KUNANG-KUNANG
DARI DALAM SUMUR
RAGIEL JP
Banyak cerita yang kau dengar perihal
sumur yang ada di belakang rumah Rasidi. Konon, saat zaman penjajahan
dulu, sumur itu digunakan sebagai tempat eksekusi bagi orang-orang
yang dianggap berkhianat ataupun melawan Belanda. Sudah banyak nyawa
yang berakhir di tempat itu. Tidak heran kalau dari kasak kusuk yang
kau dengar, konon sumur itu angker.
“Aku pernah melihat seorang wanita
duduk di atas sumur itu,” kau mendengar seorang lelaki tua berkata
begitu. “Saat itu aku sedang ronda bersama Sukimin.”
“Iya, aku juga pernah melihatnya.”
Seorang lelaki gemuk yang mengenakan sarung kotak-kotak ikut
menimpali. “Istriku juga pernah bilang kalau ia pernah melihat
seorang lelaki berseragam seperti orang zaman dulu duduk di atas
sumur itu.”
“Lihat, aku sampai merinding
mendengarnya.”
“Aku juga.”
“Bukan hanya itu, kemarin dulu aku juga
melihat seorang wanita keluar dari sumur itu.”
“Iya kah?”
“Aku bersumpah melihatnya.”
“Tapi memang ada yang aneh dengan sumur
itu ya? Sumuritu satu-satunya sumur yang yang tidak pernah kering
walau musim kemarau.”
“Mungkin sumur itu bertuah.”
“Konon air sumur itu juga menyembuhkan
penyakit ya.”
“Ah, itu hanya mitos.”
“Tapi memang aneh sih, masa sumur itu
tidak pernah kering. Padahal semua warga di desa ini selalu mengambil
air itu untuk mandi dan mencuci.”
Kau hanya tersenyum mendengar ucapan
mereka. Memang sumur itu menjadi satu-satunya sumber air yang tidak
pernah habis dimakan waktu. Sejak dulu sumur itu selalu menghasilkan
air yang melimpah ruah.
Jika siang hari, banyak warga yang antri
untuk mengambil air di sumur itu. Rasidi—Lelaki berusia tujuh puluh
tahun yang rambutnya sudah memutih semua pun tidak pernah keberatan
semua warga mengambil air di sumurnya. Ia sama sekali tidak meminta
bayaran barang satu rupiah pun. Rasidi cukup bahagia di usianya yang
sudah senja ia masih bisa berbagi dengan orang lain.
Kau juga diam-diam sangat mengagumi
Rasidi. Sejak pertama kali kau mengenalnya, ia memang tidak pernah
berubah, selalu baik terhadap semua orang. Termasuk kepadamu.
Kau ingat ketika kau berusia lima tahun,
Rasidi selalu memandikanmu di sumur itu. Lelaki itu selalu bercerita
bahwa setiap bulan purnama, sumur itu mengeluarkan cahaya kuning yang
sangat indah.
“Cahaya apa itu, Paman?” kau bertanya
dengan polosnya.
“Kunang-kunang,” Rasidi menjawab
seraya menyabuni badanmu. “Paman sering melihat kunang-kunang itu
keluar dari dalam sumur.”
“Kenapa bisa ada kunang-kunang di dalam
sumur?” kau bertanya lagi. Rasa penasaran ketika kau masih kecil
begitu besar. “Berati di dalam sumur ini ada rumah kunang-kunang
ya?”
Rasidi tersenyum dan menyiram tubuhmu
yang penuh sabun dengan air.
***
Ketika kau berusia lebih besar lagi. Kau
mulai tahu bahwa kemunculan kunang-kunang itu konon merupakan jelmaan
arwah-arwah penasaran yang dulu dibuang ke dalam sumur itu. Ada pula
yang mengatakan bahwa kunang-kunang itu merupakan jelmaan kuku-kuku
orang-orang yang dulu dibuang ke dalam sumur itu.
“Itu hanya mitos, Gil,” salah satu
temanmu berkata seperti itu ketika kau mengatakan bahwa kunang-kunang
itu jelmaan kuku orang yang sudah mati. “Yang aku tahu kenapa
kunang-kunang badannya bisa menyala karena ada sebuah enzim di dalam
tubuhnya.”
Kau hanya tersenyum mendengar ucapan
mereka. Walau kau belum pernah melihat kunang-kunang keluar dari
sumur itu. Tapi kau sangat percaya ucapan Rasidi—karena selama ini
lelaki itu memang tidak pernah sekalipun berkata bohong.
“Bagaimana caranya biar aku melihat
kunang-kunang dari dalam sumur itu, Paman?” kau bertanya ketika
sedang duduk bersama Rasidi di depan rumah—menikmati bulan purnama
yang bersinar di langit. “Hari ini bulan purnama, tapi
kunang-kunang itu tidak keluar dari dalam sumur.”
“Tidak semua orang bisa melihat
kunang-kunang itu, Ragil,” kata Rasidi tersenyum. “Kau mungkin
belum waktunya bisa melihat kunang-kunang itu.”
“Lalu kapan aku bisa melihat
kunang-kunang itu keluar dari dalam sumur?”
“Apa kau benar-benar ingin melihatnya?”
Kau mengangguk antusias.
“Kalau begitu besok ikut aku,” kata
Rasidi tersenyum. Wajahnya yang saat itu masih tampak muda tersepuh
cahaya bulan.
“Ke mana?”
“Kau akan tahu besok,” jawab Rasidi.
***
“Sumur itu benar-benar angker,”
seorang lelaki berkumis lebat mengatakan kepada rekan rondanya. “Tadi
aku melihat seorang duduk di atas sumur itu. Ketika aku berpaling
sebentar, tiba-tiba saja ia menghilang.”
“Masa sih?” tanya rekannya tidak
percaya. “Tapi aku kok tidak lihat.”
“Sumpah aku melihatnya.” Lelaki
berkumis itu bersikukuh. “Apa mungkin ia penunggu sumur itu?”
“Mungkin saja,” dukung lelaki gemuk
yang mengenakan sarung. “Ini kan malam bulan purnama, pasti dedemit
sumur itu berkeliaran.”
“Ngawur kalian ini, aku sudah tinggal
selama puluhan tahun di desa ini tidak pernah melihat apa-apa di
sumur itu. Kalian saja yang penakut.”
Kau tersenyum mendengar ucapan orang itu.
Kau juga percaya bahwa hantu itu memang tidak ada.
“Sebaiknya kita pergi dari sini,”
kata lelaki yang memakai sarung. “Kita ngumpul saja di pos. Bahaya
kalau pos kosong. Bukankah sekarang sedang rawan pencurian.”
Mereka bertiga akhirnya pergi
meninggalkan tempat itu.
Selepas kepergian ketiga orang itu, kau
menghampiri sumur itu, ingin membuktikan bahwa hantu itu tidak ada.
Kau berjalan pelan-pelan menuju sumur itu dan setengah berharap akan
melihat kunang-kunang muncul dari dalamnya.
Kau mendongakan wajah ke atas dan melihat
bulan bersinar penuh dan terang. Kau ingat cerita Paman Rasidi bahwa
bulan purnama adalah waktu yang tepat untuk melihat kemunculan
kunang-kunang dari dalam sumur.
Kau juga ingat tentang sebuah kisah manis
yang pernah kau rasakan yang berhubungan dengan sumur ini. Dulu, kau
berkenalan dengan perempuan cantik bernama Centini. Perempuan itulah
yang tiap kali kau tunggu kedatangannya. Dada selalu berbedar-debar
setiap kali kau melihat wanita itu tersenyum. Sangat manis.
“Kunang-kunang di dalam sumur ini?”
Centini sangat tertarik ketika kau bercerita. “Aku juga pernah
melihat kunang-kunang itu keluar dari sumur ini.”
“Benarkah?”
Centini mengangguk.
“Tapi aku belum pernah melihat
kunang-kunang itu keluar dari dalam sumur ini. Bagaimana caranya kau
bisa melihatnya, Centini?”
Centini kemudian membisikan sesuatu ke
telingamu.
Kau kembali menundukan wajah dan melihat
ke dalam sumur. Sumur itu mungkin dalamnya seratus meter dan airnya
sangat dingin sekali. Bila dilihat dari atas sini, sumur itu seperti
lorong gelap tanpa ujung. Dan kau berpikir bagaimana mungkin kawanan
kunang-kunang bisa keluar dari dalam sana.
Tapi kini kau sudah mengerti kenapa
kunang-kunang itu bisa keluar dari sumur ini. Paman Rasidi dan
Centini memang tidak pernah berbohong—dan kau sudah membuktikan
bahwa memang ada kunang-kunang di dalam sana. Kau juga sudah bisa
memastikan bahwa malam ini kunang-kunang itu akan muncul dari dalam
sumur.
Mula-mula kau melihat sebuah titik cahaya
muncul dari dalam kegelapan sumur. Titik-titik cahaya itu
perlahan-lahan menjadi ribuan titik cahaya yang seolah bergerak maju.
Kau tahu ini sudah saatnya bagi kunang-kunang itu membebaskan dirinya
dari dalam sumur. Seperti jiwa-jiwa yang terbelenggu menunggu
kebebasan.
Ribuan titik-titik cahaya itu semakin
naik ke atas, cahaya kuning berpendar menyilaukan ketika
kunang-kunang pertama keluar dari sumur itu—kemudian disusul
kunang-kunang lain yang jumlahnya sangat banyak. Membentuk sebuah
permadani berwarna kuning yang sangat indah.
Kunang-kunang itu semakin naik dan
berputar-putar seperti sedang melakukan sebuah parade. Entah kenapa
kau merasa sedikit kelu dan bahagia melihat pemandangan itu. Parade
kunang-kunang itu membuatmu teringat dengan Centini.
Kau terpukau melihat semua itu. Cahaya
kuning itu hampir menerangi sekeliling sumur. Kau kembali melihat ke
dalam sumur itu dan dengan bantuan cahaya bulan kau melihat
wajah-wajah dari jasad yang konon dibuang ke dalam sumur itu. Wajah
mereka tersenyum. Sama seperti kau yang melihat wajahmu tersenyum di
antara jasad-jasad itu. Damai.