Apalagi tidak jarang tulisan-tulisan yang dibuatnya
menjadi petunjuk untuk menyingkap beberapa
kasus kematian.”
“Aku tahu,” tambah ayah. “Tapi sepertinya
beberapa kasus pembunuhan yang diliput adikmu itu terkesan aneh.”
Aku semakin menajamkan pendengaran untuk
mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Apanya yang terkesan aneh?” tanya ibu lagi.
Ibu sepertinya belum terlalu paham ke mana arah pembicaraan ayah. “Apa tentang
kasus seorang wanita yang terjun dari lantai lima belas? Atau seseorang yang
meninggal karena keracunan makanan?”
Ayah menggeleng. “Bukan tentang itu, kalau
hal itu sih masih terlihat wajar. Tapi tentang kasus yang lain, lagi pula ini
bukan pertama kalinya terjadi, kan? Beberapa tahun yang lalu Samsul juga pernah
meliput berita yang hampir sama.”
“Maksudnya mayat yang digantung terbalik
itu?”
Jantungku berdebar kencang. Semakin
menajamkan telinga untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Bukankah kasus itu sampai sekarang belum
terpecahkan?” tanya ayah lagi. “Dan kini Samsul mencoba meliput kasus yang
sama. Ini hanya sebatas kekhawatiranku saja, aku takut terjadi sesuatu yang
buruk jika Samsul terus meliput berita seperti ini. Apa tidak ada bahan berita
lain selain mayat terbalik itu? Misalnya saja tentang korupsi atau skandal para
pejabat.”
“Mungkin saja itu permintaan bagian
redaksinya, tapi entahlah. Samsul selalu terlihat senang jika meliput berita
pembunuhan yang janggal. Ayah ingat ketika Samsul tidak sengaja menemukan titik
terang dalam kasus pembunuhan seorang menejer? Dalam tulisannya, Samsul mengatakan bahwa itu bukanlah bunuh diri.
Dan setelah polisi kembali melakukan penyelidikan, memang benar itu bukanlah
tindakan bunuh diri, melainkan sebuah pembunuhan.”
Aku ingat dengan berita itu, Paman
menceritakan kejanggalan dalam berita yang diliputnya beberapa bulan yang lalu.
Mulai dari posisi korban ketika ditemukan, hingga beberapa
kejanggalan-kejanggalan lain seperti permen karet di rambutnya. Hingga akhirnya
Paman menuliskan bahwa itu bukanlah tindakan bunuh diri seperti yang diyakini
kebanyakan orang.
“Sebaiknya kita tidur,” kata ayah mulai
menguap. “Kita sudahi pembicaraan tentang Samsul. Seperti katamu, pasti Samsul
sudah siap dengan segala resikonya. Lagi pula beberapa pekerjaan di kantor
membuatku pusing. Tadi ada salah satu klien ayah yang komplain karena beberapa
bagian mesin traktor ada yang karatan.”
Ibu mengangguk. Mengucapkan beberapa nasehat
untuk membesarkan hati ayah.
Selepas kepergian ayah dan ibu, aku merasa
seperti ada yang menyalakan lampu di dalam kepala. Bodoh benar selama ini aku
tidak menanyakan lebih detail kasus mayat terbalik kepada Paman. Aku yakin
kalau Paman pasti mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain, mengingat
Paman terus meliput berita seperti ini sebanyak dua kali.
Tentang mimpi yang pernah kulihat di dalam
mimpinya, ditambah dengan mimpi Irwan dan gelandangan yang kutemui beberapa
hari yang lalu. Sosok gelap yang hadir di dalam mimpiku, serta tentang Raunt.
Aku yakin semua ini adalah puzzle dari
fenomena apa yang sedang terjadi.
Aku kembali menuju kamar dengan malas,
membanting tubuh di atas tempat tidur. Rentetan kejadian demi kejadian tentang
mimpi bertemu sosok gelap itu kembali berputar di kepalaku. Seolah semua itu
adalah sebuah kenyataan, bukan hanya sekadar imajinasi.
Memang bukan hanya kali ini aku mengalami
kesadaran seperti ini. Kesadaran jika ada di alam mimpi, sama sadarnya ketika
aku berada di dunia nyata. Tapi¾sepertinya baru kali ini aku merasa takut
dengan sosok gelap itu. Padahal aku sendiri tidak tahu apakah sosok gelap itu
nyata atau hanya sekadar manipulasi otakku.
Aku menatap langit-langit kamar bercat putih,
sekilas mataku melirik ke poster klub sepak bola yang terpajang di dinding
kamar. Aku selalu berkhayal jika suatu saat nanti bertemu dengan mereka, atau
gabung di klub bola itu, hingga berfoto bersama. Mendapatkan kaus dan bola lengkap dengan tanda tangan pemain bola
idolaku.
Setelah mengalihkan dari khayalan bertemu
dengan klub sepak bola idolaku. Aku kembali menyambar sebuah novel tebal di rak
buku yang sudah sedikit berdebu. Kutiup halaman depan novel itu dan mendapati
sebuah sampul dengan gambar manusia berjubah gelap dengan wajah tersembunyi di
balik kerudung jubahnya. Aku segera membuka novel itu, dan tak berapa lama kemudian
aku tertidur.
Sorakan memenuhi telinga ketika menyadari di
mana sekarang aku berada. Ribuan penonton memenuhi tribun-tribun tinggi yang
mengelilingi sebuah stadion sepak bola yang selama ini selalu kuimpikan untuk
kukunjungi. Kesadaran menyapaku, bahwa sekarang aku sedang berada di alam
mimpi. Sebuah dimensi ruang dan waktu yang membuatku mampu menciptakan apa pun
yang aku inginkan.
Seorang wanita berambut pirang berteriak
histeris ketika pemain bola bernomor punggung tujuh berlari menggiring bola ke
gawang lawan, dan dengan sebuah tendangan pamungkas, bola itu melesat melewati
kiper dan masuk ke dalam gawang lawan.
“GOOOLL!!!” aku refleks ikut berteriak begitu
menyadari jika pemain yang membobol gawang lawan adalah pemain idolaku. Begitu
juga dengan gadis berambut pirang itu, dia ikut berteriak dan melompat-lompat
seperti kebanyakan penonton lain. Bahkan dia berbicara denganku menggunakan
bahasa Indonesia. Sebelumnya aku heran kenapa dia bisa berbahasa Indonesia,
hingga akhirnya aku menyimpulkan dan menyadari bahwa ini adalah mimpiku, dan
aku bebas menginginkan apa pun yang kumau. Bukan hanya gadis berambut pirang
itu jadi fasih berbahasa Indonesia. Tapi aku menginginkan seorang penonton
berkepala botak yang duduk di hadapanku menggunakan wig berwarna hijau—dan
benar saja, dalam hitungan detik, sebuah wig berwarna hijau terang muncul
dengan ajaib di kepala orang botak itu.
Tampaknya orang itu tidak menyadari bahwa
telah terjadi sesuatu yang ganjil terhadap kepalanya, atau memang dia mengira
mengenakan wig hijau dari dulu. Sedangkan aku mencoba menahan tawa melihat
lelaki botak menari dengan wig yang bergoyang lucu ketika terjadi pembobolan
gawang lawan lagi.
Ketika permainan telah usai dan klub
favoritku menang telak dengan skor 5-0. Akhirnya perlahan-lahan semua penonton
yang duduk di tribun-tribun tinggi menghilang seperti asap. Hanya menyisakan
aku dan gadis berambut pirang yang tampaknya tidak peduli dengan penonton yang
lenyap begitu saja.
“Jupiter…,”
Aku mendengar ada yang menyebut namaku. Aku
berpaling ke arah suara itu dan mendapati pemain bola idolaku sedang melambai
ke arahku. Serta-merta aku sangat senang melihatnya. Rasanya hanya di mimpi
inilah aku bisa mewujudkan semua yang kuinginkan. Sesuai dengan keinginanku,
pemain bola itu menyerahkan kaus dan bola yang sedang dipegangnya, tidak lupa
dia juga menandatanganinya. Perasaan bahagia meluap-luap di dalam hati, ketika
semua anggota klub ikut berfoto bersamaku.
Kejadiannya cepat sekali, angin bertiup
sangat kencang dengan langit yang telah berubah menjadi hitam mengerikan.
Kilatan-kilatan petir menyambar-nyambar tribun-tribun hingga hancur.
Potongan-potongan besi melayang dan dengan keterkejutan yang mengerikan, beberapa
pemain bola itu telah melayang janggal dengan terbalik.
Aku berlari dengan ngeri ketika seekor
kelelawar seukuran pesawat terbang melesat ke arahku. Aku tidak pernah
memimpikan hal seperti ini sebelumnya. Ini semua salah, ini bukanlah mimpi yang
kuhendaki.
Kelelawar raksasa itu terus mengejarku dengan
pekikan yang anehnya seperti pekikan elang. Suara kepakan sayapnya yang keras
menghantam gendang telinga, membuatku merasa bergidik mendengarnya. Walau aku
tahu bahwa kelelawar bukanlah hewan pemakan daging. Tapi dengan ukurannya yang seperti
ini, kelelawar itu akan sanggup menghisap darahku seperti halnya vampir. Lagi
pula ini dunia mimpi. Sebuah dimensi lain yang apa pun bisa terjadi.
Aku terus berlari menghindari kejaran
kelelawar raksasa itu. Lapangan bola kini telah berubah menjadi sebuah hutan
dengan pohon-pohon yang hampir semuanya ditumbuhi duri. Kaki dan tanganku lecet
dan gatal ketika tergores duri-duri itu. Hingga setelah sekitar lima menit aku
terus berlari dan berakhir di sebuah tebing curam. Aku berhenti, memutuskan
untuk menghadapi makhluk raksasa itu. Kekuatan untuk bertahan hidup kembali
menguasaiku. Ini adalah mimpiku, aku yang mengendalikan mimpi ini, tidak ada
satu pun yang bisa mengalahkan jika aku sedang berada di alam mimpi.
Kelelawar itu terus mengepak-ngepakan sayap
raksasanya. Suaranya kembali melengking mengerikan. Aku memejamkan mata,
berusaha menciptakan apa pun yang kuimpikan. Ini tidaklah begitu susah,
pengalaman masuk ke dalam mimpi memberiku beberapa gambaran yang akan kugunakan
sebagai perisai untuk melawan kelelawar raksasa itu.
Selama beberapa detik aku membayangkan diriku
bercahaya, memang benar, tubuhku langsung bercahaya
sangat terang, seolah aku memakai jubah berbahan cahaya. Aku tidak tahu apakah
kelelawar takut akan cahaya, tapi nyatanya cahaya itu memukul mundur kelelawar
raksasa itu.
Ada sesuatu yang aneh dengan mimpi yang aku
ciptakan kali ini. Sesosok manusia transparan seolah muncul begitu saja tanpa
kuminta. Aku tidak mengerti apa yang selanjutnya terjadi, cahaya terang yang
keluar dari manusia transparan itu membuat mataku silau.
Napasku terengah-engah dengan dada terasa
sesak. Paru-paruku bagaikan diremas-remas dengan paksa begitu menyadari bahwa
kelelawar itu telah lenyap. Rasanya aku ingin segera sadar dari mimpi ini.
Sesuatu berdenyut hebat di dalam kepalaku sekarang, membuatku linglung dan
ambruk. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi, semuanya telah berubah gelap.