SIMFONI HITAM
Ragiel JP
Aku tahu dia bernama Tania, umurnya baru enam belas tahun.
Dia pindah ke rumah ini tiga hari yang lalu. Tania mempunyai kulit berwarna
putih pucat dengan mata biru terang yang memesona.
“Tania, ayo sarapan, hari ini pertama kamu masuk sekolah.”
Tania hanya terdiam melihat pantulan wajahnya di cermin,
lingkaran hitam di kedua matanya menandakan sudah berapa hari dia tidak tidur.
Ada sorot keraguan yang terpancar dari matanya.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya ibunya masuk ke dalam kamar
begitu Tania tak kunjung turun. “Ayo turun sarapan dulu, bukankah hari ini
pertamamu sekolah lagi?”
“Tania nggak mau sekolah,” jawab Tania matanya tampak
berkaca-kaca. “Tania mau di rumah saja.”
“Tania, sayang,” ibunya kembali mengelus wajah Tania. “Kamu
harus sekolah, kamu nggak boleh terus mengurung diri seperti ini, yang sudah
biarlah berlalu, kamu masih punya masa depan.”
Tania mengembuskan napas berat. “Tania belum siap,” kata
Tania menyeka matanya. “Tania belum siap menghadapinya. Tania mohon ibu
mengerti.”
“Baiklah kalau itu keinginanmu,” jawab ibunya akhirnya
mengalah. “Tapi besok kamu harus mulai bersekolah lagi ya?”
Tania mengangguk pelan. “Bu, aku boleh tanya sesuatu?”
“Tanya apa, Sayang?”
“Ibu tahu siapa yang bermain piano setiap malam?” tanya Tania
menatap tajam ibunya. “Sejak pertama kali datang ke sini, aku selalu mendengar
suara piano.”
“Suara piano?” ibu mengerutkan kening mendengarnya. “Nggak
ada suara piano sama sekali, sayang, di rumah ini nggak ada piano.”
“Tapi setiap malam aku selalu mendengar suara piano,” Tania
bersikeras dengan pendapatnya. “Setiap malam alunan piano itu terdengar di
rumah ini.”
“Itu hanya imajinasimu saja, Sayang,” kata ibunya lagi. “Kalau
begitu ibu berangkat kerja dulu ya, kalau kamu butuh apa-apa bilang saja sama
Bi Minah.”
Tania mengangguk pelan.
Tanpa pernah disadari Tania, selama tiga hari aku terus
mengawasi dirinya. Selalu mengamatinya ketika dia sedang tidur, selalu
memainkan Simfoni Hitam untuknya setiap tengah malam. Selama ini aku memang
belum berani untuk memperkenalkan diri secara langsung terhadap Tania, aku
menyadari adanya sebuah sekat antara kami berdua.
***
“Bagaimana sekolah pertamamu, sayang?” tanya ibu ketika Tania
bergabung bersama mereka untuk makan malam. “Menyenangkan bukan?”
“Tania nggak mau sekolah lagi,” jawab Tania menusuk-nusuk ayam
bakar dengan garpu.
“Ibu ingin kamu bergaul dengan banyak teman, sayang,” kata ibu
mengelus bahu Tania. “Ibu ingin kamu seperti anak-anak lain.”
“Ibu nggak mengerti,” kata Tania terisak. “Tania nggak akan pernah
bisa kembali seperti anak-anak lain, aku sudah kotor, kenapa ayah dan ibu nggak
membiarkan aku mati saja?” Setelah berkata seperti itu Tania langsung berdiri
dan masuk ke dalam kamar meninggalkan kedua orangtuanya yang tampak terguncang.
“Apa nggak sebaiknya kita melakukan Home Schooling untuk Tania?” tanya ayah begitu Tania masuk ke dalam
kamar. “Biar bagaimanapun juga Tania pernah mengalami masa lalu yang suram, dia
pernah mengalami pelecehan seksual. Itu pasti berat bagi Tania bertemu orang
lain”
Ibu menggeleng. “Nggak bisa, Yah, psikiaternya mengatakan
bahwa Tania harus pelan-pelan bisa bersosialisasi lagi, aku yakin lambat laun
Tania akan kembali seperti dulu lagi.”
Aku sangat terkejut begitu mengetahui apa yang terjadi
dengan Tania, aku sama sekali tidak menduga jika dia pernah mengalami hal
seburuk itu. Perlahan aku mendekat ke arah kamar Tania¾dan
di sana, aku melihat dia sedang duduk dengan memeluk kedua lututnya, melihat
dari sorot matanya, aku bisa melihat ada trauma yang masih tergambar jelas di
dalam matanya.
“Aku ingin mati,” Tania meremas rambut dengan kedua
tangannya. “Tuhan, tolong cabut nyawaku sekarang juga.”
Aku tersenyum mendengarnya. Mungkin ini saatnya aku memperkenalkan
diri terhadap Tania, memberinya pelipur lara, membisikan setiap makna dari
Simfoni Hitam yang selalu kusenandungkan setiap malam untuknya.
Tepat tengah malam, aku kembali memainkan piano yang tersembunyi
di sebuah ruangan di rumah ini. Aku yakin pasti Tania akan datang untuk
menemaniku memainkan simfoni-simfoni ini. Denting piano pertama mengalun indah
di udara, sayup-sayup aku bisa mendengar sebuah langkah pelan menghampiriku,
menuju kamar yang biasa kugunakan untuk memainkan piano.
Pintu berderit terbuka secara perlahan, di ujung pintu sana,
aku melihat gadis itu tampak terpesona begitu mendengar alunan-alunan sendu
yang kulantunkan untuknya, sengaja simfoni ini aku persembahkan untuknya, agar
dia tahu betapa selama ini aku ingin menampakan diri di depannya.
“Lagunya sangat indah,” kata Tania mendekat ke arahku.
“Selama ini aku selalu mendengar suara piano itu, jadi kamu yang memainkannya?”
Aku mengangguk. “Aku sengaja menciptakan lagu ini untukmu,
Tania, apa kamu suka?”
“Dari mana kamu tahu namaku?” Tania sedikit terkejut mendengarnya.
“Lagu itu sangat indah, aku sangat suka”
“Aku sudah lama memerhatikanmu,” jawabku mengulurkan tangan
ke arahnya. “Kamu mau mencobanya? Oh ya, namaku David.”
Tania mengangguk semangat. “Iya, aku mau mencobanya.”
Kami berdua mulai memainkan piano bersama. Aku mengajari
Tania tentang dasar-dasar bermain piano, dia tampaknya sangat senang begitu aku
menuntun jemarinya menekan tuts-tuts piano.
“Kamu sangat berbakat, David,” kata Tania setelah beberapa
jam kemudian. “Kamu mau ajari aku bermain piano?”
Aku mengangguk. “Tentu.”
“Itu fotomu ya?” kata Tania begitu dia mengalihkan
pandangannya ke sebuah bingkai foto yang kupasang di atas piano. “Ini foto
kapan? Sepertinya sudah sangat lama ya? Tapi wajahmu tetap masih sama seperti
di foto.”
Aku mengangguk mengiyakan. “Ini memang foto sudah sangat
lama, foto yang diambil ayah ketika aku memenangkan kontes piano pada tahun
1935 di London. Sehari kemudian kapal yang kami tumpangi tenggelam di Samudra
Hindia saat kami hendak pulang ke rumah ini.”