HALTE
RAGIEL JP
Lelaki bermata sipit itu merasakan seluruh
badannya terasa pegal. Seolah semua persendian di dalam tubuhnya tidak dalam
posisi yang tepat. Lehernya terasa sakit dengan kepala bagian belakang terasa
berat. Tas kerja yang diselempangkan di pundaknya seolah berubah menjadi
seratus kilo, padahal hanya berkas-berkas pekerjaan yang mengisi tas itu.
Rusman—nama lelaki itu kembali melirik arloji
di tangan kirinya. Sudah menunjukan pukul delapan malam. Bus yang ditunggunya
belum juga datang. Padahal sudah lebih dari satu jam ia menunggu.
Ia meruntuki kesialan-kesialan yang terjadi
hari ini. Dimulai dari mesin mobilnya yang tiba-tiba mogok. Taksi yang selalu
saja penuh setiap kali ia berusaha menyetopnya. Sebenarnya Rusman bisa saja
menyewa ojek online yang sekarang
sedang menjamur di semua kota. Tapi ia urungkan, ia mempunyai pengalaman buruk
menaiki ojek dan sejak saat itu ia sedikit trauma kalau harus menyewa jasa roda
dua itu.
Masih teringat di kepala Rusman, berita yang
terjadi lima hari yang lalu. Tentang penemuan sesosok mayat tanpa kepala di
halte ini. Dari desas desus yang beredar, bahwa wanita itu adalah seorang
pelacur yang dibunuh. Semacam korban Jack The Ripper versi modern.
Kalau mengingat penemuan mayat itu, bulu
kuduk Rusman sedikit meremang. Ia selalu membayangkan akan bertemu hantu tanpa
kepala yang mengikutinya sampai rumah. Ataupun bertemu kepala yang
melayang-layang tanpa tubuh mengikutinya dari belakang.
“Hantu itu tidak ada, Rusman,” ucap Endang setiap
kali ia bercerita bahwa ia merasa diikuti sesosok makhluk tak kasat mata.
“Hantu hanyalah imajinasi dan manipulasi otak manusia.”
“Tapi banyak yang katanya sudah melihat
penampakan hantu macam pocong dan kunthilanak.”
“Apa kamu sudah pernah melihatnya?”
Rusman menggeleng. “Tentu saja aku tidak
pernah melihatnya. Bisa pingsan aku kalau melihat makhluk seperti itu.”
Endang tertawa.
“Kalau kamu sendiri bagaimana? Apa kamu
percaya kalau hantu itu ada?”
“Seperti yang aku bilang tadi. Aku tidak
percaya hantu.”
“Aku sumpahin kamu pulangnya diikuti pocong.”
“Aku tidak takut.”
“Hantunya yang takut kamu mungkin.”
“Itu yang aku takutkan.”
Rusman terbahak.
Endang adalah teman kecil Rusman, mereka
selalu bersama-sama dari kecil hingga sekarang. Bahkan mereka kini sudah
menjadi sepasang suami istri. Bagi Endang, Rusman adalah sosok suami idaman, ia
rajin bekerja dan setia. Begitu juga sebaliknya, bagi Rusman, Endang adalah
gambaran seorang istri yang sangat sempurna. Selain memang dia jago memasak,
Endang adalah istri, teman dan juga patner yang sangat enak untuk diajak
diskusi.
Namun semua itu tinggal kenangan.
Endang hilang bersama ratusan orang yang saat
itu sedang dalam perjalanan dari Malaysia. Pesawat yang ditumpanginya mendadak
hilang kontak dan sampai sekarang belum ditemukan keberadaannya.
Walau peristiwa naas itu sudah berlalu dua
bulan yang lalu, Rusman selalu berharap ada sebuah kejaiban bahwa wanita yang
dicintainya itu masih hidup dan akan kembali kepadanya suatu saat nanti. Ia
percaya bahwa kekuatan doa yang selalu ia panjatkan setiap malam akan didengar
Tuhan. Ia hanya harus yakin bahwa istrinya masih dalam keadaan hidup.
“Kamu terlalu memfrosir diri, Mas,” kata-kata
istrinya kembali terngiang di dalam kepalanya. “Sudah malam, istirahatlah,
lanjutkan pekerjaan besok lagi.”
“Tidak bisa,” jawab Rusman kembali mengetikan
sesuatu di layar laptopnya. “Akan ada presentasi lusa. Aku tidak ingin
mengecewakan klien.”
“Tapi ini sudah jam satu pagi,” Endang tak
putus asa. “Besok kamu lanjutin lagi, aku tidak ingin kamu sakit, Mas.”
Rusman mengembuskan napas. Badannya terasa
lelah luar biasa. “Sepuluh menit lagi,” katanya akhirnya. “Kamu tidurlah dulu.”
“Janji sepuluh menit lagi?”
Rusman mengangguk. “Iya aku janji.”
Endang kemudian mengecup kening suaminya.
***
Lelaki itu kembali melirik arloji di tangan
kirinya. Sudah menunjukan pukul sembilan malam dan bus yang ditunggunya belum
juga datang. Ia mengamati keadaan sekeliling, sudah tampak sepi, hanya dirinya
yang ada di halte itu.
Embusan angin dingin mengelus lehernya, ia
merapatkan kemeja kerjanya, digesek-gesekan kedua tangannya untuk menciptakan
panas—setelah itu ia menempelkan kedua tangannya ke pipi.
“Tidak biasanya malam ini begitu dingin…”
Gumamnya dalam hati. Karena memang tidak biasanya malam ini begini dingin.
Bus ketiga kembali datang dan ia kembali
meruntuki karena itu bukanlah bus yang ditunggunya. Bus ketiga itu berwarna
putih kusam bergambar kartun yang dulu sering ditontonnya ketika ia masih
kecil. Penumpang di bus itu juga tidak terlalu banyak dan wajah-wajah lelah
seperti dirinya hampir memenuhi bus itu.
Seorang wanita berusia sekitar awal tiga puluhan
turun dari bus itu dan berjalan melewati Rusman. Ia hanya menatap Rusman dengan
tatapan curiga, seolah dirinya adalah seorang yang akan berniat jahat
kepadanya. Dan satu menit kemudian bus itu kembali jalan meninggalkan ia dan
penumpang yang baru turun dari bus itu.
Perempuan itu berdiri di ujung halte. Ia beberapa
kali melirik ke arah Rusman dengan tatapan aneh, seolah melihat dirinya adalah
seorang penjahat. Sebenarnya Rusman ingin menyapa perempuan itu, namun segera
ia urungkan, ia takut perempuan itu akan berpikiran macam-macam. Ia kembali
teringat berita beberapa hari yang lalu, tentang pembunuhan itu. Mungkin saja
wanita itu berpikir bahwa ia adalah psikopat gila itu.
Lima menit berlalu dan wanita itu terus
mengamatinya dengan tatapan yang membuat Rusman merasa semakin tidak nyaman.
Wanita itu menggigit bibirnya dengan cemas, wajahnya juga terlihat sangat
pucat. Ia terlihat beberapa kali menekan-nekan ponselnya, mungkin berusaha
menghubungi seseorang untuk menjemputnya.
“Cepat jemput aku di halte biasa…” Wanita itu
menelepon seseorang. “Aku takut.”
Rusman memalingkan wajahnya dari wanita itu.
Takut kalau rasa penasarannya lah yang membuat wanita itu ketakutan. Ia kembali
melirik arloji di tangan kanannya dan terus mengumpat kenapa bus yang ditunggunya
belum juga datang. Padahal biasanya jam-jam begini bus itu sudah lewat dan
membawanya ke rumahnya. Ia sudah membayangkan betapa nyamannya kasur dan bantal
yang akan memanjakan badannya.
Sepuluh menit kemudian sebuah motor
menghampiri halte tempatnya duduk. Wanita yang di ujung halte melambaikan
tangannya ke arah pengendara motor itu.
“Rupanya ia orang yang ditelepon tadi…” Gumam
Rusman dalam hati.
Pengendara motor dan wanita itu terlihat
sebuah percakapan kecil. Wanita itu berbisik-bisik sesuatu yang tidak bisa
didengar Rusman. Sedangkan lelaki pengendara motor itu juga melirik ke arah
Rusman. Matanya menyipit dengan awas.
“Sebaiknya kita pergi.” Gumam lelaki itu.
“Aku tidak mau berhubungan dengan polisi.”
Wanita itu mengangguk dan bergegas menaiki sepeda
motor itu. Setelah wanita itu menaiki motor, mereka berdua langsung melesat
pergi meninggalkan Rusman seorang diri.
Demi mendengar ucapan lelaki tadi, muncul
tanda tanya besar di dalam hati Rusman, sebenarnya apa yang sedang mereka
bicarakan. Kenapa mereka mengatakan kalau mereka tidak mau berhubungan dengan
polisi. Apa benar jika mereka menganggapnya sebagai seorang pembunuh, atau
mereka melihat bahwa psikopat itu tengah berkeliaran di dekat halte ini dan
mencari korban selanjutnya?
Mendadak Rusman merinding membayangkan
dirinya bertemu pembunuh itu di halte ini. Walau ia yakin bahwa kematian selalu
mengikutinya seperti sebuah bayangan, ia tidak mau mati secara konyol karena
dibunuh. Ia hanya ingin mati secara normal, bukan dengan leher yang terputus.
Udara sedingin es kembali mengelus lehernya.
Ia kembali merapatkan kemeja kerjanya dan ia merasa lega luar biasa ketika
melihat sebuah kendaraan yang ditunggunya akhirnya datang juga. Nomor yang
tertera di atas bus itulah yang selama beberapa jam ini ia tunggu.
Ketika bus itu berhenti di halte, Rusman
memang menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dengan bus itu. Walau bus itu
memang bus jurusan yang biasa ditumpanginya, namun bus itu memiliki bentuk yang
sangat aneh. Bus itu berwarna merah menyala dengan aroma yang yang entah kenapa
membuatnya tidak nyaman. Selain itu, bus ini juga kosong tanpa ada satupun
penumpang di dalamnya, hanya supir yang juga memakai seragam berwarna merah,
senada dengan bus yang dikemudiaknya.
Tidak ada pilihan lain bagi Rusman selain
menaiki bus itu. Mungkin saja ini bus terakhir yang beroperasi. Lelaki itu
kembali melirik jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Ia
mengembuskan napas dan mulai memasuki bus itu. Setelah ia duduk, bus itu
kembali melaju dan sekilas Rusman melihat tubuhnya masih tertinggal di halte.
Diam.