Senin, 16 Januari 2017

CERPEN - KUNANG-KUNANG DARI DALAM SUMUR

KUNANG-KUNANG DARI DALAM SUMUR

RAGIEL JP


Banyak cerita yang kau dengar perihal sumur yang ada di belakang rumah Rasidi. Konon, saat zaman penjajahan dulu, sumur itu digunakan sebagai tempat eksekusi bagi orang-orang yang dianggap berkhianat ataupun melawan Belanda. Sudah banyak nyawa yang berakhir di tempat itu. Tidak heran kalau dari kasak kusuk yang kau dengar, konon sumur itu angker.
Aku pernah melihat seorang wanita duduk di atas sumur itu,” kau mendengar seorang lelaki tua berkata begitu. “Saat itu aku sedang ronda bersama Sukimin.”
Iya, aku juga pernah melihatnya.” Seorang lelaki gemuk yang mengenakan sarung kotak-kotak ikut menimpali. “Istriku juga pernah bilang kalau ia pernah melihat seorang lelaki berseragam seperti orang zaman dulu duduk di atas sumur itu.”
Lihat, aku sampai merinding mendengarnya.”
Aku juga.”
Bukan hanya itu, kemarin dulu aku juga melihat seorang wanita keluar dari sumur itu.”
Iya kah?”
Aku bersumpah melihatnya.”
Tapi memang ada yang aneh dengan sumur itu ya? Sumuritu satu-satunya sumur yang yang tidak pernah kering walau musim kemarau.”
Mungkin sumur itu bertuah.”
Konon air sumur itu juga menyembuhkan penyakit ya.”
Ah, itu hanya mitos.”
Tapi memang aneh sih, masa sumur itu tidak pernah kering. Padahal semua warga di desa ini selalu mengambil air itu untuk mandi dan mencuci.”
Kau hanya tersenyum mendengar ucapan mereka. Memang sumur itu menjadi satu-satunya sumber air yang tidak pernah habis dimakan waktu. Sejak dulu sumur itu selalu menghasilkan air yang melimpah ruah.
Jika siang hari, banyak warga yang antri untuk mengambil air di sumur itu. Rasidi—Lelaki berusia tujuh puluh tahun yang rambutnya sudah memutih semua pun tidak pernah keberatan semua warga mengambil air di sumurnya. Ia sama sekali tidak meminta bayaran barang satu rupiah pun. Rasidi cukup bahagia di usianya yang sudah senja ia masih bisa berbagi dengan orang lain.
Kau juga diam-diam sangat mengagumi Rasidi. Sejak pertama kali kau mengenalnya, ia memang tidak pernah berubah, selalu baik terhadap semua orang. Termasuk kepadamu.
Kau ingat ketika kau berusia lima tahun, Rasidi selalu memandikanmu di sumur itu. Lelaki itu selalu bercerita bahwa setiap bulan purnama, sumur itu mengeluarkan cahaya kuning yang sangat indah.
Cahaya apa itu, Paman?” kau bertanya dengan polosnya.
Kunang-kunang,” Rasidi menjawab seraya menyabuni badanmu. “Paman sering melihat kunang-kunang itu keluar dari dalam sumur.”
Kenapa bisa ada kunang-kunang di dalam sumur?” kau bertanya lagi. Rasa penasaran ketika kau masih kecil begitu besar. “Berati di dalam sumur ini ada rumah kunang-kunang ya?”
Rasidi tersenyum dan menyiram tubuhmu yang penuh sabun dengan air.

***

Ketika kau berusia lebih besar lagi. Kau mulai tahu bahwa kemunculan kunang-kunang itu konon merupakan jelmaan arwah-arwah penasaran yang dulu dibuang ke dalam sumur itu. Ada pula yang mengatakan bahwa kunang-kunang itu merupakan jelmaan kuku-kuku orang-orang yang dulu dibuang ke dalam sumur itu.
Itu hanya mitos, Gil,” salah satu temanmu berkata seperti itu ketika kau mengatakan bahwa kunang-kunang itu jelmaan kuku orang yang sudah mati. “Yang aku tahu kenapa kunang-kunang badannya bisa menyala karena ada sebuah enzim di dalam tubuhnya.”
Kau hanya tersenyum mendengar ucapan mereka. Walau kau belum pernah melihat kunang-kunang keluar dari sumur itu. Tapi kau sangat percaya ucapan Rasidi—karena selama ini lelaki itu memang tidak pernah sekalipun berkata bohong.
Bagaimana caranya biar aku melihat kunang-kunang dari dalam sumur itu, Paman?” kau bertanya ketika sedang duduk bersama Rasidi di depan rumah—menikmati bulan purnama yang bersinar di langit. “Hari ini bulan purnama, tapi kunang-kunang itu tidak keluar dari dalam sumur.”
Tidak semua orang bisa melihat kunang-kunang itu, Ragil,” kata Rasidi tersenyum. “Kau mungkin belum waktunya bisa melihat kunang-kunang itu.”
Lalu kapan aku bisa melihat kunang-kunang itu keluar dari dalam sumur?”
Apa kau benar-benar ingin melihatnya?”
Kau mengangguk antusias.
Kalau begitu besok ikut aku,” kata Rasidi tersenyum. Wajahnya yang saat itu masih tampak muda tersepuh cahaya bulan.
Ke mana?”
Kau akan tahu besok,” jawab Rasidi.

***

Sumur itu benar-benar angker,” seorang lelaki berkumis lebat mengatakan kepada rekan rondanya. “Tadi aku melihat seorang duduk di atas sumur itu. Ketika aku berpaling sebentar, tiba-tiba saja ia menghilang.”
Masa sih?” tanya rekannya tidak percaya. “Tapi aku kok tidak lihat.”
Sumpah aku melihatnya.” Lelaki berkumis itu bersikukuh. “Apa mungkin ia penunggu sumur itu?”
Mungkin saja,” dukung lelaki gemuk yang mengenakan sarung. “Ini kan malam bulan purnama, pasti dedemit sumur itu berkeliaran.”
Ngawur kalian ini, aku sudah tinggal selama puluhan tahun di desa ini tidak pernah melihat apa-apa di sumur itu. Kalian saja yang penakut.”
Kau tersenyum mendengar ucapan orang itu. Kau juga percaya bahwa hantu itu memang tidak ada.
Sebaiknya kita pergi dari sini,” kata lelaki yang memakai sarung. “Kita ngumpul saja di pos. Bahaya kalau pos kosong. Bukankah sekarang sedang rawan pencurian.”
Mereka bertiga akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.

Selepas kepergian ketiga orang itu, kau menghampiri sumur itu, ingin membuktikan bahwa hantu itu tidak ada. Kau berjalan pelan-pelan menuju sumur itu dan setengah berharap akan melihat kunang-kunang muncul dari dalamnya.
Kau mendongakan wajah ke atas dan melihat bulan bersinar penuh dan terang. Kau ingat cerita Paman Rasidi bahwa bulan purnama adalah waktu yang tepat untuk melihat kemunculan kunang-kunang dari dalam sumur.
Kau juga ingat tentang sebuah kisah manis yang pernah kau rasakan yang berhubungan dengan sumur ini. Dulu, kau berkenalan dengan perempuan cantik bernama Centini. Perempuan itulah yang tiap kali kau tunggu kedatangannya. Dada selalu berbedar-debar setiap kali kau melihat wanita itu tersenyum. Sangat manis.
Kunang-kunang di dalam sumur ini?” Centini sangat tertarik ketika kau bercerita. “Aku juga pernah melihat kunang-kunang itu keluar dari sumur ini.”
Benarkah?”
Centini mengangguk.
Tapi aku belum pernah melihat kunang-kunang itu keluar dari dalam sumur ini. Bagaimana caranya kau bisa melihatnya, Centini?”
Centini kemudian membisikan sesuatu ke telingamu.

Kau kembali menundukan wajah dan melihat ke dalam sumur. Sumur itu mungkin dalamnya seratus meter dan airnya sangat dingin sekali. Bila dilihat dari atas sini, sumur itu seperti lorong gelap tanpa ujung. Dan kau berpikir bagaimana mungkin kawanan kunang-kunang bisa keluar dari dalam sana.
Tapi kini kau sudah mengerti kenapa kunang-kunang itu bisa keluar dari sumur ini. Paman Rasidi dan Centini memang tidak pernah berbohong—dan kau sudah membuktikan bahwa memang ada kunang-kunang di dalam sana. Kau juga sudah bisa memastikan bahwa malam ini kunang-kunang itu akan muncul dari dalam sumur.
Mula-mula kau melihat sebuah titik cahaya muncul dari dalam kegelapan sumur. Titik-titik cahaya itu perlahan-lahan menjadi ribuan titik cahaya yang seolah bergerak maju. Kau tahu ini sudah saatnya bagi kunang-kunang itu membebaskan dirinya dari dalam sumur. Seperti jiwa-jiwa yang terbelenggu menunggu kebebasan.
Ribuan titik-titik cahaya itu semakin naik ke atas, cahaya kuning berpendar menyilaukan ketika kunang-kunang pertama keluar dari sumur itu—kemudian disusul kunang-kunang lain yang jumlahnya sangat banyak. Membentuk sebuah permadani berwarna kuning yang sangat indah.
Kunang-kunang itu semakin naik dan berputar-putar seperti sedang melakukan sebuah parade. Entah kenapa kau merasa sedikit kelu dan bahagia melihat pemandangan itu. Parade kunang-kunang itu membuatmu teringat dengan Centini.
Kau terpukau melihat semua itu. Cahaya kuning itu hampir menerangi sekeliling sumur. Kau kembali melihat ke dalam sumur itu dan dengan bantuan cahaya bulan kau melihat wajah-wajah dari jasad yang konon dibuang ke dalam sumur itu. Wajah mereka tersenyum. Sama seperti kau yang melihat wajahmu tersenyum di antara jasad-jasad itu. Damai.

Jumat, 28 Oktober 2016

CERPEN "AROMA KENANGA" DIMUAT DI MAJALAH FEMINA EDISI 17-23 SEPTEMBER 2016.

PEREMPUAN BERAROMA KENANGA
RAGIEL JP

Aku kembali melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Sudah menunjukan pukul dua dini hari. Kepalaku masih terasa sedikit pusing ketika turun dari bus yang membawaku dari Jakarta. Perjalanan Jakarta ke kampung halaman yang memakan waktu hampir delapan jam bukanlah perjalanan yang ringan.
Kampung halamanku, Karang Pinggir, sebuah kampung yang masih tertinggal, sebuah kampung yang masih dikelilingi sawah yang menghampar hijau. Begitu juga dengan penerangan di kampung ini, masih sangat minim. Aku cukup menyesal karena tidak mengabarkan kepulanganku dari Jakarta.
Tidak ada gunanya mengeluh. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan embusan angin dini hari membasuh rasa pening di kepala. Udara yang sejuk perlahan-lahan memenuhi rongga paru-paruku. Tidak ada pilihan lain, aku harus berjalan kaki menuju rumah.
Aku teringat dengan kenangan tiga tahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya aku meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib ke Jakarta. Saat itu sore hari, senja yang bersolek mega memenuhi langit, awan-awan keemasan membentuk lukisan-luksan abstrak yang sejuk dipandang mata. Aku diantar ibu dan sahabatku menggunakan sepeda. Air mata tak berhenti mengaliri wajah senja ibuku. Begitu juga dengan sahabatku—Sipon, dia juga tak henti-hentinya menyeka air matanya.
”Ati-ati nang dalan, Rum.”[1] Sipon menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Kabari aku kalau sudah sampai.”
Dadaku terasa sesak menatap Sipon. Sejak kecil kami selalu bermain bersama, tiada hari tanpa kami lalui bersama, sekolah bersama, panen genjer di sawah, dan berbagai hal lainnya. Aku menyayangi Sipon seperti menyanyangi kakakku sendiri.
Aku mengangguk dan memeluk Sipon. Aroma kembang kenanga langsung menusuk hidung begitu memeluk Sipon. Tapi aku tidak peduli, rasanya aku akan merindukan aroma kenanga dari tubuh Sipon.
“Aja kelalen sembayang.”[2] Pesan ibuku ketika bus yang aku tunggu datang. “Jangan pernah lupa sama Gusti Allah.”
Aku mengangguk, berusaha menahan rasa sesak di dada menghadapi perpisahan ini.
***
Walau sudah tiga tahun berlalu sejak aku berpisah dengan ibu dan Sipon, aku masih ingat dengan semua itu. Bagaimana ekspresi sedih ibu ketika aku melambaikan tangan ke arahnya, bagaimana ekspresi Sipon yang terlihat sangat berat untuk melepasku ketika bus yang membawaku semakin menjauh meninggalkan perempatan itu.
Di kota, aku bekerja sebagai seorang pelayan di sebuah restoran. Aku bekerja dengan giat di restoran ini, sehingga dalam kurun waktu satu tahun, gajiku sudah cukup memadai untuk kebutuhan pribadiku. Hampir tiap bulan aku selalu mengirimkan sebagian uang hasil kerjaku untuk menafkahi Ibu.
Selama tiga tahun ini aku selalu memendam rasa rindu terhadap keluargaku. Aku rindu suasana kampung halaman yang asri. Hamparan sawah yang menghijau dengan burung bangau yang sesekali terlihat di galangan sawah, burung-burung bangau itu terkadang berlomba dengan para penduduk dalam mencari belut. Gunung Slamet terlihat sangat gagah bila dilihat dari depan rumahku.
Sipon. Perempuan beraroma kenanga itu juga menjadi alasan kenapa aku ingin pulang setelah tiga tahun merantau. Aku rindu dengan candaan dia, aku rindu dengan cerita-cerita dia, dan yang lebih utama, entah kenapa aku sangat rindu dengan aroma kenanga yang selalu melekat di tubuhnya. Aku tidak tahu kenapa Sipon sangat menyukai parfum aroma kenanga, padahal di kampungku, aroma kenanga adalah pertanda datangnya makhluk halus, dedemit, ataupun sejenisnya.
“Aku meramu sendiri parfum aroma kenanga ini, Ningrum,” terang Sipon ketika aku bertanya kenapa dia sangat suka aroma kenanga. “Aku menemukan ramuan ini juga secara tidak sengaja.”
“Lalu kenapa kau suka bunga kenanga?”
..
Bersambung.... :p :v
 


[1] Hati-hati di jalan, Rum.
[2] Jangan lupa sholat.

Kamis, 29 September 2016

NUKILAN NOVEL JUPITER (SANG PENGENDALI MIMPI)

EPISODE 6
PUZZLE MIMPI



Malam harinya, bayang-bayang sosok gelap yang hadir di dalam mimpi terus mengganggu pikiranku. Jutaan pertanyaan berputar hebat di kepala. Siapakah dia sebenarnya? Kenapa dia bisa hadir di dalam mimpiku?
Belum lagi dengan adanya luka fisik seperti tanganku yang memar. Apa ini adalah sebuah dampak dari kelainan yang kumiliki? Selama enam belas tahun, rasanya baru pertama kali aku takut dengan mimpiku sendiri. Bagaimana jika sosok gelap itu datang kembali ke dalam mimpi dan memutilasiku dengan parang? Sungguh mengerikan membayangkan hal itu, mengingat tanganku yang dirantai di dalam mimpi telah memberikan bekas memar di pergelangan tangan. Aku tidak mau mengambil resiko jika tubuhku akan saling terpisah jika memang sosok gelap itu memutilasiku di dalam mimpi.
Aku menutup buku biologi tentang pembelahan sel, melemparkan begitu saja ke rak buku. Aku memutuskan untuk turun ke ruang keluarga, melihat ayah dan ibu sedang terlihat percakapan serius. Mungkin saja ayah sedang membicarakan tentang pesanan traktor, sedangkan ibu menimpalinya dengan tawa ringan, menyadari jika jumlah pesanan traktor terus meningkat, itu artinya akan ada tambahan uang belanja. Maklumlah, aku tahu jika ibu sangat menginginkan kulkas baru. Itu terbukti dari beberapa minggu yang lalu, ketika aku dengan usil masuk ke dalam mimpinya, dan melihat ibu sedang berpose dengan kulkas tiga pintu yang di dalamnya terdapat ruang penghangat dan pendingin makanan.
Ketika ibu bangun, aku masih ada di sampingnya dengan terkekeh. Ibu hanya mengerutkan kening seraya berkata, “kamu kenapa tertawa, Jupiter?” Sebagai jawaban aku menirukan pose ibu dengan kulkas impiannya.
“Aku dengar Samsul sedang meliput berita pembunuhan lagi ya?” kata ayah ketika aku tanpa sengaja mendengar sedikit pembicaraan mereka. “Aku sebenarnya tidak setuju kalau dia bekerja sebagai wartawan, terlalu banyak resiko dan bahaya yang harus ditanggungnya.”
“Menjadi wartawan adalah impian Samsul sejak kecil,” jawab ibu pelan. “Aku ingat bagaimana dia mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang wartawan. Mungkin dia juga tahu resikonya, tapi toh berita yang dia tulis semuanya fakta. Apalagi tidak jarang tulisan-tulisan yang dibuatnya menjadi petunjuk untuk menyingkap beberapa  kasus kematian.”
“Aku tahu,” tambah ayah. “Tapi sepertinya beberapa kasus pembunuhan yang diliput adikmu itu terkesan aneh.”
Aku semakin menajamkan pendengaran untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Apanya yang terkesan aneh?” tanya ibu lagi. Ibu sepertinya belum terlalu paham ke mana arah pembicaraan ayah. “Apa tentang kasus seorang wanita yang terjun dari lantai lima belas? Atau seseorang yang meninggal karena keracunan makanan?”
Ayah menggeleng. “Bukan tentang itu, kalau hal itu sih masih terlihat wajar. Tapi tentang kasus yang lain, lagi pula ini bukan pertama kalinya terjadi, kan? Beberapa tahun yang lalu Samsul juga pernah meliput berita yang hampir sama.”
“Maksudnya mayat yang digantung terbalik itu?”
Jantungku berdebar kencang. Semakin menajamkan telinga untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Bukankah kasus itu sampai sekarang belum terpecahkan?” tanya ayah lagi. “Dan kini Samsul mencoba meliput kasus yang sama. Ini hanya sebatas kekhawatiranku saja, aku takut terjadi sesuatu yang buruk jika Samsul terus meliput berita seperti ini. Apa tidak ada bahan berita lain selain mayat terbalik itu? Misalnya saja tentang korupsi atau skandal para pejabat.”
“Mungkin saja itu permintaan bagian redaksinya, tapi entahlah. Samsul selalu terlihat senang jika meliput berita pembunuhan yang janggal. Ayah ingat ketika Samsul tidak sengaja menemukan titik terang dalam kasus pembunuhan seorang menejer? Dalam tulisannya, Samsul mengatakan bahwa itu bukanlah bunuh diri. Dan setelah polisi kembali melakukan penyelidikan, memang benar itu bukanlah tindakan bunuh diri, melainkan sebuah pembunuhan.”
Aku ingat dengan berita itu, Paman menceritakan kejanggalan dalam berita yang diliputnya beberapa bulan yang lalu. Mulai dari posisi korban ketika ditemukan, hingga beberapa kejanggalan-kejanggalan lain seperti permen karet di rambutnya. Hingga akhirnya Paman menuliskan bahwa itu bukanlah tindakan bunuh diri seperti yang diyakini kebanyakan orang.
“Sebaiknya kita tidur,” kata ayah mulai menguap. “Kita sudahi pembicaraan tentang Samsul. Seperti katamu, pasti Samsul sudah siap dengan segala resikonya. Lagi pula beberapa pekerjaan di kantor membuatku pusing. Tadi ada salah satu klien ayah yang komplain karena beberapa bagian mesin traktor ada yang karatan.”
Ibu mengangguk. Mengucapkan beberapa nasehat untuk membesarkan hati ayah.
Selepas kepergian ayah dan ibu, aku merasa seperti ada yang menyalakan lampu di dalam kepala. Bodoh benar selama ini aku tidak menanyakan lebih detail kasus mayat terbalik kepada Paman. Aku yakin kalau Paman pasti mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain, mengingat Paman terus meliput berita seperti ini sebanyak dua kali.
Tentang mimpi yang pernah kulihat di dalam mimpinya, ditambah dengan mimpi Irwan dan gelandangan yang kutemui beberapa hari yang lalu. Sosok gelap yang hadir di dalam mimpiku, serta tentang Raunt. Aku yakin semua ini adalah puzzle dari fenomena apa yang sedang terjadi.
Aku kembali menuju kamar dengan malas, membanting tubuh di atas tempat tidur. Rentetan kejadian demi kejadian tentang mimpi bertemu sosok gelap itu kembali berputar di kepalaku. Seolah semua itu adalah sebuah kenyataan, bukan hanya sekadar imajinasi.
Memang bukan hanya kali ini aku mengalami kesadaran seperti ini. Kesadaran jika ada di alam mimpi, sama sadarnya ketika aku berada di dunia nyata. Tapi¾sepertinya baru kali ini aku merasa takut dengan sosok gelap itu. Padahal aku sendiri tidak tahu apakah sosok gelap itu nyata atau hanya sekadar manipulasi otakku.
Aku menatap langit-langit kamar bercat putih, sekilas mataku melirik ke poster klub sepak bola yang terpajang di dinding kamar. Aku selalu berkhayal jika suatu saat nanti bertemu dengan mereka, atau gabung di klub bola itu, hingga berfoto bersama. Mendapatkan kaus dan bola  lengkap dengan tanda tangan pemain bola idolaku.
Setelah mengalihkan dari khayalan bertemu dengan klub sepak bola idolaku. Aku kembali menyambar sebuah novel tebal di rak buku yang sudah sedikit berdebu. Kutiup halaman depan novel itu dan mendapati sebuah sampul dengan gambar manusia berjubah gelap dengan wajah tersembunyi di balik kerudung jubahnya. Aku segera membuka novel itu, dan tak berapa lama kemudian aku tertidur.


Sorakan memenuhi telinga ketika menyadari di mana sekarang aku berada. Ribuan penonton memenuhi tribun-tribun tinggi yang mengelilingi sebuah stadion sepak bola yang selama ini selalu kuimpikan untuk kukunjungi. Kesadaran menyapaku, bahwa sekarang aku sedang berada di alam mimpi. Sebuah dimensi ruang dan waktu yang membuatku mampu menciptakan apa pun yang aku inginkan.
Seorang wanita berambut pirang berteriak histeris ketika pemain bola bernomor punggung tujuh berlari menggiring bola ke gawang lawan, dan dengan sebuah tendangan pamungkas, bola itu melesat melewati kiper dan masuk ke dalam gawang lawan.
“GOOOLL!!!” aku refleks ikut berteriak begitu menyadari jika pemain yang membobol gawang lawan adalah pemain idolaku. Begitu juga dengan gadis berambut pirang itu, dia ikut berteriak dan melompat-lompat seperti kebanyakan penonton lain. Bahkan dia berbicara denganku menggunakan bahasa Indonesia. Sebelumnya aku heran kenapa dia bisa berbahasa Indonesia, hingga akhirnya aku menyimpulkan dan menyadari bahwa ini adalah mimpiku, dan aku bebas menginginkan apa pun yang kumau. Bukan hanya gadis berambut pirang itu jadi fasih berbahasa Indonesia. Tapi aku menginginkan seorang penonton berkepala botak yang duduk di hadapanku menggunakan wig berwarna hijau—dan benar saja, dalam hitungan detik, sebuah wig berwarna hijau terang muncul dengan ajaib di kepala orang botak itu.
Tampaknya orang itu tidak menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang ganjil terhadap kepalanya, atau memang dia mengira mengenakan wig hijau dari dulu. Sedangkan aku mencoba menahan tawa melihat lelaki botak menari dengan wig yang bergoyang lucu ketika terjadi pembobolan gawang lawan lagi.
Ketika permainan telah usai dan klub favoritku menang telak dengan skor 5-0. Akhirnya perlahan-lahan semua penonton yang duduk di tribun-tribun tinggi menghilang seperti asap. Hanya menyisakan aku dan gadis berambut pirang yang tampaknya tidak peduli dengan penonton yang lenyap begitu saja.
“Jupiter…,”
Aku mendengar ada yang menyebut namaku. Aku berpaling ke arah suara itu dan mendapati pemain bola idolaku sedang melambai ke arahku. Serta-merta aku sangat senang melihatnya. Rasanya hanya di mimpi inilah aku bisa mewujudkan semua yang kuinginkan. Sesuai dengan keinginanku, pemain bola itu menyerahkan kaus dan bola yang sedang dipegangnya, tidak lupa dia juga menandatanganinya. Perasaan bahagia meluap-luap di dalam hati, ketika semua anggota klub ikut berfoto bersamaku.
Kejadiannya cepat sekali, angin bertiup sangat kencang dengan langit yang telah berubah menjadi hitam mengerikan. Kilatan-kilatan petir menyambar-nyambar tribun-tribun hingga hancur. Potongan-potongan besi melayang dan dengan keterkejutan yang mengerikan, beberapa pemain bola itu telah melayang janggal dengan terbalik.
Aku berlari dengan ngeri ketika seekor kelelawar seukuran pesawat terbang melesat ke arahku. Aku tidak pernah memimpikan hal seperti ini sebelumnya. Ini semua salah, ini bukanlah mimpi yang kuhendaki.
Kelelawar raksasa itu terus mengejarku dengan pekikan yang anehnya seperti pekikan elang. Suara kepakan sayapnya yang keras menghantam gendang telinga, membuatku merasa bergidik mendengarnya. Walau aku tahu bahwa kelelawar bukanlah hewan pemakan daging. Tapi dengan ukurannya yang seperti ini, kelelawar itu akan sanggup menghisap darahku seperti halnya vampir. Lagi pula ini dunia mimpi. Sebuah dimensi lain yang apa pun bisa terjadi.
Aku terus berlari menghindari kejaran kelelawar raksasa itu. Lapangan bola kini telah berubah menjadi sebuah hutan dengan pohon-pohon yang hampir semuanya ditumbuhi duri. Kaki dan tanganku lecet dan gatal ketika tergores duri-duri itu. Hingga setelah sekitar lima menit aku terus berlari dan berakhir di sebuah tebing curam. Aku berhenti, memutuskan untuk menghadapi makhluk raksasa itu. Kekuatan untuk bertahan hidup kembali menguasaiku. Ini adalah mimpiku, aku yang mengendalikan mimpi ini, tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan jika aku sedang berada di alam mimpi.
Kelelawar itu terus mengepak-ngepakan sayap raksasanya. Suaranya kembali melengking mengerikan. Aku memejamkan mata, berusaha menciptakan apa pun yang kuimpikan. Ini tidaklah begitu susah, pengalaman masuk ke dalam mimpi memberiku beberapa gambaran yang akan kugunakan sebagai perisai untuk melawan kelelawar raksasa itu.
Selama beberapa detik aku membayangkan diriku bercahaya, memang benar, tubuhku langsung bercahaya sangat terang, seolah aku memakai jubah berbahan cahaya. Aku tidak tahu apakah kelelawar takut akan cahaya, tapi nyatanya cahaya itu memukul mundur kelelawar raksasa itu.
Ada sesuatu yang aneh dengan mimpi yang aku ciptakan kali ini. Sesosok manusia transparan seolah muncul begitu saja tanpa kuminta. Aku tidak mengerti apa yang selanjutnya terjadi, cahaya terang yang keluar dari manusia transparan itu membuat mataku silau.
Napasku terengah-engah dengan dada terasa sesak. Paru-paruku bagaikan diremas-remas dengan paksa begitu menyadari bahwa kelelawar itu telah lenyap. Rasanya aku ingin segera sadar dari mimpi ini. Sesuatu berdenyut hebat di dalam kepalaku sekarang, membuatku linglung dan ambruk. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi, semuanya telah berubah gelap.

Jumat, 12 Agustus 2016

CERPEN "SIMFONI HITAM" DIMUAT DI MAJALAH HAI EDISI 1 - 7 AGUSTUS 2016.

SIMFONI HITAM
Ragiel JP

Aku tahu dia bernama Tania, umurnya baru enam belas tahun. Dia pindah ke rumah ini tiga hari yang lalu. Tania mempunyai kulit berwarna putih pucat dengan mata biru terang yang memesona.
“Tania, ayo sarapan, hari ini pertama kamu masuk sekolah.”
Tania hanya terdiam melihat pantulan wajahnya di cermin, lingkaran hitam di kedua matanya menandakan sudah berapa hari dia tidak tidur. Ada sorot keraguan yang terpancar dari matanya.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya ibunya masuk ke dalam kamar begitu Tania tak kunjung turun. “Ayo turun sarapan dulu, bukankah hari ini pertamamu sekolah lagi?”
“Tania nggak mau sekolah,” jawab Tania matanya tampak berkaca-kaca. “Tania mau di rumah saja.”
“Tania, sayang,” ibunya kembali mengelus wajah Tania. “Kamu harus sekolah, kamu nggak boleh terus mengurung diri seperti ini, yang sudah biarlah berlalu, kamu masih punya masa depan.”
Tania mengembuskan napas berat. “Tania belum siap,” kata Tania menyeka matanya. “Tania belum siap menghadapinya. Tania mohon ibu mengerti.”
“Baiklah kalau itu keinginanmu,” jawab ibunya akhirnya mengalah. “Tapi besok kamu harus mulai bersekolah lagi ya?”
Tania mengangguk pelan. “Bu, aku boleh tanya sesuatu?”
“Tanya apa, Sayang?”
“Ibu tahu siapa yang bermain piano setiap malam?” tanya Tania menatap tajam ibunya. “Sejak pertama kali datang ke sini, aku selalu mendengar suara piano.”
“Suara piano?” ibu mengerutkan kening mendengarnya. “Nggak ada suara piano sama sekali, sayang, di rumah ini nggak ada piano.”
“Tapi setiap malam aku selalu mendengar suara piano,” Tania bersikeras dengan pendapatnya. “Setiap malam alunan piano itu terdengar di rumah ini.”
“Itu hanya imajinasimu saja, Sayang,” kata ibunya lagi. “Kalau begitu ibu berangkat kerja dulu ya, kalau kamu butuh apa-apa bilang saja sama Bi Minah.”
Tania mengangguk pelan.
Tanpa pernah disadari Tania, selama tiga hari aku terus mengawasi dirinya. Selalu mengamatinya ketika dia sedang tidur, selalu memainkan Simfoni Hitam untuknya setiap tengah malam. Selama ini aku memang belum berani untuk memperkenalkan diri secara langsung terhadap Tania, aku menyadari adanya sebuah sekat antara kami berdua.
***
“Bagaimana sekolah pertamamu, sayang?” tanya ibu ketika Tania bergabung bersama mereka untuk makan malam. “Menyenangkan bukan?”
“Tania nggak mau sekolah lagi,” jawab Tania menusuk-nusuk ayam bakar dengan garpu.
“Ibu ingin kamu bergaul dengan banyak teman, sayang,” kata ibu mengelus bahu Tania. “Ibu ingin kamu seperti anak-anak lain.”
“Ibu nggak mengerti,” kata Tania terisak. “Tania nggak akan pernah bisa kembali seperti anak-anak lain, aku sudah kotor, kenapa ayah dan ibu nggak membiarkan aku mati saja?” Setelah berkata seperti itu Tania langsung berdiri dan masuk ke dalam kamar meninggalkan kedua orangtuanya yang tampak terguncang.
“Apa nggak sebaiknya kita melakukan Home Schooling untuk Tania?” tanya ayah begitu Tania masuk ke dalam kamar. “Biar bagaimanapun juga Tania pernah mengalami masa lalu yang suram, dia pernah mengalami pelecehan seksual. Itu pasti berat bagi Tania bertemu orang lain”
Ibu menggeleng. “Nggak bisa, Yah, psikiaternya mengatakan bahwa Tania harus pelan-pelan bisa bersosialisasi lagi, aku yakin lambat laun Tania akan kembali seperti dulu lagi.”
Aku sangat terkejut begitu mengetahui apa yang terjadi dengan Tania, aku sama sekali tidak menduga jika dia pernah mengalami hal seburuk itu. Perlahan aku mendekat ke arah kamar Tania¾dan di sana, aku melihat dia sedang duduk dengan memeluk kedua lututnya, melihat dari sorot matanya, aku bisa melihat ada trauma yang masih tergambar jelas di dalam matanya.
“Aku ingin mati,” Tania meremas rambut dengan kedua tangannya. “Tuhan, tolong cabut nyawaku sekarang juga.”
Aku tersenyum mendengarnya. Mungkin ini saatnya aku memperkenalkan diri terhadap Tania, memberinya pelipur lara, membisikan setiap makna dari Simfoni Hitam yang selalu kusenandungkan setiap malam untuknya.
Tepat tengah malam, aku kembali memainkan piano yang tersembunyi di sebuah ruangan di rumah ini. Aku yakin pasti Tania akan datang untuk menemaniku memainkan simfoni-simfoni ini. Denting piano pertama mengalun indah di udara, sayup-sayup aku bisa mendengar sebuah langkah pelan menghampiriku, menuju kamar yang biasa kugunakan untuk memainkan piano.
Pintu berderit terbuka secara perlahan, di ujung pintu sana, aku melihat gadis itu tampak terpesona begitu mendengar alunan-alunan sendu yang kulantunkan untuknya, sengaja simfoni ini aku persembahkan untuknya, agar dia tahu betapa selama ini aku ingin menampakan diri di depannya.
“Lagunya sangat indah,” kata Tania mendekat ke arahku. “Selama ini aku selalu mendengar suara piano itu, jadi kamu yang memainkannya?”
Aku mengangguk. “Aku sengaja menciptakan lagu ini untukmu, Tania, apa kamu suka?”
“Dari mana kamu tahu namaku?” Tania sedikit terkejut mendengarnya. “Lagu itu sangat indah, aku sangat suka”
“Aku sudah lama memerhatikanmu,” jawabku mengulurkan tangan ke arahnya. “Kamu mau mencobanya? Oh ya, namaku David.”
Tania mengangguk semangat. “Iya, aku mau mencobanya.”
Kami berdua mulai memainkan piano bersama. Aku mengajari Tania tentang dasar-dasar bermain piano, dia tampaknya sangat senang begitu aku menuntun jemarinya menekan tuts-tuts piano.
“Kamu sangat berbakat, David,” kata Tania setelah beberapa jam kemudian. “Kamu mau ajari aku bermain piano?”
Aku mengangguk. “Tentu.”
“Itu fotomu ya?” kata Tania begitu dia mengalihkan pandangannya ke sebuah bingkai foto yang kupasang di atas piano. “Ini foto kapan? Sepertinya sudah sangat lama ya? Tapi wajahmu tetap masih sama seperti di foto.”
Aku mengangguk mengiyakan. “Ini memang foto sudah sangat lama, foto yang diambil ayah ketika aku memenangkan kontes piano pada tahun 1935 di London. Sehari kemudian kapal yang kami tumpangi tenggelam di Samudra Hindia saat kami hendak pulang ke rumah ini.”