Senin, 25 Juli 2016

CERPEN "LA GOLO DAN LA GALA" DIMUAT DI FLORES SASTRA EDISI 25 JULI 2016.



LA GOLO DAN LA GALA
RAGIEL JP

Di sebuah desa nun jauh di sana, hiduplah sepasang suami istri kaya raya. Selain dikenal sebagai pasangan yang sangat kaya raya. Mereka juga dikenal mempunyai tabiat yang sangat baik. Hampir semua warga sangat menyegani mereka. Sang Suami bernama Lesmana, ia seorang lelaki tinggi besar penuh kharisma. Sedangkan sang istri bernama Selasih, ia adalah seorang wanita yang sangat lembut dan baik kepada siapa pun juga.
Walau pasangan suami istri itu bisa dibilang mempunyai segalanya. Namun ada satu hal yang terus mengganggu pikiran mereka. Mereka belum mempunyai momongan.
“Kita harus lebih sabar, istriku,” hibur Lesmana setiap kali istrinya mengungkapkan keinginan memperoleh buah hati. “Mungkin saja Tuhan memang belum mengizinkan kita mendapatkan momongan.”
“Tapi aku ingin seperti ibu-ibu yang lain,” jawab istrinya sedih. “Aku ingin menggendong bayi.”
“Aku tahu,” jawab Lesmana mengelus dengan lembut bahu Selasih. “Bagaimana kalau kita mengadopsi bayi dari seorang penduduk yang kurang mampu?”
Selasih mengangkat wajahnya yang penuh dengan air mata. “Apa Kakanda serius?”
Lesmana mengangguk. “Bagaimana? Apa Adinda setuju?”
Selasih mengangguk senang. “Sebenarnya aku sudah lama mau mengatakan ini, tapi aku takut Kakanda tidak setuju.”
“Harusnya Adinda mengatakannya dari dulu,” jawab Lesmana senang dengan kebahagiaan yang tergambar di wajah istrinya. “Tentu saja aku tidak pernah keberatan kalau Adinda menginginkan adopsi. Lagi pula banyak yang percaya, siapa tahu dengan kita mengadopsi bayi, Adinda bisa hamil.”
Selasih kembali memeluk suaminya dengan tangis haru. “Terima kasih, Kakanda.”
Maka keesokan harinya Lesmana dan istrinya membuat pengumuman kepada semua warga bahwa ia ingin mengadopsi salah satu bayi mereka. Dan kerumunan massa langsung heboh dengan kabar itu. Banyak warga yang ingin menyerahkan anaknya untuk diadopsi oleh Lesmana.
“Katanya kita akan mendapatkan uang banyak,” kata seorang wanita berwajah tirus. “Semoga saja Tuan Lesmana memilih bayiku, aku tidak tega membiarkan anakku hidup miskin seperti aku.”
“Anakku lebih tampan,” balas seorang wanita gemuk pendek. “Aku yakin mereka akan memilih anakku.”
“Kita lihat saja,” jawab wanita berwajah tirus panas. “Aku yakin mereka akan memilih anakku.”
Setelah suami istri itu melihat seratus bayi yang ditawarkan sukarela oleh penduduk. Akhirnya pasangan suami istri itu memilih seorang bayi lelaki dari seorang wanita berwajah tirus bernama Mbok Suketi.
“Lihat apa yang aku dapatkan,” kata Mbok Suketi dengan nada sombong. “Aku kan sudah bilang, pasti anakku yang akan dipilih  Tuan Lesmana. Lihat, aku sekarang kaya. Aku juga diperbolehkan untuk bekerja di rumah Tuan Lesmana untuk membantu mengurus anakku sendiri.”
Wanita tua berbadan gemuk pendek itu hanya terdiam dan pergi meninggalkan Mbok Suketi. Ia tahu, bahwa Mbok Suketi pasti sedang merencanakan sesuatu yang buruk.

***

Sementara itu Lesmana dan istrinya tengah berbahagia karena rumah mereka telah kehadiran seorang bayi laki-laki yang diberi nama La Gala. Selasih sangat menyanyangi La Gala sebagaimana ia menyayangi anaknya sendiri. Apa pun yang La Gala minta pasti akan dituruti. Dengan semua fasilitas yang diberikan oleh orangtua angkatnya, La Gala tumbuh menjadi anak yang sangat sombong.
Di dalam rumah, La Gala adalah seorang anak yang sangat baik dan penurut. Sedangkan bila di luar rumah, atau ketika ayah dan ibu angkatnya berada di luar kota, La Gala berperilaku semena-mena terhadap para pembantu yang ada di rumahnya. Ia juga sering sekali menghina para warga dan suka berbuat onar.
Walau La Gala mempunyai perilaku yang sangat buruk. Para penduduk tidak ada yang berani memberitahukan keburukan La Gala kepada Lesmana dan istrinya. La Gala selalu mengancam akan memecat mereka jika berani mengadukan perbuatan buruknya itu.
Waktu terus berjalan. La Gala kini sudah berusia tujuh belas tahun. Perilakunya juga semakin semena-mena terhadap semua warga. Ia semakin suka berbuat onar. Bahkan tidak jarang ia pergi mabuk-mabukan bersama berandal lain dan mengancam akan membunuh siapa pun yang mencoba mengadukan perbuatannya kepada Lesmana.
“Ini pasti karena Mbok Suketi,” kata seorang warga yang dagangannya dihancurkan La Gala. “Kita semua sudah tahu kalau Mbok Suketi itu orang licik. Ia pasti yang mengajari La Gala supaya bertindak semena-mena.”
“Aku juga berpikir begitu,” jawab perempuan gemuk pendek. “Aku sudah lama menduga jika Mbok Suketi mempunyai rencana jahat. Lihat saja ia semakin sombong dengan kekayannya. Kita harus segera memberitahukan perihal La Gala pada Tuan Lesmana, sebelum semuanya terlambat.”
“Aku tidak berani,” jawab seorang penduduk lagi. “Kalian tahu sendiri bagaimana perangai La Gala, ia tidak segan-segan membuat kita menderita jika mengadukan perbuatannya. Apa kalian ingat kejadian yang menimpa Warno?”
“Kakinya patah karena dihajar La Gala,” jawab perempuan gemuk pendek itu. “Pokoknya kita harus mencari bukti kalau La Gala mempunyai perangai yang buruk.”
Mereka semua terdiam. Mencari bukti bahwa La Gala berperilaku jahat cukup sulit, mengingat ia sangat pandai memutarbalikan fakta dan selalu bersikap baik di hadapan kedua orangtuanya.
“Aku dengar istri Tuan Lesmana sedang hamil muda ya?” Kata wanita gemuk pendek mencoba mengalihkan pembicaraan. “Semoga saja itu benar, dengan lahirnya anak itu, aku yakin akan membuat Tuan Lesmana dan Selasih tidak terlalu menyanyangi La Gala lagi.”
Berita tentang kehamilan Selasih langsung menyebar ke seantero desa. Banyak warga yang mengucapkan selamat atas kehamilan Selasih. Begitu juga dengan Lesmana, ia merasa sangat senang karena akhirnya mempunyai seorang anak dari darah dagingnya sendiri. Maka, sebagai ungkapan terima kasihnya kepada Tuhan dan juga doa para warga, Lesmana mengadakan syukuran besar-besaran. Semua warga diperbolehkan hadir dan makan sepuas-puasnya. Tidak hanya itu, Lesmana dan istrinya juga membagi-bagikan bahan makanan kepada semua warga.
“Selamat, Tuan Lesmana,” kata seorang laki-laki bernama Tarmo. “Akhirnya Tuan mendapatkan momongan juga. Semoga semuanya berjalan lancar.”
Tuan Lesmana hanya tersenyum senang. Perasaannya sedang berbunga-bunga, karena penantiannya selama lebih dari satu dekade akhirnya membuahkan hasil. Berbagai usaha dan doa yang selama ini ia panjatkan akhirnya dijawab Tuhan. Lesmana sadar, bahwa kesabaran adalah kunci untuk berbicara dengan Tuhan.
“Aku sangat senang akhirnya Nyonya bisa hamil,” kata Mbok Suketi ketika sedang menemani Selasih di dalam kamar. “Tuan Lesmana pasti sangat bahagia, sebentar lagi La Gala akan punya adik.”
Selasih tersenyum sumringah. “Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang kakak, La Gala.”
La Gala tersenyum sedikit dipaksakan. Hatinya dibakar oleh kebencian dengan jabang bayi yang ada di perut ibu angkatnya. Bagi La Gala, calon bayi itu adalah ancaman yang akan mengacaukan semua rencana yang sudah disusunnya.

***

Detik bergulir menjadi menit. Menit bergerak menjadi jam. Jam bergabung menjadi hari. Hari bersatu menjadi bulan. Tanpa terasa usia kandungan Selasih sudah memasuki delapan bulan. Setiap hari Selasih dan suaminya selalu merawat kandungannya dengan baik. Banyak wanita yang dengan sukarela menjaga Selasih. Bagi para warga, kehamilan Selasih adalah jawaban dari doa-doa yang selama ini mereka panjatkan kepada Tuhan. Doa-doa yang mereka rapalkan untuk mengakhiri kekejaman La Gala.
Hidup memang seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Jika Lesmana, Selasih dan semua warga desa tengah bahagia menunggu momen kelahiran seorang bayi. Lain halnya dengan Mbok Suketi, ia sangat resah jika bayi itu benar-benar lahir. Mbok Suketi berani bertaruh bahwa tampuk kekuasaan dan kekayaan Lesmana pasti akan jatuh ke tangan bayi itu. Percuma saja ia selama ini menunggu dengan sia-sia.
“Kita tidak bisa membiarkan bayi itu lahir, Bu,” kata La Gala pada suatu malam. “Kalau bayi itu lahir, kita pasti tidak akan mendapatkan apa-apa.”
“Ibu tahu,” jawab Mbok Suketi tampak berpikir. “Ibu juga tidak mau anak sialan itu lahir. Ia harus disingkirkan.”
“Bagimana caranya?”
Mbok Suketi terdiam. Selama ini ia sudah berusaha untuk menggugurkan kandungan Selasih, tapi selalu saja gagal. Terlalu banyak orang yang menjaga Selasih. Pernah sekali ia berniat memberikan jamu yang sudah dicampur racun untuk Selasih, tapi secara mengejutkan ada seorang yang menyenggolnya hingga gelas itu jatuh dan pecah di lantai.
Mbok Suketi berani bersumpah bahwa para penjaga mulai curiga dengan ulahnya. Mbok Suketi menjadi lebih berhati-hati sekarang. Ia tidak mau terburu-buru menjalankan rencananya. Biar pelan asal berhasil.
“Kau terus mainkan saja peranmu, anakku,” kata Mbok Suketi mengelus bahu La Gala. “Teruslah pura-pura berbuat baik. Tunggu hingga semua warga merasa bahwa kau telah berubah. Dan ketika mereka sudah mendapatkan kepercayaanmu. Ibu yakin mereka akan lengah dan saat itulah kita perlahan mulai melakukan rencana kita.”
“Tapi bagaimana kalau kita gagal?”
“Percaya sama ibu…” Mbok Suketi kembali mengelus wajah La Gala. “Ibu akan melakukan apa pun agar kekayaan Lesmana jatuh ke tanganmu. Ibu janji. Bila perlu ibu akan meminta bantuan Ompu[1] Guntara”

***

Perubahan sifat La Gala membuat beberapa penduduk desa merasa heran. La Gala yang dulu terkenal kejam dan suka membuat onar kini telah menjelma menjadi sosok yang sangat berbeda. La Gala sekarang gemar sekali membantu orang lain. Bahkan di suatu waktu, La Gala pernah membantu seorang pembajak sawah yang terjatuh dari galangan sawah. Bahkan tidak jarang pula La Gala dan Mbok Suketi memberikan beberapa bahan makanan dan pakaian kepada para penduduk yang ditemuinya.
“Kenapa mereka berubah menjadi baik?” Tanya penduduk pertama dengan nada heran. “Bukankah biasanya mereka suka bertindak semena-mena?”
“Hust, tidak baik ngomongin orang,” jawab penduduk kedua. “Mungkin saja mereka sudah mendapat petunjuk dari Tuhan. Seharusnya kita bersyukur karena mereka berubah menjadi baik.”
“Tapi ini aneh sekali,” sambung penduduk pertama masih ragu. “Kenapa perubahannya begitu mendadak?”
“Hidayah dari Tuhan memang tidak pandang waktu,” jawab penduduk kedua lagi. “Sudahlah, sebaiknya kita pulang. Tidak baik ngomongin orang.”
Penduduk pertama mengangguk dan mereka pun pulang ke rumah masing-masing.

Kebaikan La Gala sampai juga ke telinga Lesmana. Ia dan istrinya menjadi semakin bangga kepada La Gala. Karena memang bagi mereka berdua La Gala dari dulu selalu berperilaku baik.
“Ayah dengar katanya hari ini kau membantu panen kelapa sawit?” Tanya Lesmana ketika mereka berada di ruang makan. “Ayah bangga padamu, Nak. Dari dulu kau memang bisa diandalkan.”
La Gala hanya tersenyum. “Ini semua juga berkat didikan ayah dan ibu. Tanpa didikan dari kalian aku tidak akan pernah seperti ini.”
“Terima kasih, Mbok…” Ucap Lesmana ketika Mbok Suketi membawa makanan penutup ke meja makan. “Kalau bukan karena didikan Mbok Suketi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan putraku. Beberapa bulan ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Istriku juga tidak bisa menemani La Gala lagi.”
“La Gala anak yang baik, Tuan.” Jawab Mbok Suketi pelan.


***

Hari yang ditunggu-tunggu oleh semua penduduk akhirnya tiba. Tepat ketika sembilan bulan, perut Selasih mendadak berkontraksi. Lima bidan dan tenaga medis sudah Lesmana siapkan guna mempersiapkan kelahiran sang bayi. Dan tepat tengah malambeberapa saat sebelum kelahiran sang bayi, terdengar suara raungan keras yang sepertinya berasal dari dalam hutan. Tidak ada yang tahu pasti suara apa itu. Tapi yang jelas, begitu suara raungan itu lenyap, sang bayi laki-laki keluar dari rahim Selasih dengan selamat.
Hampir semua penduduk yang mendengar kelahiran sang bayi menangis haru. Tidak terkecuali Lesmana dan Selasih yang akhirnya mendapatkan momongan setelah bertahun-tahun menunggunya.
“Aku beri nama ia La Golo,” kata Lesmana mengecup istrinya yang matanya berkaca-kaca. “Bagaimana menurutmu?”
“Nama yang bagus,” jawab sang istri pelan. “La Gala pasti senang ia sudah jadi kakak.”
Lesmana dan istrinya menggelar pesta besar-besaran untuk merayakan kelahiran La Golo. Semua penduduk tampak semakin larut dalam kebahagian menyambut sang pangeran desa. Begitu juga dengan Mbok Suketi dan La Gala, mereka juga tampak senang, karena rencana mereka sepertinya berhasil.
“Kita lihat saja beberapa tahun lagi,” kata Mbok Suketi dengan senyum liciknya. “Suara raungan yang terdengar sebelum La Golo lahir adalah suara kutukan yang dilakukan Guntara. Lihat saja nanti betapa buruknya perangai La Golo.”
Seperti halnya La Gala, pasangan suami istri itu sangat memanjakan La Golo. Apa saja yang diingikan La Golo selalu mereka turuti. Sama seperti halnya La Gala, tabiat La Golo juga ternyata menjadi sangat buruk. Apalagi setelah mendapat kisikan dan Mbok Suketi, La Golo tumbuh menjadi remaja yang sulit dikendalikan. Setiap hari kerjanya hanya malas-malasan dan makan. Dalam sehari La Golo bisa menghabiskan puluhan bakul nasi dan delapan ekor ayam panggang.
“AKU MAU MAKAN PAHA SAPI BAKAR!!!” Teriak La Golo yang kala itu sudah remaja. “Ayah, ibu, cepat bawakan makanan itu. Aku lapar.”
Lesmana bergegas menyuruh juru masak untuk menghidangkan makanan yang diminta La Golo dengan segera. Dan lima menit kemudian juru masak itu membawa setampah besar paha sapi bakar yang aromanya sangat lezat. Demi melihat paha sapi bakar itu. Air liur La Golo terus menetes dan tidak butuh waktu lama bagi La Golo untuk menghabiskan paha sapi bakar itu.
“Kenapa La Golo berubah seperti ini?” Wajah Selasih banjir oleh air mata ketika melihat La Golo tengah tertidur karena kekenyangan. “Setiap hari ia hanya malas-malasan. Ia sangat berbeda dengan La Gala.”
“Aku juga tidak tahu,” jawab Lesmana prihatin. “Kita harus melakukan sesuatu, istriku, kita tidak bisa membiarkan La Golo terus seperti ini. Biar bagaimana pun juga, La Golo adalah pewaris semua kekayaan kita.”
“Kita sudah melakukan berbagai macam cara, suamiku,” jawab Selasih muram. “Tapi tidak ada satu orang pun yang bisa mengendalikan La Golo. Ia semakin brutal dan urakan. Bahkan Mbok Suketi pun sudah tidak sanggup untuk merawatnya.”
Semakin hari perangai La Golo semakin menjadi-jadi. La Golo semakin sering berbuat onar dan berkelahi, ia tidak pernah mau bekerja membantu ayahnya ataupun sekolah seperti remaja lain. Banyak warga yang akhirnya mengadukan kelakukan La Golo kepada Lesmana.
“La Golo merusak warungku, Tuan…” Ratap seorang penduduk yang warung makannya dihancurkan La Golo. “Tadi La Golo meminta daging kambing, tapi kebetulan persediaan daging kambing sedang kosong, sehingga La Golo ngamuk dan menghancurkan warung makanku.”
“Dasar anak kurang ajar!” Lesmana mengepalkan kedua tangannya dengan geram. “Panggilkan La Golo ke sini, biar aku beri pelajaran.”
La Golo datang dengan sikap pongah lima belas menit kemudian. Ditangannya tergenggam seekor ayam bakar yang tengah dimakannya. “Ada apa, ayah?”
“Duduk.” Perintah Lesmana dengan suara keras. “Aku mendapat laporan dari para warga jika kau membuat onar. Apa itu benar, La Golo?”
La Golo menjilati jarinya dengan rakus. Lemak yang berkilat di bibirnya tampak menjijikan. “Itu benar, ayah. Mereka tidak mau memberiku daging kambing untuk makan siang.”
“Kau harus minta maaf.” Sembur Lesmana berang. “Kau tidak boleh membuat onar lagi, La Golo.”
“Aku tidak mau.” Jawab La Golo enteng, ia terus menggigit ayam bakar yang tengah dipegangnya. “Salah mereka sendiri kenapa tidak memberiku makanan.”
Lesmana yang berang bangkit dan merebut ayam bakar yang tengah dipegang La Golo. Lesmana melemparkan ayam bakar itu ke tanah seraya berkata: “Kau memang anak yang tidak berguna, La Golo. Kau mempermalukan keluarga kita. Cepat minta maaf.”
“AKU TIDAK MAU!” Teriak La Golo tepat dimuka ayahnya. Setelah itu La Golo pergi meninggalkan ayahnya dan menendang sebuah meja hingga hancur.
Hati Lesmana terasa hancur melihat perangai La Golo yang sangat buruk. Begitu juga dengan Selasih, wanita lembut itu menghampiri suaminya dengan air mata bercucuran.
“Kita harus melakukan sesuatu, suamiku,” kata Selasih parau. “La Golo sudah keterlaluan. Banyak warga yang sudah mulai resah dengan ulah La Golo.”
“Panggil La Gala dan Mbok Suketi,” perintah Lesmana kepada salah satu pembantu rumahnya.
“Baik, Tuan…” Pembantu itu pun pergi.
La Gala dan Mbok Suketi tiba beberapa menit kemudian. Wajah La Gala tampak murung dengan sebuah torehan luka di wajahnya, sedangkan Mbok Suketi sepertinya habis menangis.
“Apa yang terjadi, Mbok?” Tanya Selasih cemas. “Apa Mbok habis menangis?”
“La Golo baru saja memaki, Mbok Suketi,” jawab La Gala pelan. “Aku mencoba menasehati La Golo tapi gagal, ia malah melukai wajahku.”
“DASAR ANAK KURANG AJAR!” Raung Lesmana semakin berang. “Aku lebih baik tidak punya anak daripada punya anak seperti ia.”
“Tidak baik ngomong seperti itu, suamiku…” Selasih mengelus bahu suaminya. “Biar bagaimana pun La Golo anak kita, darah daging kita.”
“Aku tidak sudi punya anak seperti ia.” Geram Lesmana. “Kita harus mencari cara agar La Golo pergi dari desa ini.”
“Tapi biar bagaimana pun La Golo adikku, ayah…” jawab La Gala pelan. “Kita tidak bisa menyingkirkan ia.”
“Kau memang anak yang baik, La Gala,” kata Lesmana dengan nada bangga. “Dari dulu kau selalu membanggakan ayah. Aku tahu La Golo adikmu, tapi ia juga harus diberi pelajaran biar jera.”
“Tapi apa yang akan ayah lakukan?”
Setelah melakukan musyawarah dengan La Gala dan Mbok Suketi. Lesmana memutuskan untuk membuang La Golo ke dalam hutan. Pada awalnya Selasih tidak setuju dengan keputusan suaminya.  Biar bagaimana pun buruknya kelakuan seorang anak. Naluri seorang ibu tidak akan tega membuang anaknya.
“Dulu, aku memberinya nama La Golo, supaya jika besar ia bersenjatakan golok. Dengan artian supaya ia mampu membuat kebun sawit kita menjadi lebih maju. Tapi ternyata yang terjadi malah sebaliknya. La Golo malah mempermalukan keluarga kita.”
“Apa tidak ada cara lain?” Tanya Selasih bimbang. “Hutan itu tempat berbahaya, banyak binatang buas di sana. Aku juga dengar kalau di hutan itu ada raksasa.”
“Ini cara terbaik untuk memberi pelajaran La Golo,” jawab sang suami. “Pokoknya kau tenang saja. Semuanya biar aku yang urus.”
Mbok Suketi mengelus bahu Selasih. Sedangkan La Gala menggenggam tangan ibu angkatnya seraya berkata: “Aku janji tidak akan mengecewakan ibu. Aku pasti akan membuat ayah dan ibu bangga.” Selasih akhirnya mengangguk setuju untuk membuang La Golo ke dalam hutan.
Maka keesokan harinya Selasih dan Mbok Suketi memasak masakan yang sangat banyak dan lezat-lezat. Demi melihat makanan yang begitu banyaknya, air liur La Golo terus menetes.
“Kenapa ibu masak banyak sekali?” Tanya La Golo mengambil sepotong paha ayam goreng dan melahapnya. “Apa hari ini ada pesta?”
“Ini untuk bekal ayah,” kata Selasih memasukan makanan itu ke dalam tempat yang biasa digunakan untuk bekal. “Ayah akan mencari apel emas di dalam hutan. Katanya apel itu sangat enak.”
Mendengar makanan enak mata La Golo langsung berbinar. “Apa aku boleh ikut mencari apel emas?”
Selasih mengangguk. “Sebaiknya kau makan dulu. Dan ini bekal buat di hutan nanti.”
La Golo mengangguk dan dengan sangat cepat memakan sarapannya itu. Setelah ia menghabiskan sarapannya, La Golo menghampiri ayahnya yang saat itu tengah bersiap-siap. “Ayah, aku mau ikut mencari apel emas.”
Lesmana hanya mengangguk. Mereka kemudian menaiki kuda menuju ke dalam hutan. Begitu mereka sampai di dalam hutan. Lesmana mengatakan bahwa ia akan memetik apel emas di pohon dekat jurang. La Golo berinisiatif untuk mengambil apel emas itu, dengan cekatan ia segera memanjat pohon itu. Begitu La Golo sampai di atas pohon. Lesmana menebang pohon itu hingga tumbang dan jatuh ke dalam jurang.
Berita kematian La Golo langsung menyebar dengan sangat cepat. Hampir semua penduduk menyambut dengan suka cita berita itu. Hanya Selasih lah yang terus merasa bersalah karena secara tidak langsung ia telah membunuh anak kandungnya sendiri.
Lesmana segera mengadakan upacara doa arwah untuk kematian La Golo supaya tenang di alam akherat. Lesmana segera menyuruh para pembantunya untuk memanggang tiga ekor kambing gemuk dan satu ekor sapi untuk upacara.

***

La Golo merasakan sesuatu yang berdenyut menyakitkan di dalam kepalanya. Ia membuka mata dan melihat keadaan di sekelilingnya gelap. La Golo merasa ketakutan begitu menyadari bahwa ia tengah berada di dalam hutan. La Golo menangis mencoba mencari jalan untuk kembali ke rumahnya. Namun gagal, semakin La Golo berjalan, ia merasa semakin masuk ke dalam hutan.
Selama berhari-hari La Golo terus menyusuri belantara itu. Perbekalan yang disiapkan oleh ibunya telah habis dua hari yang lalu. La Golo menyesal karena tidak berusaha menghemat persediaan makanan. Dengan rasa lapar dan haus yang terus menyerangnya. La Golo terus berjalan menyusuri hutan itu. La Golo hanya makan dari buah ceplukan yang ia temukan di sesemakan. Sedangkan untuk minum, La Golo meminum air dari ceruk-ceruk pohon yang menampung air hujan.
“Kita bagi hasil tangkapan kita…”
La Golo menghentikan langkah begitu mendengar sebuah suara. La Golo berjalan pelan ke arah suara itu dan ketika ia mengintip dari balik pohon trembasi, ia melihat tiga remaja seusianya sedang bercakap-cakap.
“Oke, aku setuju,” jawab si anak perempuan satu-satunya. “Banyak sekali kau dapat ikan, La Ngepe. Ayo sebaiknya kita bakar ikan ini, aku sudah lapar.”
Ketiga remaja itu kemudian mencari kayu bakar untuk membakar ikan mereka. La Golo yang terus mengikuti ketiga anak itu merasakan perutnya melilit begitu mencium aroma ikan bakar yang menguar lezat. Rasa lapar yang menguasai La Golo akhirnya memaksanya untuk menemui mereka bertiga. Dan sesuai dugaan La Golo, ketiga anak itu langsung tampak awas begitu La Golo muncul.
“Siapa kau?” Tanya si anak perempuan. “Apa kau juga tersesat di hutan ini?”
La Golo kemudian menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Hingga penyesalan dirinya karena selama ini bersikap sangat buruk. La Golo berjanji, bahwa jika ia bisa kembali ke rumahnya, La Golo akan menjadi anak baik.
“Kami juga mempunyai nasib yang sama sepertimu, La Golo,” kata si anak perempuan yang bernama Sandari. “Ayah sengaja membuang kami bertiga ke hutan ini karena sikap kami yang sangat buruk. Kami juga menyesal telah berbuat jahat, jika Tuhan kembali memberi kami kesempatan untuk bertemu orangtua kami, kami janji akan menjadi anak yang baik.”
Berdasarkan persamaan nasib dan masa lalu yang sama. Keempat anak itu akhirnya menjadi sahabat. Mereka bekerja bersama-sama mencari makanan. La Golo merasa bersyukur atas semua yang menimpa dirinya. La Golo merasa malu jika teringat dengan sikap manja dan pemalasnya dulu.
Banyak hal yang dipelajari La Golo selama ia berada di dalam hutan. Tentang makna bekerja sama yang selama ini ia tidak pernah pahami. Persahabatan dengan Sandari, La Ngepe dan La Bonggo telah mengubah tabiat La Golo yang dulu buruk menjadi baik. Banyak ilmu juga yang didapat La Golo selama berada di dalam hutan. Ia belajar berlari sangat cepat dari seekor kijang, belajar memanjat pohon dari seekor beruk kelaparan yang diberinya makan hingga belajar kekuatan adu kepala dari banteng yang ditemuinya.

Pada suatu hari yang basah. La Golo beserta keempat temannya disibukan dengan mencari ikan di sungai. Sandari dengan bakatnya yang sangat luar biasa berhasil membendung sungai dengan ikan yang berlimpah. Sedangkan La Bonggo yang mendapatkan ilmu dari seekor gajah berhasil menyedot semua air di sungai itu sehingga memudahkan La Golo dan La Ngepe mengambil ikan itu.
“Kita tidak punya api,” kata Sandari begitu mereka berhasil mengumpulkan puluhan ikan. “Hujan terus mengguyur hutan ini, semua kayu basah.”
La Golo tampak berpikir bagaimana caranya mereka mendapatkan api. Setelah lima menit terdiam, akhirnya La Golo mengemukakan apa yang ada di pikirannya.
“Hanya ada satu tempat kita bisa mendapatkan api,” kata La Golo. “Kita harus ke gua di sebelah barat. Tempat Ompu dan Wa’i[2] raksasa tinggal.”
“Apa kau gila?” Kata La Ngepe tidak setuju. “Selama ini kita selalu menghindari tempat itu, mereka mahluk yang sangat buas. Kita bisa dimakan mereka.”
“Tidak ada pilihan lain,” jawab La Golo tegas. “Hanya cara itu satu-satunya agar kita mendapatkan api. Kalian sebaiknya tunggu di sini. Aku yang akan menghadapi mereka.”
“Kami ikut.” Kata ketiga teman La Golo bersamaan. “Kami tidak mungkin membiarkan kau melawan raksasa itu seorang diri. Kita hadapi raksasa itu bersama.”
Maka mereka berempat pun menghampiri gua tempat tinggal kedua raksasa itu. Dan betapa terkejutnya La Golo begitu mereka sampai di gua. Bukan hanya raksasa yang mereka temui, melainkan dua sosok yang sudah sangat familiar bagi La Golo.
“Mbok Suketi?” Kata La Golo begitu melihat mantan pengasuhnya di gua itu. “Apa yang Mbok lakukan di sini?”
Jeritan memilukan menggema di dalam gua itu. La Golo hafal betul dengar suara itu. Itu adalah suara ibu dan ayahnya.
“Ayah… Ibu…”
Tepukan tangan terdengar dari dalam gua. Sesosok lelaki keluar dari dalam gua seraya membawa dua sosok lain yang terikat tali. Dan ia adalah La Gala yang tengah menyeret orangtua La Golo.
“Halo adikku,” La Gala tersenyum licik. “Oh, kau masih hidup rupanya, aku kira kau sudah mati.”
“Lepaskan mereka!” Teriak La Golo geram melihat apa yang dilakukan oleh La Gala.
“Habisi mereka, Guntara…” Kata Mbok Suketi menyuruh kedua raksasa itu untuk menyerang La Golo. “Aku sudah tidak membutuhkan mereka lagi, La Gala sudah mendapatkan semua yang kami inginkan.”
Guntara si raksasa pun menyerang La Golo dengan brutal. Namun La Golo dengan semua ilmu yang dipelajari dari kijang berhasil menghindar dari serangan Guntara. Bahkan La Gala berhasil memberikan serudukan kepala tepat di kaki Guntara, hingga raksasa itu meraung kesakitan.
La Golo tidak mau menyia-nyaian kesempatan itu. Dengan bantuan ketiga temannya, akhirnya La Golo berhasil melepaskan kedua orangtuanya dari cengkraman La Gala.
Kedua raksasa itu kembali menyerang La Golo. Namun La Golo yang sudah bersiaga dengan ilmu seruduk kepalanya balas menyerang Guntara, dan ketika serudukan La Golo menghantam pergelangan kaki Guntara, terdengar derak tulang patah yang mengerikan. Guntara roboh menghantam dinding tembok gua yang menyebabkan gua itu bergetar mau ambruk. La Golo tepat berhasil keluar bersama kedua orangtuanya dan ketiga sahabatnya ketika goa itu benar-benar hancur dan menimbun kedua raksasa, Mbok Suketi dan La Gala hingga tewas.
La Golo kemudian memeluk kedua orangtuanya dan berjanji akan menjadi orang baik. Mereka kemudian berhasil kembali ke desa bersama ketiga sahabat La Golo dan hidup bahagia selamanya


[1] Kakek
[2] Nenek

CERPEN "ULAR SILUMAN" DIMUAT DI HARIAN DUTA MASYARAKAT EDISI 24 JULI 2016.

ULAR SILUMAN

RAGIEL JP


Sarwin menjerit ketika melihat ular-ular itu mulai merayap ke atas tempat tidurnya, ular-ular itu keluar dari berbagai tempat, dari dalam lemari, dari dalam laci, dari dalam tanah dan dari balik jendela. Ular-ular itu merayap dengan lidahnya yang menjulur dan bercabang, matanya yang merah menyala tampak mengerikan dengan taring yang siap menggigit kepalanya hingga putus.
Sarwin mengambil apa pun yang ada di sebelahnya untuk menghalau ular-ular itu agar tidak mendekat ke arahnya, ia melempar gelas, bantal, vas bunga hingga piring ke arah ular-ular itu, namun, semakin ia berusaha mengusir ular-ular itu, tampaknya ular itu semakin bertambah banyak, ular itu terus memebelah diri seperti bakteri dan lintah, siap menyedot darah dan menyuntikan bisanya yang perlahan-lahan akan menghentikan embusan napasnya.
“Tidaaak!” Sarwin berteriak histeris ketika ular bermata merah itu mulai melilit kakinya, dan ular-ular lain mulai merayap ke tubuhnya, kulit ular itu terasa kasar ketika menyentuh kulitnya. Ular itu sudah melilit leher dan siap memotong lehernya dengan gigi taringnya yang tajam ketika pintu menjeplak terbuka dan seorang wanita berambut kriwil datang menghampirinya.
“Kenapa kamu berteriak malam-malam seperti ini, Mas?” tanya wanita berambut kriwil itu menatap Sarwin. “Tidak tahukah sekarang jam berapa? Jam dua pagi.”
“Ular…” Napas Sarwin memburu ketika ular-ular itu seolah berhenti bergerak. “Ada ular di kamarku, ada ribuan ular.”
“Ular apa?” tanya wanita itu melihat sekeliling kamar suaminya. “Kamu pasti mimpi buruk lagi, tidak ada ular di sini, Mas.”
“Tidak!” Keringat dingin keluar dari kening Sarwin ketika matanya menatap mata merah si ular yang tengah melilit lehernya. “Ular itu banyak sekali, pasti ular siluman, bahkan ada yang sedang melilit leherku.”
Wanita berambut kriwil itu menggelengkan kepalanya. “Tidak ada ular, Mas, itu hanya imajinasimu saja.”
“Aku tidak bohong. Ini bukan imajinasiku, mereka benar benar nyata, ular-ular itu benar-benar ada, mereka sedang menatapku.”
“Tidak ada ular, Mas,” kata istrinya lagi. “Sudah, lebih baik kamu cepat tidur, besok kita ke psikiater lagi.”
“Aku tidak gila!” Sembur Sarwin. “Aku tidak mau ke psikiater, aku hanya perlu orang yang bisa mengusir ular siluman itu.”
“Harus aku katakan berapa kali kalau tidak ada ular, Mas. Sudah malam, aku harus menani Vani, anak kita tampaknya masih terpukul atas hilangnya Rosi—teman baiknya, anak itu menghilang dan sampai sekarang belum kembali.”
Sarwin terdiam. Tidak ada gunanya menceritakan tentang ular-ular siluman itu kepada istrinya. Karena ia tidak akan pernah percaya.
Setelah istrinya keluar dari dalam kamar, Sarwin kembali ketakutan ketika ular-ular yang tadi diam ketika ada istrinya kembali menggeliat dan kembali merayap ke atas tempat tidurnya. Semakin banyak ular-ular yang melilit kakinya dan juga lehernya, membuat Sarwin merasa sesak napas, dan semuanya berubah menjadi gelap ketika seekor ular berukuran lumayan besar melilit lehernya dengan sangat erat.

***

Sarwin terbangun ketika ada yang menggoyang-goyangkan bahunya dengan cukup keras. Dadanya masih terasa memburu dengan napas yang sedikit ngos-ngosan. Ia membuka matanya secara perlahan, takut kalau ular-ular itu masih melilit tubuhnya. Namun begitu ia membuka mata, ia melihat Sakiah—Istrinya tengah menatapnya.
“Bangun juga akhirnya,” katanya. “Kenapa kamu tidur di lantai, Mas?”
Sarwin hanya terdiam, baru sadar bahwa sekarang ia berada di lantai dengan selimut yang hampir melilit seluruh tubuhnya. “Aku tidak apa-apa.”
“Cepat mandi, Mas, setelah itu sarapan, kita harus pergi ke psikiater untuk memeriksamu.”
“Tapi aku tidak gila.”
“Psikiater bukan untuk orang gila, Mas,” kata istrinya lagi. “Siapa tahu dengan kamu datang ke sana bisa menyembuhkan kegelisahanmu akan ular-ular di dalam kepalamu itu.”
“Mereka tidak ada di kepalaku, mereka benar-benar ada di dalam kamarku.” Protes Sarwin.
“Tapi aku tidak pernah melihat ular-ular itu, Mas. Sudahlah sebaiknya kamu cepat mandi. Aku tunggu di bawah lima belas menit lagi.”
Sarwin hanya teridam. Matanya awas melihat keadaan sekeliling. Takut kalau ular siluman itu masih ada di dalam kamarnya. Aman, pikir Sarwin. Tampaknya ular-ular siluman itu hanya menerornya ketika malam hari. Istrinya benar, tidak ada salahnya mencoba mendatangi psikiater, siapa tahu saja psikiater itu bisa mengusir ular-ular siluman yang terus menerornya.
Ular-ular siluman itu mulai menerornya sejak dua hari yang lalu, seperti biasa, ketika ia pulang dalam keadaan mabuk karena minuman keras, Sarwin langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dan secara mengejutkan seekor ular keluar dari balik bantal dan melilit tangannya. Semula Sarwin tak sadar akan kedatangan ular itu, namun ketika seekor ular berwarna hitam kembali melilit tangannya, ia mulai ketakutan, bahkan untuk berteriak memanggil istrinya pun Sarwin tak sanggup. Selama semalaman suntuk Sarwin diteror ketakutan luar biasa ketika ular-ular itu semakin banyak memenuhi kamarnya.
Dan sejak saat itulah setiap malam ia selalu diteror oleh ular-ular siluman.

Setelah Sarwin dan istrinya menemui psikiater, diperoleh hasil yang kemungkinan besar Sarwin hanya phobia  dengan ular dan itu bisa dicegah dengan tidak melihat gambar ataupun video yang menayangkan binatang melata itu. Namun Sarwin sadar, bahwa teror ular siluman itu bukanlah karena dia phobia dengan binatang itu. Binatang itu adalah ular siluman yang akan terus menerornya.
Sakiah tampaknya begitu mengindahkan ucapan psikiater mengenai penyebab Sarwin selalu mengatakan diteror ular yang katanya siluman itu. Sakiah membuang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan ular, mulai dari poster ular yang ada di kamar anaknya hingga dvd film yang berhubungan dengan ular. Bahkan Sakiah memerintahkan kepada kedua pembantunya untuk menyingkirkan segala sesuatu yang menyerupai ular, misalnya mainan ular plastik anaknya, tali, hingga selang air harus disimpan ditempat yang aman.
Malam ketiga Sarwin kembali didatangi ular-ular siluman itu. Bahkan ukuran ular kini sudah bertambah sangat besar, seekor ular berkepala dua seukuran batang pisang dengan matanya yang merah menatap Sarwin dengan bengis. Makhluk itu sudah membuka mulutnya untuk menelan Sarwin ketika lelaki itu kembali menjerit dan berlari keluar kamar hingga menabrak istrinya yang sedang membawakan makan malam untuknya.
“Ada apa, Mas?” tanya istrinya cemas. “Kenapa kamu berteriak lagi?”
Sarwin hanya terdiam gemetar. Tatapan ular besar itu begitu mengerikan. Keringat dingin sebesar jagung kembali muncul di keningnya. Wajah Sarwin sangat pucat ketika melihat ular itu merayap mendekatinya.
“Ada apa, Mas?” ulang istrinya mulai cemas karena tubuh Sarwin gemetar ketakutan.
Sarwin hanya terdiam. Matanya awas menatap si ular besar yang tengah membuka mulutnya lebar-lebar. Bersiap untuk menelan dirinya bulat-bulat.
“TIDAAAK!” Sarwin menjerit histeris dan kembali pingsan.

***

Ular-ular itu kembali muncul dari balik selimut dan membelah dirinya menjadi puluhan, mula-mula hanya ada satu ular, namun sedetik kemudian ular itu membelah menjadi sepuluh, kemudian membelah lagi menjadi seratus dan binatang melata itu berdiri dengan kompak menatap mata Sarwin. Mata ular yang merah seolah menyala dalam gelap, desisan suaranya membuat bulu kuduk Sarwin meremang.
Makhluk itu mulai membelit tangannya lagi, kemudian lehernya, bahkan ada pula yang masuk ke dalam bajunya. Sarwin hendak berteriak minta tolong kepada dokter yang tadi baru saja memeriksanya. Namun seekor ular melilit mulutnya, hingga ia tidak bisa berteriak.
Seekor ular yang berukuran sebesar pohon pisang kembali muncul dari balik lemari. Ular itu mendesis-desis seraya menjulurkan lidahnya yang bercabang. Kulitnya yang berwarna hitam mengkilat tampak mengerikan. Ular itu kembali menegakan badannya, hingga sejajar dengan Sarwin. Mata merah si ular siluman menatap lurus ke arah Sarwin.
Sekilas Sarwin tampak familiar dengan mata ular yang tengah menatapnya. Si ular besar kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Sarwin dan mulai melilit tubuhnya, setelah ular besar itu melilit tubuh Sarwin, ratusan ular-ular yang lain ikut menaiki dan mulai merayapi tubuh Sarwin, beberapa ekor ular masuk ke dalam tubuh Sarwin melalui lobang hidung, beberapa ekor lagi masuk ke dalam tubuhnya lewat lobang telinga dan mulutnya. Sedangkan si ular besar perlahan-lahan mengendurkan lilitannya di tubuh Sarwin dan mulai merayap ke dalam selimut dan masuk ke dalam celananya.
Sarwin menjerit kesakitan ketika sesuatu yang kasar dan bergerak mulai masuk ke dalam lubang kemaluannya. Ia menjerir-jerit merasakan perih yang luar biasa ketika ular siluman itu perlahan-lahan memasukinya, dan kenangan Sarwin kembali melompat mundur—Ia kembali teringat dengan si mata ular. Itu adalah mata milik seorang gadis yang menjadi teman anaknya, gadis yang diperkosanya dan mayatnya dibuang ke dalam hutan yang konon hutan itu merupakan sarang ular.