Jumat, 12 Agustus 2016

CERPEN "SIMFONI HITAM" DIMUAT DI MAJALAH HAI EDISI 1 - 7 AGUSTUS 2016.

SIMFONI HITAM
Ragiel JP

Aku tahu dia bernama Tania, umurnya baru enam belas tahun. Dia pindah ke rumah ini tiga hari yang lalu. Tania mempunyai kulit berwarna putih pucat dengan mata biru terang yang memesona.
“Tania, ayo sarapan, hari ini pertama kamu masuk sekolah.”
Tania hanya terdiam melihat pantulan wajahnya di cermin, lingkaran hitam di kedua matanya menandakan sudah berapa hari dia tidak tidur. Ada sorot keraguan yang terpancar dari matanya.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya ibunya masuk ke dalam kamar begitu Tania tak kunjung turun. “Ayo turun sarapan dulu, bukankah hari ini pertamamu sekolah lagi?”
“Tania nggak mau sekolah,” jawab Tania matanya tampak berkaca-kaca. “Tania mau di rumah saja.”
“Tania, sayang,” ibunya kembali mengelus wajah Tania. “Kamu harus sekolah, kamu nggak boleh terus mengurung diri seperti ini, yang sudah biarlah berlalu, kamu masih punya masa depan.”
Tania mengembuskan napas berat. “Tania belum siap,” kata Tania menyeka matanya. “Tania belum siap menghadapinya. Tania mohon ibu mengerti.”
“Baiklah kalau itu keinginanmu,” jawab ibunya akhirnya mengalah. “Tapi besok kamu harus mulai bersekolah lagi ya?”
Tania mengangguk pelan. “Bu, aku boleh tanya sesuatu?”
“Tanya apa, Sayang?”
“Ibu tahu siapa yang bermain piano setiap malam?” tanya Tania menatap tajam ibunya. “Sejak pertama kali datang ke sini, aku selalu mendengar suara piano.”
“Suara piano?” ibu mengerutkan kening mendengarnya. “Nggak ada suara piano sama sekali, sayang, di rumah ini nggak ada piano.”
“Tapi setiap malam aku selalu mendengar suara piano,” Tania bersikeras dengan pendapatnya. “Setiap malam alunan piano itu terdengar di rumah ini.”
“Itu hanya imajinasimu saja, Sayang,” kata ibunya lagi. “Kalau begitu ibu berangkat kerja dulu ya, kalau kamu butuh apa-apa bilang saja sama Bi Minah.”
Tania mengangguk pelan.
Tanpa pernah disadari Tania, selama tiga hari aku terus mengawasi dirinya. Selalu mengamatinya ketika dia sedang tidur, selalu memainkan Simfoni Hitam untuknya setiap tengah malam. Selama ini aku memang belum berani untuk memperkenalkan diri secara langsung terhadap Tania, aku menyadari adanya sebuah sekat antara kami berdua.
***
“Bagaimana sekolah pertamamu, sayang?” tanya ibu ketika Tania bergabung bersama mereka untuk makan malam. “Menyenangkan bukan?”
“Tania nggak mau sekolah lagi,” jawab Tania menusuk-nusuk ayam bakar dengan garpu.
“Ibu ingin kamu bergaul dengan banyak teman, sayang,” kata ibu mengelus bahu Tania. “Ibu ingin kamu seperti anak-anak lain.”
“Ibu nggak mengerti,” kata Tania terisak. “Tania nggak akan pernah bisa kembali seperti anak-anak lain, aku sudah kotor, kenapa ayah dan ibu nggak membiarkan aku mati saja?” Setelah berkata seperti itu Tania langsung berdiri dan masuk ke dalam kamar meninggalkan kedua orangtuanya yang tampak terguncang.
“Apa nggak sebaiknya kita melakukan Home Schooling untuk Tania?” tanya ayah begitu Tania masuk ke dalam kamar. “Biar bagaimanapun juga Tania pernah mengalami masa lalu yang suram, dia pernah mengalami pelecehan seksual. Itu pasti berat bagi Tania bertemu orang lain”
Ibu menggeleng. “Nggak bisa, Yah, psikiaternya mengatakan bahwa Tania harus pelan-pelan bisa bersosialisasi lagi, aku yakin lambat laun Tania akan kembali seperti dulu lagi.”
Aku sangat terkejut begitu mengetahui apa yang terjadi dengan Tania, aku sama sekali tidak menduga jika dia pernah mengalami hal seburuk itu. Perlahan aku mendekat ke arah kamar Tania¾dan di sana, aku melihat dia sedang duduk dengan memeluk kedua lututnya, melihat dari sorot matanya, aku bisa melihat ada trauma yang masih tergambar jelas di dalam matanya.
“Aku ingin mati,” Tania meremas rambut dengan kedua tangannya. “Tuhan, tolong cabut nyawaku sekarang juga.”
Aku tersenyum mendengarnya. Mungkin ini saatnya aku memperkenalkan diri terhadap Tania, memberinya pelipur lara, membisikan setiap makna dari Simfoni Hitam yang selalu kusenandungkan setiap malam untuknya.
Tepat tengah malam, aku kembali memainkan piano yang tersembunyi di sebuah ruangan di rumah ini. Aku yakin pasti Tania akan datang untuk menemaniku memainkan simfoni-simfoni ini. Denting piano pertama mengalun indah di udara, sayup-sayup aku bisa mendengar sebuah langkah pelan menghampiriku, menuju kamar yang biasa kugunakan untuk memainkan piano.
Pintu berderit terbuka secara perlahan, di ujung pintu sana, aku melihat gadis itu tampak terpesona begitu mendengar alunan-alunan sendu yang kulantunkan untuknya, sengaja simfoni ini aku persembahkan untuknya, agar dia tahu betapa selama ini aku ingin menampakan diri di depannya.
“Lagunya sangat indah,” kata Tania mendekat ke arahku. “Selama ini aku selalu mendengar suara piano itu, jadi kamu yang memainkannya?”
Aku mengangguk. “Aku sengaja menciptakan lagu ini untukmu, Tania, apa kamu suka?”
“Dari mana kamu tahu namaku?” Tania sedikit terkejut mendengarnya. “Lagu itu sangat indah, aku sangat suka”
“Aku sudah lama memerhatikanmu,” jawabku mengulurkan tangan ke arahnya. “Kamu mau mencobanya? Oh ya, namaku David.”
Tania mengangguk semangat. “Iya, aku mau mencobanya.”
Kami berdua mulai memainkan piano bersama. Aku mengajari Tania tentang dasar-dasar bermain piano, dia tampaknya sangat senang begitu aku menuntun jemarinya menekan tuts-tuts piano.
“Kamu sangat berbakat, David,” kata Tania setelah beberapa jam kemudian. “Kamu mau ajari aku bermain piano?”
Aku mengangguk. “Tentu.”
“Itu fotomu ya?” kata Tania begitu dia mengalihkan pandangannya ke sebuah bingkai foto yang kupasang di atas piano. “Ini foto kapan? Sepertinya sudah sangat lama ya? Tapi wajahmu tetap masih sama seperti di foto.”
Aku mengangguk mengiyakan. “Ini memang foto sudah sangat lama, foto yang diambil ayah ketika aku memenangkan kontes piano pada tahun 1935 di London. Sehari kemudian kapal yang kami tumpangi tenggelam di Samudra Hindia saat kami hendak pulang ke rumah ini.”