PEREMPUAN BERAROMA KENANGA
RAGIEL JP
Aku kembali melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Sudah
menunjukan pukul dua dini hari. Kepalaku masih terasa sedikit pusing ketika
turun dari bus yang membawaku dari Jakarta. Perjalanan Jakarta ke kampung halaman
yang memakan waktu hampir delapan jam bukanlah perjalanan yang ringan.
Kampung halamanku, Karang Pinggir, sebuah kampung yang masih
tertinggal, sebuah kampung yang masih dikelilingi sawah yang menghampar hijau.
Begitu juga dengan penerangan di kampung ini, masih sangat minim. Aku cukup
menyesal karena tidak mengabarkan kepulanganku dari Jakarta.
Tidak ada gunanya mengeluh. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan
embusan angin dini hari membasuh rasa pening di kepala. Udara yang sejuk
perlahan-lahan memenuhi rongga paru-paruku. Tidak ada pilihan lain, aku harus
berjalan kaki menuju rumah.
Aku teringat dengan kenangan tiga tahun yang lalu, ketika untuk
pertama kalinya aku meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib ke Jakarta.
Saat itu sore hari, senja yang bersolek mega memenuhi langit, awan-awan
keemasan membentuk lukisan-luksan abstrak yang sejuk dipandang mata. Aku
diantar ibu dan sahabatku menggunakan sepeda. Air mata tak berhenti mengaliri
wajah senja ibuku. Begitu juga dengan sahabatku—Sipon, dia juga tak
henti-hentinya menyeka air matanya.
”Ati-ati nang
dalan, Rum.”[1] Sipon menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Kabari aku kalau sudah
sampai.”
Dadaku terasa sesak menatap Sipon. Sejak kecil kami selalu bermain
bersama, tiada hari tanpa kami lalui bersama, sekolah bersama, panen genjer di
sawah, dan berbagai hal lainnya. Aku menyayangi Sipon seperti menyanyangi
kakakku sendiri.
Aku mengangguk dan memeluk Sipon. Aroma kembang kenanga langsung
menusuk hidung begitu memeluk Sipon. Tapi aku tidak peduli, rasanya aku akan
merindukan aroma kenanga dari tubuh Sipon.
“Aja kelalen
sembayang.”[2] Pesan ibuku ketika bus yang aku tunggu datang. “Jangan pernah lupa
sama Gusti Allah.”
Aku mengangguk, berusaha menahan rasa sesak di dada menghadapi
perpisahan ini.
***
Walau sudah tiga tahun berlalu sejak aku berpisah dengan ibu dan
Sipon, aku masih ingat dengan semua itu. Bagaimana ekspresi sedih ibu ketika
aku melambaikan tangan ke arahnya, bagaimana ekspresi Sipon yang terlihat
sangat berat untuk melepasku ketika bus yang membawaku semakin menjauh
meninggalkan perempatan itu.
Di kota, aku bekerja sebagai seorang pelayan di sebuah restoran. Aku bekerja dengan giat
di restoran ini, sehingga dalam kurun waktu satu tahun, gajiku sudah cukup memadai untuk kebutuhan pribadiku. Hampir tiap bulan aku selalu mengirimkan sebagian uang hasil kerjaku untuk menafkahi Ibu.
Selama tiga tahun ini aku selalu memendam rasa rindu terhadap
keluargaku. Aku rindu suasana kampung halaman yang asri. Hamparan sawah yang
menghijau dengan burung bangau yang sesekali terlihat di galangan sawah,
burung-burung bangau itu terkadang berlomba dengan para penduduk dalam mencari
belut. Gunung Slamet terlihat sangat gagah bila dilihat dari depan rumahku.
Sipon. Perempuan beraroma kenanga itu juga menjadi alasan kenapa aku
ingin pulang setelah tiga tahun merantau. Aku rindu dengan candaan dia, aku
rindu dengan cerita-cerita dia, dan yang lebih utama, entah kenapa aku sangat
rindu dengan aroma kenanga yang selalu melekat di tubuhnya. Aku tidak tahu
kenapa Sipon sangat menyukai parfum aroma kenanga, padahal di kampungku, aroma
kenanga adalah pertanda datangnya makhluk halus, dedemit, ataupun sejenisnya.
“Aku meramu sendiri parfum aroma kenanga ini, Ningrum,” terang Sipon
ketika aku bertanya kenapa dia sangat suka aroma kenanga. “Aku menemukan ramuan
ini juga secara tidak sengaja.”
“Lalu kenapa kau suka bunga kenanga?”
..
Bersambung.... :p :v