LA GOLO DAN LA GALA
RAGIEL JP
Di sebuah desa nun
jauh di sana, hiduplah sepasang suami istri kaya raya. Selain dikenal sebagai
pasangan yang sangat kaya raya. Mereka juga dikenal mempunyai tabiat yang
sangat baik. Hampir semua warga sangat menyegani mereka. Sang Suami bernama
Lesmana, ia seorang lelaki tinggi besar penuh kharisma. Sedangkan sang istri
bernama Selasih, ia adalah seorang wanita yang sangat lembut dan baik kepada
siapa pun juga.
Walau pasangan suami
istri itu bisa dibilang mempunyai segalanya. Namun ada satu hal yang terus
mengganggu pikiran mereka. Mereka belum mempunyai momongan.
“Kita harus lebih
sabar, istriku,” hibur Lesmana setiap kali istrinya mengungkapkan keinginan
memperoleh buah hati. “Mungkin saja Tuhan memang belum mengizinkan kita
mendapatkan momongan.”
“Tapi aku ingin
seperti ibu-ibu yang lain,” jawab istrinya sedih. “Aku ingin menggendong bayi.”
“Aku tahu,” jawab
Lesmana mengelus dengan lembut bahu Selasih. “Bagaimana kalau kita mengadopsi
bayi dari seorang penduduk yang kurang mampu?”
Selasih mengangkat
wajahnya yang penuh dengan air mata. “Apa Kakanda serius?”
Lesmana mengangguk.
“Bagaimana? Apa Adinda setuju?”
Selasih mengangguk
senang. “Sebenarnya aku sudah lama mau mengatakan ini, tapi aku takut Kakanda
tidak setuju.”
“Harusnya Adinda
mengatakannya dari dulu,” jawab Lesmana senang dengan kebahagiaan yang
tergambar di wajah istrinya. “Tentu saja aku tidak pernah keberatan kalau
Adinda menginginkan adopsi. Lagi pula banyak yang percaya, siapa tahu dengan
kita mengadopsi bayi, Adinda bisa hamil.”
Selasih kembali
memeluk suaminya dengan tangis haru. “Terima kasih, Kakanda.”
Maka keesokan harinya
Lesmana dan istrinya membuat pengumuman kepada semua warga bahwa ia ingin
mengadopsi salah satu bayi mereka. Dan kerumunan massa langsung heboh dengan
kabar itu. Banyak warga yang ingin menyerahkan anaknya untuk diadopsi oleh
Lesmana.
“Katanya kita akan
mendapatkan uang banyak,” kata seorang wanita berwajah tirus. “Semoga saja Tuan
Lesmana memilih bayiku, aku tidak tega membiarkan anakku hidup miskin seperti
aku.”
“Anakku lebih
tampan,” balas seorang wanita gemuk pendek. “Aku yakin mereka akan memilih
anakku.”
“Kita lihat saja,”
jawab wanita berwajah tirus panas. “Aku yakin mereka akan memilih anakku.”
Setelah suami istri
itu melihat seratus bayi yang ditawarkan sukarela oleh penduduk. Akhirnya
pasangan suami istri itu memilih seorang bayi lelaki dari seorang wanita
berwajah tirus bernama Mbok Suketi.
“Lihat apa yang aku
dapatkan,” kata Mbok Suketi dengan nada sombong. “Aku kan sudah bilang, pasti
anakku yang akan dipilih Tuan Lesmana.
Lihat, aku sekarang kaya. Aku juga diperbolehkan untuk bekerja di rumah Tuan
Lesmana untuk membantu mengurus anakku sendiri.”
Wanita tua berbadan
gemuk pendek itu hanya terdiam dan pergi meninggalkan Mbok Suketi. Ia tahu,
bahwa Mbok Suketi pasti sedang merencanakan sesuatu yang buruk.
***
Sementara itu Lesmana
dan istrinya tengah berbahagia karena rumah mereka telah kehadiran seorang bayi
laki-laki yang diberi nama La Gala. Selasih sangat menyanyangi La Gala
sebagaimana ia menyayangi anaknya sendiri. Apa pun yang La Gala minta pasti
akan dituruti. Dengan semua fasilitas yang diberikan oleh orangtua angkatnya,
La Gala tumbuh menjadi anak yang sangat sombong.
Di dalam rumah, La
Gala adalah seorang anak yang sangat baik dan penurut. Sedangkan bila di luar
rumah, atau ketika ayah dan ibu angkatnya berada di luar kota, La Gala
berperilaku semena-mena terhadap para pembantu yang ada di rumahnya. Ia juga
sering sekali menghina para warga dan suka berbuat onar.
Walau La Gala
mempunyai perilaku yang sangat buruk. Para penduduk tidak ada yang berani
memberitahukan keburukan La Gala kepada Lesmana dan istrinya. La Gala selalu
mengancam akan memecat mereka jika berani mengadukan perbuatan buruknya itu.
Waktu terus berjalan.
La Gala kini sudah berusia tujuh belas tahun. Perilakunya juga semakin
semena-mena terhadap semua warga. Ia semakin suka berbuat onar. Bahkan tidak
jarang ia pergi mabuk-mabukan bersama berandal lain dan mengancam akan membunuh
siapa pun yang mencoba mengadukan perbuatannya kepada Lesmana.
“Ini pasti karena
Mbok Suketi,” kata seorang warga yang dagangannya dihancurkan La Gala. “Kita
semua sudah tahu kalau Mbok Suketi itu orang licik. Ia pasti yang mengajari La
Gala supaya bertindak semena-mena.”
“Aku juga berpikir
begitu,” jawab perempuan gemuk pendek. “Aku sudah lama menduga jika Mbok Suketi
mempunyai rencana jahat. Lihat saja ia semakin sombong dengan kekayannya. Kita
harus segera memberitahukan perihal La Gala pada Tuan Lesmana, sebelum semuanya
terlambat.”
“Aku tidak berani,”
jawab seorang penduduk lagi. “Kalian tahu sendiri bagaimana perangai La Gala,
ia tidak segan-segan membuat kita menderita jika mengadukan perbuatannya. Apa
kalian ingat kejadian yang menimpa Warno?”
“Kakinya patah karena
dihajar La Gala,” jawab perempuan gemuk pendek itu. “Pokoknya kita harus
mencari bukti kalau La Gala mempunyai perangai yang buruk.”
Mereka semua terdiam.
Mencari bukti bahwa La Gala berperilaku jahat cukup sulit, mengingat ia sangat
pandai memutarbalikan fakta dan selalu bersikap baik di hadapan kedua
orangtuanya.
“Aku dengar istri
Tuan Lesmana sedang hamil muda ya?” Kata wanita gemuk pendek mencoba
mengalihkan pembicaraan. “Semoga saja itu benar, dengan lahirnya anak itu, aku
yakin akan membuat Tuan Lesmana dan Selasih tidak terlalu menyanyangi La Gala
lagi.”
Berita tentang
kehamilan Selasih langsung menyebar ke seantero desa. Banyak warga yang
mengucapkan selamat atas kehamilan Selasih. Begitu juga dengan Lesmana, ia
merasa sangat senang karena akhirnya mempunyai seorang anak dari darah
dagingnya sendiri. Maka, sebagai ungkapan terima kasihnya kepada Tuhan dan juga
doa para warga, Lesmana mengadakan syukuran besar-besaran. Semua warga
diperbolehkan hadir dan makan sepuas-puasnya. Tidak hanya itu, Lesmana dan
istrinya juga membagi-bagikan bahan makanan kepada semua warga.
“Selamat, Tuan
Lesmana,” kata seorang laki-laki bernama Tarmo. “Akhirnya Tuan mendapatkan
momongan juga. Semoga semuanya berjalan lancar.”
Tuan Lesmana hanya
tersenyum senang. Perasaannya sedang berbunga-bunga, karena penantiannya selama
lebih dari satu dekade akhirnya membuahkan hasil. Berbagai usaha dan doa yang
selama ini ia panjatkan akhirnya dijawab Tuhan. Lesmana sadar, bahwa kesabaran
adalah kunci untuk berbicara dengan Tuhan.
“Aku sangat senang
akhirnya Nyonya bisa hamil,” kata Mbok Suketi ketika sedang menemani Selasih di
dalam kamar. “Tuan Lesmana pasti sangat bahagia, sebentar lagi La Gala akan
punya adik.”
Selasih tersenyum
sumringah. “Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang kakak, La Gala.”
La Gala tersenyum
sedikit dipaksakan. Hatinya dibakar oleh kebencian dengan jabang bayi yang ada
di perut ibu angkatnya. Bagi La Gala, calon bayi itu adalah ancaman yang akan
mengacaukan semua rencana yang sudah disusunnya.
***
Detik bergulir menjadi
menit. Menit bergerak menjadi jam. Jam bergabung menjadi hari. Hari bersatu
menjadi bulan. Tanpa terasa usia kandungan Selasih sudah memasuki delapan
bulan. Setiap hari Selasih dan suaminya selalu merawat kandungannya dengan
baik. Banyak wanita yang dengan sukarela menjaga Selasih. Bagi para warga,
kehamilan Selasih adalah jawaban dari doa-doa yang selama ini mereka panjatkan
kepada Tuhan. Doa-doa yang mereka rapalkan untuk mengakhiri kekejaman La Gala.
Hidup memang seperti
dua sisi mata uang yang berbeda. Jika Lesmana, Selasih dan semua warga desa
tengah bahagia menunggu momen kelahiran seorang bayi. Lain halnya dengan Mbok
Suketi, ia sangat resah jika bayi itu benar-benar lahir. Mbok Suketi berani
bertaruh bahwa tampuk kekuasaan dan kekayaan Lesmana pasti akan jatuh ke tangan
bayi itu. Percuma saja ia selama ini menunggu dengan sia-sia.
“Kita tidak bisa
membiarkan bayi itu lahir, Bu,” kata La Gala pada suatu malam. “Kalau bayi itu
lahir, kita pasti tidak akan mendapatkan apa-apa.”
“Ibu tahu,” jawab Mbok
Suketi tampak berpikir. “Ibu juga tidak mau anak sialan itu lahir. Ia harus
disingkirkan.”
“Bagimana caranya?”
Mbok Suketi terdiam.
Selama ini ia sudah berusaha untuk menggugurkan kandungan Selasih, tapi selalu
saja gagal. Terlalu banyak orang yang menjaga Selasih. Pernah sekali ia berniat
memberikan jamu yang sudah dicampur racun untuk Selasih, tapi secara
mengejutkan ada seorang yang menyenggolnya hingga gelas itu jatuh dan pecah di
lantai.
Mbok Suketi berani
bersumpah bahwa para penjaga mulai curiga dengan ulahnya. Mbok Suketi menjadi
lebih berhati-hati sekarang. Ia tidak mau terburu-buru menjalankan rencananya.
Biar pelan asal berhasil.
“Kau terus mainkan
saja peranmu, anakku,” kata Mbok Suketi mengelus bahu La Gala. “Teruslah
pura-pura berbuat baik. Tunggu hingga semua warga merasa bahwa kau telah
berubah. Dan ketika mereka sudah mendapatkan kepercayaanmu. Ibu yakin mereka
akan lengah dan saat itulah kita perlahan mulai melakukan rencana kita.”
“Tapi bagaimana kalau
kita gagal?”
“Percaya sama ibu…” Mbok
Suketi kembali mengelus wajah La Gala. “Ibu akan melakukan apa pun agar
kekayaan Lesmana jatuh ke tanganmu. Ibu janji. Bila perlu ibu akan meminta
bantuan Ompu[1]
Guntara”
***
Perubahan sifat La
Gala membuat beberapa penduduk desa merasa heran. La Gala yang dulu terkenal
kejam dan suka membuat onar kini telah menjelma menjadi sosok yang sangat
berbeda. La Gala sekarang gemar sekali membantu orang lain. Bahkan di suatu
waktu, La Gala pernah membantu seorang pembajak sawah yang terjatuh dari
galangan sawah. Bahkan tidak jarang pula La Gala dan Mbok Suketi memberikan
beberapa bahan makanan dan pakaian kepada para penduduk yang ditemuinya.
“Kenapa mereka
berubah menjadi baik?” Tanya penduduk pertama dengan nada heran. “Bukankah
biasanya mereka suka bertindak semena-mena?”
“Hust, tidak baik
ngomongin orang,” jawab penduduk kedua. “Mungkin saja mereka sudah mendapat
petunjuk dari Tuhan. Seharusnya kita bersyukur karena mereka berubah menjadi
baik.”
“Tapi ini aneh
sekali,” sambung penduduk pertama masih ragu. “Kenapa perubahannya begitu
mendadak?”
“Hidayah dari Tuhan
memang tidak pandang waktu,” jawab penduduk kedua lagi. “Sudahlah, sebaiknya
kita pulang. Tidak baik ngomongin orang.”
Penduduk pertama
mengangguk dan mereka pun pulang ke rumah masing-masing.
Kebaikan La Gala
sampai juga ke telinga Lesmana. Ia dan istrinya menjadi semakin bangga kepada
La Gala. Karena memang bagi mereka berdua La Gala dari dulu selalu berperilaku
baik.
“Ayah dengar katanya
hari ini kau membantu panen kelapa sawit?” Tanya Lesmana ketika mereka berada
di ruang makan. “Ayah bangga padamu, Nak. Dari dulu kau memang bisa
diandalkan.”
La Gala hanya
tersenyum. “Ini semua juga berkat didikan ayah dan ibu. Tanpa didikan dari
kalian aku tidak akan pernah seperti ini.”
“Terima kasih, Mbok…”
Ucap Lesmana ketika Mbok Suketi membawa makanan penutup ke meja makan. “Kalau
bukan karena didikan Mbok Suketi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan
putraku. Beberapa bulan ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Istriku juga
tidak bisa menemani La Gala lagi.”
“La Gala anak yang
baik, Tuan.” Jawab Mbok Suketi pelan.
***
Hari yang
ditunggu-tunggu oleh semua penduduk akhirnya tiba. Tepat ketika sembilan bulan,
perut Selasih mendadak berkontraksi. Lima bidan dan tenaga medis sudah Lesmana
siapkan guna mempersiapkan kelahiran sang bayi. Dan tepat tengah malam─beberapa saat sebelum kelahiran sang bayi, terdengar suara raungan keras
yang sepertinya berasal dari dalam hutan. Tidak ada yang tahu pasti suara apa
itu. Tapi yang jelas, begitu suara raungan itu lenyap, sang bayi laki-laki
keluar dari rahim Selasih dengan selamat.
Hampir semua penduduk
yang mendengar kelahiran sang bayi menangis haru. Tidak terkecuali Lesmana dan
Selasih yang akhirnya mendapatkan momongan setelah bertahun-tahun menunggunya.
“Aku beri nama ia La
Golo,” kata Lesmana mengecup istrinya yang matanya berkaca-kaca. “Bagaimana
menurutmu?”
“Nama yang bagus,”
jawab sang istri pelan. “La Gala pasti senang ia sudah jadi kakak.”
Lesmana dan istrinya
menggelar pesta besar-besaran untuk merayakan kelahiran La Golo. Semua penduduk
tampak semakin larut dalam kebahagian menyambut sang pangeran desa. Begitu juga
dengan Mbok Suketi dan La Gala, mereka juga tampak senang, karena rencana
mereka sepertinya berhasil.
“Kita lihat saja
beberapa tahun lagi,” kata Mbok Suketi dengan senyum liciknya. “Suara raungan
yang terdengar sebelum La Golo lahir adalah suara kutukan yang dilakukan
Guntara. Lihat saja nanti betapa buruknya perangai La Golo.”
Seperti halnya La
Gala, pasangan suami istri itu sangat memanjakan La Golo. Apa saja yang
diingikan La Golo selalu mereka turuti. Sama seperti halnya La Gala, tabiat La
Golo juga ternyata menjadi sangat buruk. Apalagi setelah mendapat kisikan dan
Mbok Suketi, La Golo tumbuh menjadi remaja yang sulit dikendalikan. Setiap hari
kerjanya hanya malas-malasan dan makan. Dalam sehari La Golo bisa menghabiskan
puluhan bakul nasi dan delapan ekor ayam panggang.
“AKU MAU MAKAN PAHA
SAPI BAKAR!!!” Teriak La Golo yang kala itu sudah remaja. “Ayah, ibu, cepat
bawakan makanan itu. Aku lapar.”
Lesmana bergegas
menyuruh juru masak untuk menghidangkan makanan yang diminta La Golo dengan
segera. Dan lima menit kemudian juru masak itu membawa setampah besar paha sapi
bakar yang aromanya sangat lezat. Demi melihat paha sapi bakar itu. Air liur La
Golo terus menetes dan tidak butuh waktu lama bagi La Golo untuk menghabiskan
paha sapi bakar itu.
“Kenapa La Golo
berubah seperti ini?” Wajah Selasih banjir oleh air mata ketika melihat La Golo
tengah tertidur karena kekenyangan. “Setiap hari ia hanya malas-malasan. Ia
sangat berbeda dengan La Gala.”
“Aku juga tidak
tahu,” jawab Lesmana prihatin. “Kita harus melakukan sesuatu, istriku, kita
tidak bisa membiarkan La Golo terus seperti ini. Biar bagaimana pun juga, La
Golo adalah pewaris semua kekayaan kita.”
“Kita sudah melakukan
berbagai macam cara, suamiku,” jawab Selasih muram. “Tapi tidak ada satu orang
pun yang bisa mengendalikan La Golo. Ia semakin brutal dan urakan. Bahkan Mbok
Suketi pun sudah tidak sanggup untuk merawatnya.”
Semakin hari perangai
La Golo semakin menjadi-jadi. La Golo semakin sering berbuat onar dan
berkelahi, ia tidak pernah mau bekerja membantu ayahnya ataupun sekolah seperti
remaja lain. Banyak warga yang akhirnya mengadukan kelakukan La Golo kepada
Lesmana.
“La Golo merusak
warungku, Tuan…” Ratap seorang penduduk yang warung makannya dihancurkan La
Golo. “Tadi La Golo meminta daging kambing, tapi kebetulan persediaan daging
kambing sedang kosong, sehingga La Golo ngamuk dan menghancurkan warung
makanku.”
“Dasar anak kurang
ajar!” Lesmana mengepalkan kedua tangannya dengan geram. “Panggilkan La Golo ke
sini, biar aku beri pelajaran.”
La Golo datang dengan
sikap pongah lima belas menit kemudian. Ditangannya tergenggam seekor ayam
bakar yang tengah dimakannya. “Ada apa, ayah?”
“Duduk.” Perintah
Lesmana dengan suara keras. “Aku mendapat laporan dari para warga jika kau
membuat onar. Apa itu benar, La Golo?”
La Golo menjilati
jarinya dengan rakus. Lemak yang berkilat di bibirnya tampak menjijikan. “Itu
benar, ayah. Mereka tidak mau memberiku daging kambing untuk makan siang.”
“Kau harus minta
maaf.” Sembur Lesmana berang. “Kau tidak boleh membuat onar lagi, La Golo.”
“Aku tidak mau.”
Jawab La Golo enteng, ia terus menggigit ayam bakar yang tengah dipegangnya.
“Salah mereka sendiri kenapa tidak memberiku makanan.”
Lesmana yang berang
bangkit dan merebut ayam bakar yang tengah dipegang La Golo. Lesmana
melemparkan ayam bakar itu ke tanah seraya berkata: “Kau memang anak yang tidak
berguna, La Golo. Kau mempermalukan keluarga kita. Cepat minta maaf.”
“AKU TIDAK MAU!”
Teriak La Golo tepat dimuka ayahnya. Setelah itu La Golo pergi meninggalkan
ayahnya dan menendang sebuah meja hingga hancur.
Hati Lesmana terasa
hancur melihat perangai La Golo yang sangat buruk. Begitu juga dengan Selasih,
wanita lembut itu menghampiri suaminya dengan air mata bercucuran.
“Kita harus melakukan
sesuatu, suamiku,” kata Selasih parau. “La Golo sudah keterlaluan. Banyak warga
yang sudah mulai resah dengan ulah La Golo.”
“Panggil La Gala dan
Mbok Suketi,” perintah Lesmana kepada salah satu pembantu rumahnya.
“Baik, Tuan…”
Pembantu itu pun pergi.
La Gala dan Mbok
Suketi tiba beberapa menit kemudian. Wajah La Gala tampak murung dengan sebuah
torehan luka di wajahnya, sedangkan Mbok Suketi sepertinya habis menangis.
“Apa yang terjadi,
Mbok?” Tanya Selasih cemas. “Apa Mbok habis menangis?”
“La Golo baru saja
memaki, Mbok Suketi,” jawab La Gala pelan. “Aku mencoba menasehati La Golo tapi
gagal, ia malah melukai wajahku.”
“DASAR ANAK KURANG
AJAR!” Raung Lesmana semakin berang. “Aku lebih baik tidak punya anak daripada
punya anak seperti ia.”
“Tidak baik ngomong
seperti itu, suamiku…” Selasih mengelus bahu suaminya. “Biar bagaimana pun La
Golo anak kita, darah daging kita.”
“Aku tidak sudi punya
anak seperti ia.” Geram Lesmana. “Kita harus mencari cara agar La Golo pergi
dari desa ini.”
“Tapi biar bagaimana
pun La Golo adikku, ayah…” jawab La Gala pelan. “Kita tidak bisa menyingkirkan
ia.”
“Kau memang anak yang
baik, La Gala,” kata Lesmana dengan nada bangga. “Dari dulu kau selalu
membanggakan ayah. Aku tahu La Golo adikmu, tapi ia juga harus diberi pelajaran
biar jera.”
“Tapi apa yang akan
ayah lakukan?”
Setelah melakukan
musyawarah dengan La Gala dan Mbok Suketi. Lesmana memutuskan untuk membuang La
Golo ke dalam hutan. Pada awalnya Selasih tidak setuju dengan keputusan
suaminya. Biar bagaimana pun buruknya
kelakuan seorang anak. Naluri seorang ibu tidak akan tega membuang anaknya.
“Dulu, aku memberinya
nama La Golo, supaya jika besar ia bersenjatakan golok. Dengan artian supaya ia
mampu membuat kebun sawit kita menjadi lebih maju. Tapi ternyata yang terjadi
malah sebaliknya. La Golo malah mempermalukan keluarga kita.”
“Apa tidak ada cara
lain?” Tanya Selasih bimbang. “Hutan itu tempat berbahaya, banyak binatang buas
di sana. Aku juga dengar kalau di hutan itu ada raksasa.”
“Ini cara terbaik
untuk memberi pelajaran La Golo,” jawab sang suami. “Pokoknya kau tenang saja.
Semuanya biar aku yang urus.”
Mbok Suketi mengelus
bahu Selasih. Sedangkan La Gala menggenggam tangan ibu angkatnya seraya
berkata: “Aku janji tidak akan mengecewakan ibu. Aku pasti akan membuat ayah
dan ibu bangga.” Selasih akhirnya mengangguk setuju untuk membuang La Golo ke
dalam hutan.
Maka keesokan harinya
Selasih dan Mbok Suketi memasak masakan yang sangat banyak dan lezat-lezat.
Demi melihat makanan yang begitu banyaknya, air liur La Golo terus menetes.
“Kenapa ibu masak
banyak sekali?” Tanya La Golo mengambil sepotong paha ayam goreng dan
melahapnya. “Apa hari ini ada pesta?”
“Ini untuk bekal ayah,”
kata Selasih memasukan makanan itu ke dalam tempat yang biasa digunakan untuk
bekal. “Ayah akan mencari apel emas di dalam hutan. Katanya apel itu sangat
enak.”
Mendengar makanan
enak mata La Golo langsung berbinar. “Apa aku boleh ikut mencari apel emas?”
Selasih mengangguk.
“Sebaiknya kau makan dulu. Dan ini bekal buat di hutan nanti.”
La Golo mengangguk
dan dengan sangat cepat memakan sarapannya itu. Setelah ia menghabiskan
sarapannya, La Golo menghampiri ayahnya yang saat itu tengah bersiap-siap. “Ayah,
aku mau ikut mencari apel emas.”
Lesmana hanya
mengangguk. Mereka kemudian menaiki kuda menuju ke dalam hutan. Begitu mereka
sampai di dalam hutan. Lesmana mengatakan bahwa ia akan memetik apel emas di
pohon dekat jurang. La Golo berinisiatif untuk mengambil apel emas itu, dengan
cekatan ia segera memanjat pohon itu. Begitu La Golo sampai di atas pohon.
Lesmana menebang pohon itu hingga tumbang dan jatuh ke dalam jurang.
Berita kematian La
Golo langsung menyebar dengan sangat cepat. Hampir semua penduduk menyambut
dengan suka cita berita itu. Hanya Selasih lah yang terus merasa bersalah
karena secara tidak langsung ia telah membunuh anak kandungnya sendiri.
Lesmana segera
mengadakan upacara doa arwah untuk kematian La Golo supaya tenang di alam
akherat. Lesmana segera menyuruh para pembantunya untuk memanggang tiga ekor
kambing gemuk dan satu ekor sapi untuk upacara.
***
La Golo merasakan
sesuatu yang berdenyut menyakitkan di dalam kepalanya. Ia membuka mata dan
melihat keadaan di sekelilingnya gelap. La Golo merasa ketakutan begitu
menyadari bahwa ia tengah berada di dalam hutan. La Golo menangis mencoba
mencari jalan untuk kembali ke rumahnya. Namun gagal, semakin La Golo berjalan,
ia merasa semakin masuk ke dalam hutan.
Selama berhari-hari
La Golo terus menyusuri belantara itu. Perbekalan yang disiapkan oleh ibunya
telah habis dua hari yang lalu. La Golo menyesal karena tidak berusaha
menghemat persediaan makanan. Dengan rasa lapar dan haus yang terus
menyerangnya. La Golo terus berjalan menyusuri hutan itu. La Golo hanya makan
dari buah ceplukan yang ia temukan di sesemakan. Sedangkan untuk minum, La Golo
meminum air dari ceruk-ceruk pohon yang menampung air hujan.
“Kita bagi hasil
tangkapan kita…”
La Golo menghentikan
langkah begitu mendengar sebuah suara. La Golo berjalan pelan ke arah suara itu
dan ketika ia mengintip dari balik pohon trembasi, ia melihat tiga remaja
seusianya sedang bercakap-cakap.
“Oke, aku setuju,”
jawab si anak perempuan satu-satunya. “Banyak sekali kau dapat ikan, La Ngepe.
Ayo sebaiknya kita bakar ikan ini, aku sudah lapar.”
Ketiga remaja itu
kemudian mencari kayu bakar untuk membakar ikan mereka. La Golo yang terus
mengikuti ketiga anak itu merasakan perutnya melilit begitu mencium aroma ikan
bakar yang menguar lezat. Rasa lapar yang menguasai La Golo akhirnya memaksanya
untuk menemui mereka bertiga. Dan sesuai dugaan La Golo, ketiga anak itu
langsung tampak awas begitu La Golo muncul.
“Siapa kau?” Tanya si
anak perempuan. “Apa kau juga tersesat di hutan ini?”
La Golo kemudian menceritakan
apa yang terjadi pada dirinya. Hingga penyesalan dirinya karena selama ini
bersikap sangat buruk. La Golo berjanji, bahwa jika ia bisa kembali ke
rumahnya, La Golo akan menjadi anak baik.
“Kami juga mempunyai
nasib yang sama sepertimu, La Golo,” kata si anak perempuan yang bernama
Sandari. “Ayah sengaja membuang kami bertiga ke hutan ini karena sikap kami
yang sangat buruk. Kami juga menyesal telah berbuat jahat, jika Tuhan kembali
memberi kami kesempatan untuk bertemu orangtua kami, kami janji akan menjadi
anak yang baik.”
Berdasarkan persamaan
nasib dan masa lalu yang sama. Keempat anak itu akhirnya menjadi sahabat.
Mereka bekerja bersama-sama mencari makanan. La Golo merasa bersyukur atas
semua yang menimpa dirinya. La Golo merasa malu jika teringat dengan sikap
manja dan pemalasnya dulu.
Banyak hal yang
dipelajari La Golo selama ia berada di dalam hutan. Tentang makna bekerja sama
yang selama ini ia tidak pernah pahami. Persahabatan dengan Sandari, La Ngepe
dan La Bonggo telah mengubah tabiat La Golo yang dulu buruk menjadi baik.
Banyak ilmu juga yang didapat La Golo selama berada di dalam hutan. Ia belajar
berlari sangat cepat dari seekor kijang, belajar memanjat pohon dari seekor
beruk kelaparan yang diberinya makan hingga belajar kekuatan adu kepala dari
banteng yang ditemuinya.
Pada suatu hari yang
basah. La Golo beserta keempat temannya disibukan dengan mencari ikan di
sungai. Sandari dengan bakatnya yang sangat luar biasa berhasil membendung
sungai dengan ikan yang berlimpah. Sedangkan La Bonggo yang mendapatkan ilmu
dari seekor gajah berhasil menyedot semua air di sungai itu sehingga memudahkan
La Golo dan La Ngepe mengambil ikan itu.
“Kita tidak punya
api,” kata Sandari begitu mereka berhasil mengumpulkan puluhan ikan. “Hujan
terus mengguyur hutan ini, semua kayu basah.”
La Golo tampak
berpikir bagaimana caranya mereka mendapatkan api. Setelah lima menit terdiam,
akhirnya La Golo mengemukakan apa yang ada di pikirannya.
“Hanya ada satu
tempat kita bisa mendapatkan api,” kata La Golo. “Kita harus ke gua di sebelah
barat. Tempat Ompu dan Wa’i[2]
raksasa tinggal.”
“Apa kau gila?” Kata
La Ngepe tidak setuju. “Selama ini kita selalu menghindari tempat itu, mereka
mahluk yang sangat buas. Kita bisa dimakan mereka.”
“Tidak ada pilihan
lain,” jawab La Golo tegas. “Hanya cara itu satu-satunya agar kita mendapatkan
api. Kalian sebaiknya tunggu di sini. Aku yang akan menghadapi mereka.”
“Kami ikut.” Kata
ketiga teman La Golo bersamaan. “Kami tidak mungkin membiarkan kau melawan
raksasa itu seorang diri. Kita hadapi raksasa itu bersama.”
Maka mereka berempat
pun menghampiri gua tempat tinggal kedua raksasa itu. Dan betapa terkejutnya La
Golo begitu mereka sampai di gua. Bukan hanya raksasa yang mereka temui,
melainkan dua sosok yang sudah sangat familiar bagi La Golo.
“Mbok Suketi?” Kata
La Golo begitu melihat mantan pengasuhnya di gua itu. “Apa yang Mbok lakukan di
sini?”
Jeritan memilukan
menggema di dalam gua itu. La Golo hafal betul dengar suara itu. Itu adalah
suara ibu dan ayahnya.
“Ayah… Ibu…”
Tepukan tangan
terdengar dari dalam gua. Sesosok lelaki keluar dari dalam gua seraya membawa
dua sosok lain yang terikat tali. Dan ia adalah La Gala yang tengah menyeret
orangtua La Golo.
“Halo adikku,” La
Gala tersenyum licik. “Oh, kau masih hidup rupanya, aku kira kau sudah mati.”
“Lepaskan mereka!”
Teriak La Golo geram melihat apa yang dilakukan oleh La Gala.
“Habisi mereka,
Guntara…” Kata Mbok Suketi menyuruh kedua raksasa itu untuk menyerang La Golo.
“Aku sudah tidak membutuhkan mereka lagi, La Gala sudah mendapatkan semua yang
kami inginkan.”
Guntara si raksasa
pun menyerang La Golo dengan brutal. Namun La Golo dengan semua ilmu yang
dipelajari dari kijang berhasil menghindar dari serangan Guntara. Bahkan La
Gala berhasil memberikan serudukan kepala tepat di kaki Guntara, hingga raksasa
itu meraung kesakitan.
La Golo tidak mau
menyia-nyaian kesempatan itu. Dengan bantuan ketiga temannya, akhirnya La Golo
berhasil melepaskan kedua orangtuanya dari cengkraman La Gala.
Kedua raksasa itu
kembali menyerang La Golo. Namun La Golo yang sudah bersiaga dengan ilmu
seruduk kepalanya balas menyerang Guntara, dan ketika serudukan La Golo
menghantam pergelangan kaki Guntara, terdengar derak tulang patah yang
mengerikan. Guntara roboh menghantam dinding tembok gua yang menyebabkan gua
itu bergetar mau ambruk. La Golo tepat berhasil keluar bersama kedua
orangtuanya dan ketiga sahabatnya ketika goa itu benar-benar hancur dan
menimbun kedua raksasa, Mbok Suketi dan La Gala hingga tewas.
La Golo kemudian
memeluk kedua orangtuanya dan berjanji akan menjadi orang baik. Mereka kemudian
berhasil kembali ke desa bersama ketiga sahabat La Golo dan hidup bahagia
selamanya