Jumat, 28 Oktober 2016

CERPEN "AROMA KENANGA" DIMUAT DI MAJALAH FEMINA EDISI 17-23 SEPTEMBER 2016.

PEREMPUAN BERAROMA KENANGA
RAGIEL JP

Aku kembali melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Sudah menunjukan pukul dua dini hari. Kepalaku masih terasa sedikit pusing ketika turun dari bus yang membawaku dari Jakarta. Perjalanan Jakarta ke kampung halaman yang memakan waktu hampir delapan jam bukanlah perjalanan yang ringan.
Kampung halamanku, Karang Pinggir, sebuah kampung yang masih tertinggal, sebuah kampung yang masih dikelilingi sawah yang menghampar hijau. Begitu juga dengan penerangan di kampung ini, masih sangat minim. Aku cukup menyesal karena tidak mengabarkan kepulanganku dari Jakarta.
Tidak ada gunanya mengeluh. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan embusan angin dini hari membasuh rasa pening di kepala. Udara yang sejuk perlahan-lahan memenuhi rongga paru-paruku. Tidak ada pilihan lain, aku harus berjalan kaki menuju rumah.
Aku teringat dengan kenangan tiga tahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya aku meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib ke Jakarta. Saat itu sore hari, senja yang bersolek mega memenuhi langit, awan-awan keemasan membentuk lukisan-luksan abstrak yang sejuk dipandang mata. Aku diantar ibu dan sahabatku menggunakan sepeda. Air mata tak berhenti mengaliri wajah senja ibuku. Begitu juga dengan sahabatku—Sipon, dia juga tak henti-hentinya menyeka air matanya.
”Ati-ati nang dalan, Rum.”[1] Sipon menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Kabari aku kalau sudah sampai.”
Dadaku terasa sesak menatap Sipon. Sejak kecil kami selalu bermain bersama, tiada hari tanpa kami lalui bersama, sekolah bersama, panen genjer di sawah, dan berbagai hal lainnya. Aku menyayangi Sipon seperti menyanyangi kakakku sendiri.
Aku mengangguk dan memeluk Sipon. Aroma kembang kenanga langsung menusuk hidung begitu memeluk Sipon. Tapi aku tidak peduli, rasanya aku akan merindukan aroma kenanga dari tubuh Sipon.
“Aja kelalen sembayang.”[2] Pesan ibuku ketika bus yang aku tunggu datang. “Jangan pernah lupa sama Gusti Allah.”
Aku mengangguk, berusaha menahan rasa sesak di dada menghadapi perpisahan ini.
***
Walau sudah tiga tahun berlalu sejak aku berpisah dengan ibu dan Sipon, aku masih ingat dengan semua itu. Bagaimana ekspresi sedih ibu ketika aku melambaikan tangan ke arahnya, bagaimana ekspresi Sipon yang terlihat sangat berat untuk melepasku ketika bus yang membawaku semakin menjauh meninggalkan perempatan itu.
Di kota, aku bekerja sebagai seorang pelayan di sebuah restoran. Aku bekerja dengan giat di restoran ini, sehingga dalam kurun waktu satu tahun, gajiku sudah cukup memadai untuk kebutuhan pribadiku. Hampir tiap bulan aku selalu mengirimkan sebagian uang hasil kerjaku untuk menafkahi Ibu.
Selama tiga tahun ini aku selalu memendam rasa rindu terhadap keluargaku. Aku rindu suasana kampung halaman yang asri. Hamparan sawah yang menghijau dengan burung bangau yang sesekali terlihat di galangan sawah, burung-burung bangau itu terkadang berlomba dengan para penduduk dalam mencari belut. Gunung Slamet terlihat sangat gagah bila dilihat dari depan rumahku.
Sipon. Perempuan beraroma kenanga itu juga menjadi alasan kenapa aku ingin pulang setelah tiga tahun merantau. Aku rindu dengan candaan dia, aku rindu dengan cerita-cerita dia, dan yang lebih utama, entah kenapa aku sangat rindu dengan aroma kenanga yang selalu melekat di tubuhnya. Aku tidak tahu kenapa Sipon sangat menyukai parfum aroma kenanga, padahal di kampungku, aroma kenanga adalah pertanda datangnya makhluk halus, dedemit, ataupun sejenisnya.
“Aku meramu sendiri parfum aroma kenanga ini, Ningrum,” terang Sipon ketika aku bertanya kenapa dia sangat suka aroma kenanga. “Aku menemukan ramuan ini juga secara tidak sengaja.”
“Lalu kenapa kau suka bunga kenanga?”
..
Bersambung.... :p :v
 


[1] Hati-hati di jalan, Rum.
[2] Jangan lupa sholat.